Manuver-Manuver Jokowi
Kontroversi Ahok telah memaksa Presiden Jokowi melakukan banyak manuver untuk menegaskan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh dikorbankan dalam pertarungan politik yang memanas. Sampai sejauh mana efektifnya langkah-langkah Jokowi?
SATUHARAPAN.COM - Kasus (dugaan) penistaan agama yang menyeret Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tampaknya berimplikasi luas. Beberapa pihak yang melakukan protes tak hanya menyasar Ahok, melainkan juga “menusuk” Presiden Jokowi setidaknya karena dua hal. Pertama, selama ini Jokowi dan Ahok telah dianggap sebagai dua sosok yang dekat. Dalam konteks ini, Jokowi dianggap “melindungi” Ahok (belakangan Jokowi berkali-kali mengatakan tak akan melindungi Ahok dan tak akan mencampuri urusan hukum yang membelit Ahok). Kedua, memang ada beberapa aktor politik yang ingin menggoyang Jokowi dengan mendompleng kasus penistaan agama yang menyulut demonstrasi massa ratusan ribu orang itu. Sangat mungkin beberapa aktor politik ini “terinspirasi” oleh peristiwa “jatuh di tengah jalan”-nya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) beberapa tahun silam.
Jika Gus Dur bisa dijatuhkan lewat proses impeachment, harusnya Jokowi juga bisa. Aktivis politik dan reformasi Sri Bintang Pamungkas bahkan mengatakan: “Soekarno dan Soeharto saja bisa dijatuhkan, masak Jokowi gak bisa?” Kalaupun tak bisa menjatuhkan Jokowi di tengah jalan, para aktor politik itu sangat mungkin ingin “menggembosi” Jokowi agar citranya turun dan tak mampu bersaing lagi pada pilpres 2019.
Publik tahu, meskipun dengan nada bercanda, Jokowi beberapa kali berkata bahwa dia siap tarung lagi dengan Prabowo pada pilpres mendatang. Jokowi merasa berada di “atas angin”, terutama saat Partai Golkar yang tergolong partai politik besar jauh-jauh hari telah mengungkapkan niat dan tekadnya untuk mengusung Jokowi pada pilpres mendatang. Sedemikian bersemangatnya sehingga ada dugaan Partai Golkar ingin “merebut” Jokowi dari PDIP.
Tingkat kepuasan rakyat yang tergolong cukup tinggi pada kinerja pemerintahan Jokowi merupakan modal besar bagi Jokowi untuk maju lagi pada pilpres mendatang. Dan, berdasarkan pengalaman, sebagaimana terjadi pada presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kans petahana untuk terpilih lagi sebagai presiden sangat tinggi. Hal ini tentu saja tak dibiarkan berjalan mulus oleh lawan-lawan politik Jokowi. Momen kasus penistaan agama oleh Ahok merupakan kesempatan “emas” bagi para lawan politik Jokowi untuk “menghajar” mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta ini.
Hingga saat ini, belum ada tokoh politik (senior) yang mampu menyaingi popularitas dan elektabilitas Jokowi. Bahkan, kalau Prabowo nyapres lagi tampaknya kans untuk mengalahkan Jokowi masih tergolong berat. Dibutuhkan tokoh-tokoh baru yang muda, segar, dan potensial untuk bersaing dengan Jokowi pada Pilpres mendatang. Mereka, antara lain, adalah para pemimpin daerah yang hebat dan potensial serta telah menunjukkan kinerja nyata yang tergolong luar biasa sebut saja nama-nama seperti Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Dedi Mulyadi (Bupati Purwakarta), Suyoto (Bupati Bojonegoro), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), dan Yoyok Riyo Sudibyo (Bupati Batang).
Politisasi Agama
Gerakan demonstrasi ratusan ribu massa yang memprotes Ahok yang dianggap menistakan agama lebih kental warnanya sebagai gerakan “politik” daripada gerakan “agama” atau “moral”. Gerakan massa yang bereaksi terhadap kasus penisataan agama ini terutama digerakkan oleh perasaan dan emosi daripada akal sehat. Di sini, perasaan dan emosi terasa lebih dominan daripada rasio. Gerakan demo 4 November yang seharusnya merupakan gerakan moral dan agama yang berdimensi hukum, lantas disusupi muatan politik. Ada fenomena politisasi agama dengan target-target politik yang ingin dituju. Yang disasar adalah dua aktor, yaitu Ahok dan Jokowi. Targetnya, Ahok kalah atau bahkan WO dalam Pilkada DKI Jakarta serta Jokowi “terpuruk” sebagai presiden.
Sedemikian banyak kepentingan politik yang bermain dalam kasus penistaan agama ini sehingga masuk akal jika Jokowi mengatakan bahwa gerakan demo 4 November “ditunggangi” oleh aktor-aktor politik yang mencoba memanfaatkan situasi. Di antara ratusan ribu massa pendemo tentu ada juga yang berniat “membela” agama, namun kerumunan massa sebanyak itu sangat mudah didomplengi bahkan ditunggangi oleh para aktor politik yang haus kekuasaan.
Kentalnya aroma politik pada demo 4 November sangat tampak pada upaya berbagai pihak untuk bertikai dan saling melaporkan satu sama lain terkait dugaan tindak pidana. Misalnya, musisi Ahmad Dhani dilaporkan oleh Ormas Pro Jokowi (Projo) dan Laskar Rakyat Jokowi (LRJ) ke Polda Metro Jaya atas dugaan penghinaan terhadap Presiden Jokowi saat orasi pada demo 4 November. Dalam orasinya, Ahmad Dhani melontarkan kata “babi” dan “anjing”. Ahmad Dhani berniat melaporkan balik Projo dan LRJ ke Polda Metro Jaya atas dugaan pemfitnahan.
Lalu, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dilaporkan oleh Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP) ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan penghasutan dan makar terhadap pemerintah. Saat berorasi pada demo 4 November Fahri menyebutkan ada dua cara untuk menjatuhkan presiden yaitu melalui parlemen ruangan dan jalanan. Selain itu, Fahri dan Wakil Ketua DPR lainnya Fadli zon yang juga ikut demo 4 November dilaporkan oleh Komite Penegakan Pro-Justisia ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena dinilai melanggar kode etik saat ikut demonstrasi 4 November. Alih-alih menjaga sikapnya agar tidak mencederai DPR, Fahri dan Fadli justru dianggap memanaskan suasana dalam demo itu.
Kemudian, mantan Presiden RI yang kini menjabat Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilaporkan oleh Forum Silaturahmi Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Lintas Generasi ke Bareskrim Mabes Polri karena dianggap melakukan tindak pidana penghasutan saat pidato di kediamannya di Cikeas, Bogor, menjelang aksi demo 4 November. Yakni terekspresi dalam kalimat “sampai lebaran kuda masih ada unjuk rasa” serta “negara akan terbakar oleh amarah para penuntut keadilan”. Sungguh disayangkan, SBY sebagai mantan Presiden RI selama dua periode dan selama ini selalu terkenal santun, entah mengapa, kini berpidato dengan bahasa tubuh yang menunjukkan amarah, kebencian, dan kalimat-kalimat yang menghasut.
Sangat mungkin, SBY digerakkan oleh upaya ingin merebut jabatan dan kekuasaan karena anaknya yang bernama Agus Harimurti sedang bersaing merebut jabatan Gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta. SBY sangat berkepentingan untuk “menyingkirkan” Ahok dari medan persaingan cagub DKI Jakarta. Sungguh disayangkan juga, dengan bertambahnya usia SBY bukan semakin matang dan bijak, melainkan tampak dangkal dan picik. Pola komunikasi SBY juga terkesan tidak baik misalnya dengan memilih bertemu Wapres Jusuf Kalla dan Menkopolhukam Wiranto menjelang peristiwa demo 4 November daripada bertemu Presiden Jokowi. Padahal, jika benar-benar berwatak negarawan, sudah seyogyanya sebagai mantan presiden, SBY bisa langsung bertemu dengan Presiden Jokowi untuk membahas kondisi negara yang tergolong “genting” dan mencari solusi terbaik.
Upaya SBY untuk secara sadar memilih menemui Jusuf Kalla dan Wiranto justru terkesan melakukan upaya “pecah-belah” dan “faita kompli” seakan-akan ada “ketidaksesuaian” dan “pertentangan” antara Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Pola komunikasi yang dilakukan SBY bukan hanya “buruk” melainkan malah bisa dibaca sebagai “licik” dan “jahat”. Sama seperti Amien Rais, sungguh disayangkan jika lama kelamaan SBY juga bisa diberi predikat “sengkuni” politik. Sama seperti dahsyatnya pengaruh uang, ambisi (ke)kuasa(an) atau nafsu berkuasa juga bisa mengubah nilai, membolak-balik kesadaran, dan mengubah watak seseorang.
Safari Politik Jokowi
Jokowi cukup jeli membaca situasi bahwa gerakan demo penistaan agama tak hanya menyasar Ahok, tapi juga dirinya. Maka, Jokowi pun melakukan manuver dengan berkunjung dan melakukan pertemuan dengan berbagai pihak. Dimulai dari bertemu Prabowo di Hambalang. “Diplomasi” menunggang kuda mampu mencairkan suasana. Jika Prabowo sebagai “ikon” dan “pentolan” partai Gerindra sebagai Partai “Oposisi” selain PKS sudah dikunjungi dan diakrabi tentu semuanya akan baik dan aman. Setelah bertemu Prabowo, Jokowi terus menggalang pertemuan dan menjalin komunikasi dengan berbagai Ormas Islam, ulama, tokoh agama Islam, polisi, dan militer.
Bahkan, Jokowi mengunjungi beberapa pasukan elite langsung di pusat markasnya seperti Brimob, Kopassus, Paskhas TNI AU, dan tampaknya “safari”-nya akan terus berlanjut ke berbagai pasukan elite lainnya. Saat di markas Brimob, Jokowi jelas-jelas mengatakan bahwa polisi tak boleh ragu apalagi kalah dengan kelompok-kelompok kecil yang ingin memecah belah bangsa dan mengancam Bhinneka Tunggal Ika.
Dan, pesan yang sama terus diulang-ulang Jokowi di depan TNI. “Saya sebagai panglima tertinggi sewaktu-waktu bisa menggerakkan pasukan khusus TNI jika situasi darurat,” ujar Jokowi saat berkunjung di markas Kopassus. Jokowi memang tidak menyebut secara eksplisit siapa itu kelompok (kecil) yang bisa menyebabkan situasi “darurat”. Namun, mudah dibaca, Jokowi tampaknya sedang mengarahkan “ancaman”-nya pada kelompok tertentu yang suka memaksakan kehendak dan mungkin saja adalah kelompok massa demo 4 November. Atau mungkin juga kepada kelompok radikal yang terus berobsesi (atau berilusi) mendirikan “negara Islam” dan memberlakukan “syariat Islam” di Indonesia.
Sebagai negara yang berideologi Pancasila dan berfilosofi Bhinneka Tunggal Ika, jelaslah tak mungkin ada ruang untuk tegaknya “negara Islam”. Ormas Islam terbesar di tanah air bahkan di dunia seperti NU dan Muhammadiyah juga telah menganggap final Ideologi Pancasila dan negara kebangsaan yang menerapkan filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Maka, kelompok-kelompok “kecil” radikal yang ingin mendirikan “negara Islam” di Indonesia tak mungkin berhasil karena pasti akan berhadapan dengan NU dan Muhammadiyah dengan anggota mencapai puluhan juta.
Bersatu, jangan terpecah-belah, terus tumbuhsuburkan Bhinneka Tunggal Ika adalah pesan tegas Jokowi yang patut diapresiasi di tengah-tengah ancaman kelompok radikal pengganggu bangsa yang terus-menerus mengobarkan pertentangan berbasis SARA. Pesan untuk terus merawat dan menumbuhsuburkan Bhinneka Tunggal Ika tentu jauh lebih substansial, mendasar, dan mendalam serta berimplikasi luas bagi bangsa dan negara daripada sekadar menyelamatkan dirinya sebagai presiden dari ancaman kelompok (politik) tertentu yang ingin melakukan gerakan pemakzulan. Apalagi dalam konstelasi politik di mana hampir semua partai politik telah merapat dan mendukung Jokowi tentu sangat sulit membayangkan adanya pemakzulan kepada Jokowi. Dari sekian banyak partai politik, hanya Gerindra dan PKS yang tegas menempatkan diri sebagai oposisi. Posisi “oposan” Gerindra juga diragukan ketegasannya karena Jokowi telah menjalin hubungan baik dan dekat dengan Prabowo.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan suatu pertanyaan. Di antara kelompok yang menyasar atau “menusuk” Jokowi dengan mendompleng isyu penisataan agama Ahok di satu sisi serta Jokowi yang mencoba mempertahankan diri di sisi yang lain, ada satu hal penting yang patut dilontarkan: apakah mereka benar-benar “negarawan” yang tulus dan peduli kepada masa depan bangsa dan negara ataukan sekadar ingin merebut atau mempertahankan kekuasaan untuk diri sendiri dan kelompoknya saja?
Penulis adalah Ketua Yayasan Hati Nurani Bangsa (YHNB).
Editor : Trisno S Sutanto
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...