Dari Pinggiran Indonesia
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla memiliki platform politik untuk “membangun Indonesia dari pinggiran”. Sejauh mana cita-cita itu tidak berhenti menjadi sekadar slogan?
MALANG, SATUHARAPAN.COM – Pernahkah Anda bertanya, apa artinya menjadi warga negara Indonesia?
Hari-hari ini, pertanyaan itu – dan kegelisahan yang melatarinya – makin mengemuka bagi banyak orang. Apalagi di tengah kegaduhan politik dan teror medsos yang melanda banyak orang.
Ini bukan saja terjadi di Jakarta, tempat hot spot kegaduhan politik menjelang Pilgub, tetapi sudah meluas ke daerah-daerah. Orang tiba-tiba bertanya lagi, apa arti slogan “Bhinneka Tunggal Ika” bagi Indonesia. Apakah kita masih serius berusaha mempertahankan keragaman sekaligus kesatuan negara-bangsa ini? Atau proses-proses sosial-politik yang terjadi sekarang telah makin memecah-belah kita?
Masyarakat pinggiran
Sulit menemukan jawaban serba pasti atas pertanyaan dan kegelisahan itu. Boleh jadi Indonesia sebagai negara-bangsa memang merupakan “proyek” yang tak pernah selesai, selalu harus dicari, dibicarakan, dan ditemukan terus menerus dalam berbagai situasi yang berbeda-beda.
Apalagi proses “menjadi Indonesia” itu sendiri, ternyata, telah meminggirkan sebagian kelompok sosial dan menjadikan mereka “masyarakat pinggiran” (marginal groups). Istilah ini adalah sebutan bagi kelompok-kelompok rentan yang selama ini, oleh karena proses-proses sosial, politik, eknomi maupun kultural, tidak dapat menikmati hak-hak mereka secara utuh sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Di Universitas Brawijaya Malang, selama dua hari (9 – 10 November), persoalan pelik itu dibicarakan dalam workshop dan seminar internasional bertajuk “Membangun Dari Pinggir”. Acara yang diselenggarakan oleh LIPI bekerjasama dengan Universitas Brawijaya dan CRCS (Center for Religious and Cross-Cultural Studies) UGM tersebut mempertemukan baik para akademisi, peneliti, aktivis NGO, maupun pihak pemerintah.
Yang unik, workshop itu juga menghadirkan wakil-wakil dari kelompok-kelompok yang selama ini disebut “masyarakat pinggiran”, mulai dari penyintas tragedi 1965, masyarakat adat, penyintas Lapindo, kelompok petani dan buruh, sampai kelompok LGBT yang diributkan beberapa waktu lalu. Cerita-cerita mereka makin memperlihatkan betapa kompleks upaya untuk merumuskan dengan lebih jelas kategori “masyarakat pinggiran”. Apalagi jika kategori itu mau dilihat bukan dari sudut ekonomi politik belaka, melainkan dari berbagai sudut pandang sosial, politik, dan bahkan kultural. Padahal kejelasan kategori itu sangat penting, agar janji platform politik pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk “membangun Indonesia dari pinggiran” tidak berhenti menjadi sekadar slogan.
Peminggiran struktural
Namun, terlepas dari kerumitan itu, seminar dan workshop internasional di Malang tersebut berhasil menguak proses-proses sejarah yang selama ini telah meminggirkan sebagian kelompok masyarakat. Dan potret yang ditemukan sangat beragam.
Bagi sebagian kalangan, misalnya para penyintas tragedi 1965, pembunuhan massal terhadap PKI dan stigma sebagai “keluarga PKI” telah menempatkan mereka dalam pojok sunyi sejarah. Seperti dituturkan Ibu Svetlana Dayani, salah seorang penyintas tragedi 1965, pengalaman pahit itu telah menceraiberaikan keluarga mereka. Terlebih lagi, mereka tidak dapat saling berbicara sepanjang sejarah Orde Baru.
“Kami tidak bisa saling berbicara dan berbagi pengalaman di tengah kuatnya kecurigaan masyarakat,” ujar Svetlana dalam diskusi kelompok. Baru setelah reformasi 1998 terbuka ruang bagi mereka untuk bertemu. Bersama penyintas lain, Svetlana memakai medium paduan suara. “Lewat paduan suara kami bisa bertemu, berlatih, saling berbagi pengalaman, dan saling menguatkan.”
Lain lagi kisah kelompok-kelompok masyarakat adat dan penghayat kepercayaan yang tersebar di seluruh Nusantara. Kebijakan politik agama yang diskriminatif, yang membedakan antara “agama” dengan “kepercayaan”, membuat mereka tidak dapat menikmati hak-hak secara utuh sebagai warga negara. Dan bagi masyarakat adat persoalannya menjadi makin rumit karena masuknya kepentingan pemodal besar yang merebut dan menguasai sumber-sumber daya alam.
Menurut Tamrin Amal Tomagola, guru besar dan pengajar di UI yang hadir dalam seminar itu, orang seharusnya menaruh perhatian lebih pada proses-proses peminggiran struktural yang merupakan arena pertarungan untuk memperebutkan sumber-sumber daya strategis, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Dan dalam perebutan itu, kerap terlihat adanya “perselingkuhan” lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat.
“Yang paling kentara adalah perselingkuhan antara kepentingan negara atau politik dengan bisnis besar,” ujarnya. “Tetapi lembaga-lembaga keagamaan juga sering terlibat di dalamnya, dengan korban masyarakat adat.”
Berhadapan dengan proses-proses itu, tampaknya jelas proyek “menjadi Indonesia” harus dirumuskan ulang guna mencakup kelompok-kelompok sosial yang selama ini dipinggirkan. Dan untuk itu dibutuhkan ruang-ruang politik baru yang lebih inklusif.
Soal ini ditekankan oleh Dr. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan dari Kemendikbud, yang menjadi pembicara kunci di hari kedua. Ruang-ruang tersebut diharapkan dapat menjadi ajang perjumpaan yang melibatkan berbagai kelompok sosial, dan melaluinya ada energi politik baru untuk melakukan perubahan.
“Ruang-ruang tersebut bisa mengambil berbagai bentuk, termasuk ekspresi-ekspresi kultural,” ujar Hilmar. Ia memberi contoh pawai-pawai budaya yang melibatkan berbagai kelompok berbeda, termasuk masyarakat adat, guna memperkuat ikatan sebagai bangsa Indonesia di tengah kemajemukan. Begitu juga medium seperti paduan suara, sebagaimana dibuktikan Ibu Svetlana.
Melalui proses-proses kultural itulah Indonesia sebagai “rumah bersama” bagi berbagai kelompok, termasuk mereka yang selama ini dipinggirkan, dapat ditemukan kembali.
Editor : Trisno S Sutanto
Cara Merawat Kulit Bayi Menurut Dokter
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis kulit dari Rumah Sakit Polri Said Soekanto Jakarta memba...