Cuaca Panas di Pakistan: Ketika Berpuasa Adalah Dosa
KARACHI, SATUHARAPAN.COM – Jumlah korban tewas akibat cuaca panas di Pakistan, khususnya di Karachi, diberitakan sudah mencapai 1.000 orang. Selain oleh dehidrasi dan penyakit yang terkait dengan cuaca panas, korban-korban itu berjatuhan dipicu kondisi fisik mereka yang lemah, karena sebagian dari mereka menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.
Hal ini mendatangkan keprihatinan mendalam pada Dr. Kashif N. Chaudhry, seorang dokter kardiovaskular di Lahey Hospital & Medical Center, Burlington, Massachusetts. Ia pun menuliskan keprihatinannya dalam sebuah kolom di CNN. "Memang benar bahwa puasa adalah kebajikan dalam banyak agama. Tapi itu tidak lagi kebajikan bila dalam keadaan ekstrem (seperti di Pakistan. Bahkan, itu menjadi dosa," tulis dia, dalam kolomnya yang diberi judul Pakistan's heat wave: When fasting is a sin.
"Adalah menyakitkan bagi saya membaca bahwa lebih dari 1.000 orang telah meninggal karena penyakit yang berkaitan dengan panas seperti kelelahan dan stroke panas. Saya tidak tahu berapa banyak korban tersebut yang sedang berpuasa, tapi tragedi ini telah membawa kembali kenangan (saya ketika di ) Kashmir. Sebagai seorang dokter, dan sesama muslim, saya merasa ini merupakan panggilan untuk memberikan edukasi dan kesadaran (tentang puasa)," tulis dia.
Yang dia maksud dengan pengalaman di Kashmir adalah ketika pada Oktober 2005 di bulan Ramadan, terjadi gempa bumi yang hebat yang menelan korban 100.000 orang di utara Pakistan itu, disamping yang luka-luka. Sebagai dokter yang turut diterjunkan merawat para korban, salah satu yang sangat membekas di ingatan Chaudhry adalah tatkala akan memberikan pertolongan kepada sejumlah orang. Mereka ternyata menolak dirawat dengan alasan menjalankan ibadah puasa.
"Mereka menganggap dosa membatalkan puasa," kata dia mengenang.
"Sebagai seorang profesional medis, hal ini sangat membuat frustrasi. Sama halnya ketika akan merawat seorang perempuan hamil yang mengalami gula darah rendah (hypoglycemic episodes), tetapi tetap saja melanjutkan puasanya selama Ramadan, merisikokan dua nyawa sekaligus," lanjut dia.
Menurut Chaudhry, Al-Qur'an menyatakan bahwa puasa bukanlah kewajiban wajib bagi mereka yang menderita sakit atau melakukan perjalanan jauh, atau menemukan kesulitan besar untuk alasan lain. Kalau kesulitan ini sudah dilewati, puasa itu bisa dibayar kembali.
"Ini dikarenakan Allah menginginkan kemudahan bagi kita, dan bukan kesulitan. Lalu mengapa sebagian umat Islam berpikir itu adalah keharusan mutlak untuk berpuasa selama bulan Ramadhan? Apakah mereka pikir mereka secara paksa dapat menyenangkan Allah, meskipun perintahNya sendiri dengan jelas mengatakan ingin memudahkan (manusia) bukan mempersulit?"
Chaudry juga mengutip kisah hadis yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad sendiri membatalkan puasa karena alasan tertentu. Misalnya, kata dia, setelah nabi berhenti sementara di tengah perjalanan dan meminta segelas air untuk berbuka, dia mengangkat gelas itu untuk memastikan semua orang melihatnya, dan minum dari sana.
Lalu, meskipun Nabi membatalkan puasanya kala itu, beberapa orang dari dalam rombongannya ada yang meneruskan puasa. Ketika ia diberitahu tentang orang-orang ini, kisah Chaudhry, dia menyatakan ketidaksenangan dan menyatakan bahwa mereka tidak taat. "Tradisi ini juga dilaporkan dalam buku hadits Jami al-Tirmidzi dan Sunan Nasai," kata Chaudry.
Kejadian lain yang serupa, yang tercatat dalam tradisi otentik, menurut Chaudhry, berkaitan dengan perjalanan selama musim panas ketika hanya beberapa Muslim yang memilih untuk berpuasa. Ketika itu kondisi tubuh mereka yang berpuasa demikian lemah dan mengalami dehidrasi sehingga hampir tidak bisa bangun. Oleh karena itu, hanya mereka yang tidak berpuasa lah yang mengurus semua pekerjaan dan memberi makan ternak.
Nabi Muhammad, kata Chaudhry, kala itu menunjukkan rasa senangnya melihat orang-orang yang melewatkan puasa ketika panas yang menyengat dan berkata bahwa merekalah yang mendapat pahala hari itu.
"Islam memberi penekanan pada kebaikan, sama halnya dengan pengaturan sholat, puasa dan zakat sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan spiritual," tulis dia.
Pada bagian akhir tulisannya, Chaudhry memberi catatan bahwa apa yang dia tuliskan ini bukan bermaksud untuk memasuki diskusi ilmiah tentang perjalanan, penyakit atau kesulitan macam apa yang diperbolehkan sebagai alasan membatalkan puasa. "Tubuh kita unik dan ia adalah hakim terbaik dari apa yang bisa kita tanggung dan apa yang tidak bisa," tulis dia.
Namun, tutur Chaudhry, ia ingin mengajak semua orang sepakat bahwa cuaca panas di Pakistan saat ini sudah sah untuk mengimbau dibatalkannya puasa.
"Sebelum pemerintah Pakistan dapat memenuhi tugasnya menyediakan listrik dan tempat penampungan publik ber-AC,
maka mereka yang terkena gelombang panas saat ini - terutama anak-anak, orang tua dan yang sakit - harus dijamin mendapatkan hidrasi yang tepat untuk diri mereka sendiri. Dan apabila kondisi dan cuaca yang keras berubah menjadi lebih baik, barulah mereka dapat membayar hari-hari puasa mereka yang hilang."
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...