Cukai untuk Minuman Berpemanis: Ditolak Pengusaha Tapi Didukung Dokter
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kementerian Keuangan, mengusulkan pengenaan cukai untuk minuman berpemanis sebagai upaya pengendalian penyakit diabetes, dan menambah pemasukan negara. Usulan ini mendapat reaksi beragam.
Kementerian Kesehatan dan Komisi XI DPR menyatakan, mendukung sebagai upaya pengendalian penyakit diabetes dan menambah pemasukan negara.
Tetapi gabungan pengusaha makanan dan minuman menolak, karena akan menggerus pendapatan mereka dan berdampak pada penurunan pajak sebesar Rp700 miliar.
Sebelumnya, rencana pengenaan tarif cukai untuk produk minuman berpemanis itu disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR.
Sri Mulyani mengatakan, usulan itu didasari masalah diabetes yang menjadi penyebab kematian terbesar nomor tiga di Indonesia dengan jumlah diperkirakan mencapai 10 juta orang.
"Prevelensi diabetes melitus dan obesitas meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun waktu 11 tahun," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di DPR, Rabu (19/2).
Untuk minuman berpemanis seperti teh kemasan, tarif cukai yang akan dikenakan sebesar Rp1.500 per liter. Sementara produk minuman berkarbonasi atau soda dan kopi konsentrat mencapai Rp2.500 per liter.
Penerapan cukai ini pun hanya ditujukan kepada pabrikan dan importir. Sementara usaha kecil menengah atau rumahan, akan dikecualikan.
Dalam hitungan Sri Mulyani, jika usulan itu dikabulkan, maka potensi penerimaan negara bisa mencapai Rp6,25 triliun.
Tetapi Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman, terang-terangan menolak karena akan menggerus omset mereka. Itu artinya negara akan kehilangan penerimaan pajak sekitar Rp700 miliar.
Hal lain, rencana tersebut tidak tepat waktu lantaran kondisi perekonomian yang tengah lesu.
"Kami menyesalkan di tengah situasi ekonomi sedang jelek, akan menambah beban industri," kata Adhi S Lukman kepada BBC, Kamis (20/2), dilansir bbc.com, pada Jumat (21/2).
"Pengenaan cukai ini akan menurunkan penjualan dan menurunkan penerimaan negara karena dari pph badan, pph 21, dan ppn akan turun drastis. Sehingga antara penerimaan cukai dan pengurangan pajak-pajak lain, ya lebih besar pengurangan pajak," katanya.
Catatan Gapmmi, setidaknya ada enam ribu perusahaan menengah dan besar dan 1,6 juta usaha kecil yang memproduksi minuman berpemanis serta soda.
Jika merujuk pada data itu, ia mempertanyakan niat pemerintah untuk mengendalikan penyakit diabetes di Indonesia. Pasalnya, pengenaan cukai hanya ditujukan kepada pabrikan yang jumlahnya lebih sedikit, dibandingkan dengan usaha kecil atau rumahan.
"Makanya ini mencari penerimaan atau mengendalikan? Kalau mengendalikan, tidak tepat karena masih ada 1,6 juta," katanya.
Selain itu, para pengusaha skala besar perlahan-lahan telah mengurangi bahkan mengganti bahan gula di produknya sehingga baik untuk kesehatan. Berkebalikan dengan usaha kecil, katanya.
"Pelaku usaha menengah dan besar, sedang melakukan berbagai upaya misalnya melakukan reformulasi dengan menggunakan bahan-bahan yang baik, untuk kesehatan dan mengurangi penggunaan gula."
"Misalnya penggunaan stevia sebagai pengganti gula yang berkalori rendah."
Dalam hitungan Gapmmi pula, besaran cukai sebesar Rp1.500 dan Rp2.500 terlampau memberatkan. Ia memperkirakan, harga jual akan naik sekitar 30 – 40 persen.
"Minuman botol berkarbonasi itu anggaplah harganya Rp5.000, kalau ditambah cukai harga produksinya akan naik 40 persen. Harga di konsumen itu akan naik jadi Rp7.000 sampai Rp8.000."
Karena itu, ia akan berkirim surat ke Kementerian Keuangan untuk membicarakan persoalan tersebut, agar bisa menemukan titik tengah.
"Karena kami belum pernah diajak bicara tujuan cukai ini. Tapi kalau tujuan pemerintah untuk menurunkan obesitas, kami akan support, untuk melakukan edukasi dan mencari bahan bahan yang menyehatkan.
DPR dan Kementerian Kesehatan mendukung
Anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno, mengatakan mayoritas anggota komisi mendukung usulan Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengenakan cukai pada minuman berpemanis dan soda.
Sebab kebijakan cukai di Indonesia masih sangat kecil, dan hanya menyasar tiga objek yakni produk tembakau, minuman alkohol, dan etanol. Sementara di negara-negara lain ada belasan produk yang dikenakan cukai.
"Itu sebabnya sudah saatnya Indonesia gunakan cukai sebagai sumber penerimaan negara dan mengendalikan konsumsi."
Namun begitu, Kementerian Keuangan harus menjabarkan lebih mendalam alasan pengenaan cukai terhadap objek yang disasar. Ini karena dalam rapat kerja bersama yang berlangsung pada Rabu (19/2) Menteri Sri Mulyani hanya menjelaskan secara umum.
"Dikatakan diabetes sebagai salah satu penyakit pembunuh, tapi belum detail. Jadi kita butuh informasi yang lebih detail. Misalnya industri yang menggunakan minuman berpemanis berapa banyak, berapa besarannya, kalau dikenakan sekian persen berapa potensi penerimaan negara."
"Prinsipnya setuju tapi kajian masing-masing objek dibutuhkan."
Sejalan dengan Komisi XI DPR, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Kementerian Kesehatan, Cut Putri Arianie, mengatakan penerapan cukai merupakan "hal bagus karena diharapkan akan terjadi pengendalian faktor risiko obesitas dan diabetes melitus".
"Di beberapa negara ASEAN sudah menerapkan cukai tersebut. Jadi bagus," katanya kepada BBC lewat pesan singkat WhatsApp.
Seperti Apa Kontribusi Minuman Berpemanis terhadap Penyakit Diabetes?
Dokter Endokrinologi dan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo (RSCM), Em Yunir, mengatakan penyakit diabetes seperti 'bom waktu' karena jumlahnya terus meningkat dan pengidapnya kebanyakan berusia muda.
Data di Kementerian Kesehatan menyebut jumlah penderita diabetes saat ini mencapai 10,9 juta orang.
"Penyakit diabetes sudah sangat berbahaya, sudah jadi bom atom karena populasinya sudah sampai 11 persen atau 10,9 juta," kata Em Yunir.
Penyakit diabetes, kata dia, disebabkan oleh banyak faktor dan salah satunya disumbang oleh minuman berpemanis yang mengandung banyak kalori.
"Kalau orang yang sudah diabetes maksimal 10 persen dari total kalori sehari. Kalau yang normal, selama metabolisme baik, olahraga, satu botol minuman soft drink sehari tidak apa-apa."
"Misalkan coca-cola ukuran medium atau large itu kan kalorinya 300-400. Jadi harus dihitung betul kalorinya, kalau tinggi ya dihindari."
Itu mengapa, ia berpendapat pengenaan cukai bisa membantu orang-orang mengendalikan konsumsi minuman berkalori tinggi.
"Ya boleh-boleh saja, dengan dikasih cukai perusahaan akan naikin harga, kalau harga naik yang mau beli jadi berkurang. Harapannya makanan atau minuman yang tidak bermanfaat seperti itu dikurangi konsumsinya."
"Setidaknya mengurangi nafsu untuk membeli."
Penerapan Cukai di Indonesia dan Negara Lain
Pengenaan cukai untuk minuman berpemanis sesungguhnya sudah digencarkan di berbagai negara. Uni Emirat Arab misalnya menetapkan tarif cukai sebesar 50 persen dan mulai berlaku tahun ini. Sedangkan minuman soda, sudah diberlakukan sejak 2015 dengan besaran yang sama.
Sementara di Thailand sudah duluan menerapkan kebijakan itu pada 2017 dengan kenaikan tarif cukai yang bertahap.
Pengamat ekonomi dari INDEF, Enny Sri Hartati, mengatakan penerapan cukai di Indonesia tertinggal dari negara-negara lain.
Di Indonesia, katanya, hanya berlaku tiga objek yakni produk tembakau, minuman alkohol, dan etanol. Tapi untuk dua produk terakhir jumlahnya hanya 5 persen.
Karena itu, ia mendukung perluasan cukai ke produk-produk lain.
"Jadi 95 persen cukai di Indonesia dari industri tembakau. Jadi memang peluang ekstensifikasi cukai terbuka lebar," katanya.
"Tapi harus dipahami cukai itu prinsipnya pengendalian, bukan penerimaan negara. Kalaupun ada, itu bonus. Jadi kebijakan apapun untuk ekstensifikasi cukai itu acuannya seberapa efektif untuk pengendalian."
Dari pengamatannya, penerapan cukai terhadap minuman berpemanis di negara-negara lain efektif menurunkan konsumsi masyarakat. Sebab konsumen jadi berpikir ulang untuk membeli.
"Pengaruh, karena konsumen pasti mikir-mikir."
Namun demikian, ia menilai penerapan cukai tidak pilih-pilih. Itu artinya semua produsen baik itu perusahaan besar, menengah, hingga usaha kecil harus dikenakan cukai.
"Prinsipnya siapapun yang dikenakan cukai adalah yang memberikan dampak negatif. Jadi kalau cukai harus menyasar semua. Karena targetnya mengurangi dampak negatif."
Enny juga berharap, pemerintah membuat kajian yang komprehensif sebelum menerapkan kebijakan tersebut.
"Harus ada dasar perhitungan yang objektif. Misal cukai Rp1.500 hitungannya gimana? Jadi mesti ada naskah akademis." (bbc.com)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...