Darurat Toleransi
SATUHARAPAN.COM – Ketika individu yang lahir di kota Jakarta, tumbuh kembang di kota Jakarta, menjadi tua di kota Jakarta, dan ingin menutup mata di kota Jakarta, katakanlah ia seseorang dengan ras minoritas tertentu atau seorang homoseksual, ketika itu pula pertanyaan memproduksi moral akan muncul.
Ketika individu berkelas sosial atas memiliki kekuasaan maka moral yang ia produksi tidak akan pernah menjadi masalah; tetapi ketika individu berkelas sosial bawah yang tidak memiliki kekuasaan memproduksi moral, maka moral yang ia hasilkan menuju pada kegagalan. Artinya ia, sebagai individu, akan teralienasi dari sekelilingnya. Moral yang ia produksi tidak mulus karena ada moral-moral lain yang tidak setuju dengan moral yang ia hasilkan. Individu tersebut mengalami tekanan moral dan menjadi Outsider seperti yang dikatakan oleh Howard Becker. Ketika individu dianggap melanggar norma yang ada, maka ia dianggap sebagai individu yang berbeda.
Gambaran di atas akan sangat menarik apabila ditelaah melalui pemikiran filsuf Amerika kontemporer, Christine Korsgaard tentang produksi moral, karena secara tidak langsung individu dapat memberi nilai pada dirinya sendiri sehingga ia tidak merasa teralienasi di dalam ruang publik manapun.
Tidak adakah toleransi terhadap sesama manusia? Atau manusiakah yang sudah tidak mampu lagi mentoleransi keberadaan manusia lainnya sehingga terjadi alienasi di antara manusia itu sendiri?
Sejak tahun 1995, UNESCO menetapkan tanggal 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional. Tulisan ini tidak akan mendiskusikan tentang makna toleransi, tetapi justru melalui konteks filsafat akan dibahas bagaimana kelompok-kelompok yang ditengarai sebagai “pesakitan”, “pengganggu”, “tidak pantas”, “mengancam sistem”, dan lain sebagainya yang memiliki interpretasi sama, mencoba memberikan penyadaran kepada negara dan masyarakat yang seringkali melakukan intoleransi terhadap keberadaan mereka.
Penghargaan terhadap “Moral”
Apakah yang dimaksud dengan “moral”? Secara sederhana moral adalah kesesuaian sikap dan perbuatan. Kant dengan aliran deontologinya memandang bahwa moral dapat diketahui dengan kata hati, sehingga apa yang kita lakukan harus kita pertanggungjawabkan.
Christine Korsgaard mengintroduksi pemikirannya tentang manusia yang mampu memproduksi sebuah moral dengan ide bahwa hanya manusia yang mampu memproduksi moral dan menempatkan moral tersebut didalam hidupnya dan untuk orang lain. Dalam bukunya yang terkenal The Sources of Normativity, Korsgaard menjelaskan bahwa perasaan-perasaan kita adalah tempat di mana yang natural dan yang normatif bertemu, sehingga sebagai individu, kita harus menghargai segalanya.
Korsgaard menyebutnya dengan identitas praktis (Practical Identity) di mana setiap individu harus sadar akan dirinya masing-masing. Secara sederhana, konsep identitas praktis adalah apa yang kita jalankan sehari-hari dengan perannya masing-masing. Konsep ini lalu dipahami sebagai sebuah acuan di mana individu memiliki nilai yang harus dinilainya sendiri dan layak untuk menemukan jalan hidupnya untuk juga dinilainya sendiri. Korsgaard kemudian menggarisbawahi bahwa sebuah nilai adalah fakta hidup, oleh karena itu sebuah kehidupan harus memiliki nilai. Jika individu menolak hidup, maka mereka otomatis menolak nilai itu sendiri. Hidup wajib untuk dijaga dan dipertahankan.
Identitas praktis wajib untuk dibagi dan inilah yang menurut Korsgaard disebut sebagai moral karena moral diproduksi untuk diberi nilai dan dibagi kepada orang lain. Rujukan produksi moral Korsgaard memberikan petunjuk bahwa setiap individu berhak memproduksi moralnya masing-masing dan ketika moral yang diproduksi tidak dapat berdiri sendiri, maka sang individu akan berada pada tingkatan Neurosa, di mana menurut filsuf Jerman, Erich Fromm, ia akan terasing dari masyarakat, peraturan, norma sosial. Dengan kata lain, ia teralienasi dari seluruh sistem dan struktur.
“Aku sadar bahwa aku bernilai”
Ketika individu merasa terasing, ia akan merasa bahwa dirinya sama sekali tidak berguna. Seorang homoseksual misalnya, didakwa sebagai pesakitan yang melawan alam dengan menyukai sesamanya. Ia dibungkam. Ia distigma sebagai manusia yang cacat lahir, batin, dan fisik karena tidak mampu berprokreasi seperti laki-laki dan perempuan.
Ia juga dituduh sebagai individu yang hanya memikirkan aktivitas seks (rekreasi), padahal ia juga mampu berkontribusi kepada negara. Ia dipandang sebelah mata. Maka akan menjadi logis apabila seorang homoseksual melakukan migrasi ke luar negaranya untuk mencari ruang kebebasan atau pada titik yang paling ekstrim, melakukan tindakan percobaan bunuh diri. Pada titik lain, alienasi juga dapat memicu timbulnya konflik dari berbagai sudut. Ini berarti bahwa negara telah gagal merangkul warga negaranya dalam konteks perlindungan hak asasi manusia.
Setidaknya ide-ide di atas mampu memberikan ruang bagi kelompok yang termarjinalkan dengan dua jargon pribadi yang saya pikirkan sendiri, yaitu “Aku berhak menentukan sikapku karena aku bebas. Karena aku bebas, maka tidak ada seorangpun yang dapat memperalatku” dan “Aku sadar bahwa aku bernilai”.
Maka dengan demikian, apakah kita masih mengalienasi kelompok-kelompok tertentu dengan dalih apapun padahal mereka adalah juga umat manusia? Bukankah berusaha melakukan toleransi adalah sebuah jalan baik untuk sebuah perdamaian?
Penulis adalah Kandidat Doktor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) - Marseille, Perancis.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...