Polisi Agama: Perlukah?
SATUHARAPAN.COM - Menjelang bulan Ramadhan, kita dihadapkan pada isu yang cukup mengundang reaksi keras dari pelbagai kalangan, yaitu isu tentang rencana tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mengawasi khotib-khotib di masjid. Alasan sederhananya adalah menjaga agar mimbar-mimbar masjid tidak menjadi sarana penyampaian kampanye hitam.
Respon masyarakat terkait kebijakan tersebut terbelah menjadi dua kubu. Pertama: masyarakat yang menganggap pengawasan tersebut sebagai tindakan yang melukai perasaan umat Islam. Kedua: masyarakat yang menyambut gembira kebijakan itu, karena dapat menjaga stabilitas masjid sebagai sarana ibadah dari kampanye hitam menjelang Pilpres 9 Juli lalu.
Kelompok pertama, sebagaimana yang diungkapkan Amidhan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengatakan sejak kapan PDIP menjadi polisi agama? Pertanyaan itu mengisyaratkan adanya ketakutan dari kalangan tertentu bahwa kebijakan tersebut merupakan warisan Orde Lama atau Orde Baru. Kelompok kedua, menyambut baik karena adanya semacam kekhawatiran kampanye hitam pada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
Terlepas dari soal Pilpres, menarik untuk dibahas apakah gagasan tentang “polisi agama” memang diperlukan bagi umat Islam di Indonesia.
Polisi Agama
Polisi agama merupakan istilah yang tidak asing di Arab Saudi yang kedudukannya langsung di bawah raja. Polisi Agama merupakan singkatan dari Hay’at al-Amr bi al-Makruf wa al-Nahy an al-Munkar (Lembaga Perintah Yang Baik dan Mencegah Yang Mungkar), sedangkan di Mesir istilahnya Lembaga Amar Makruf Nahi Munkar.
Tugas polisi agama yaitu menyeru agar orang-orang ke masjid untuk melaksanakan ibadah shalat. Pada hari Jum’at ada yang mengendarai mobil dan menggunakan alat pengeras suara untuk mengingatkan orang-orang yang berdagang agar pergi ke masjid. Bahkan satuharapan,com (25/2/2014) pernah memuat berita di mana polisi agama didorong untuk memantau media sosial seperti twitter, facebook, dan akun-akun yang mempromosikan pornografi, sihir dan santet. Dengan mengutip Survei BI Inteleligence pada tahun 2013, Arab Saudi merupakan salah satu negara pengguna twitter dan facebook terbesar.
Arab Saudi merupakan negara yang berbentuk kerajaan. Kepala negaranya seorang raja yang dipilih dari keluarga besar Saudi (Munawir Syadzili, 1993: 221). Sedangkan Indonesia menganut sistem demokrasi, yang lebih menampilkan substansi agama-agama yang ada. Kita masih ingat bagaimana ICRP (International Conference for Religion and Peace), Setara Institute, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika serta kelompok-kelompok lain, mengkhawatirkan adanya tafsiran dari draft RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang akan memunculkan “polisi agama”.
Di Indonesia istilah yang terkenal adalah polisi moral, dan kerap dinisbahkan kepada Front Pembela Islam (FPI) karena sering mengambil tindakan dan wewenang polisi hukum (aparat hukum). Misalnya kejadian di Wonosobo beberapa waktu lalu dengan adanya pemukulan kepada Ketua DPD FPI Syihabuddin. Konon pemukulan itu disebabkan karena ada pernyataan dalam pengajian yang menyinggung GP Ansor dan Banser.
Dari gambaran di atas, tugas dan pelaksanaan dari polisi agama atau moral sebagaimana yang terjadi di Arab Saudi sangat bertentangan dengan Indonesia sebagai negara yang mempraktikkan kebebasan beragama, berpendapat dan berpikir. Ideologi negara kita adalah Pancasila sedangkan Arab Saudi adalah Wahabi.
Kebijakan PDIP
Lalu bagaimana dengan kebijakan yang konon dilontarkan oleh PDIP? Apa memang perlu pengawasan khotib-khotib di masjid dalam rangka kebaikan, yakni mengontrol para khotib dari khutbah yang bersifat provokatif atau kampanye hitam, bukan saja saat kampanye pemilu?.
Mengingat banyaknya kampanye hitam saat Pilpres lalu, soal itu memang cukup mengkhawatirkan karena bisa menjalar sampai ke dalam masjid. Para khotib, khususnya di Indonesia, tidak memiliki batasan topik pembahasan. Tema apapun bisa dibicarakan: ada yang khutbah membangkitkan semangat ibadah kepada Tuhan dan ada juga yang menyampaikan pesan dengan memojokkan kelompok tertentu.
Namun ide penyeragaman atau pembatasan tema khutbah para khotib di hari Jum’at pun tidak baik, misalnya seorang khotib dilarang membicarakan politik, pemilu dan lainnya. Sebab tak jarang kita mendapatkan sang khotib berlatarbelakang politik, hukum dan ekonomi, lalu mereka menyampaikan pesan-pesan bijaksana sesuai dengan kapasitas keilmuwannya.
Usulan PDIP untuk mengawasi khotib berbeda dengan kebijakan polisi agama di Arab Saudi. Usulan PDIP itu hanya sebatas pengontrolan masjid dari kampanye hitam, karena masjid adalah suci maka pesan yang disampaikanpun harus ‘suci’, artinya tidak menjelek-jelekkan kelompok atau kalangan tertentu.
Masyarakat akan tetap menyambut baik, sekiranya usulan kebijakan PDIP itu tidak terbatas kepada masjid semata, tetapi juga di gereja, pura, vihara dan lain sebagainya. Tempat ibadah memang harus disucikan dari pelbagai pesan negatif, walaupun sampai saat ini belum – untuk tidak mengatakan tidak ada – ditemukan dan dilaporkan kepada pihak berwenang adanya ceramah yang menjelek-jelekkan. Tempat ibadah merupakan tempat seruan kepada jalan Tuhan dengan cara hikmah dan memberikan pelajaran yang baik.
Di sini, pesan Gus Mus tentang pemilu lalu, patut kita renungkan bersama sebagai pedoman. “Cara yang paling baik mempengaruhi orang agar ikut mendukung,” kata Gus Mus, “ialah dengan menonjolkan kebaikan-kebaikan calon kalian, bukan dengan memburuk-burukkan calon pemimpin saingan. Mengapa? Sebab, dengan memburuk-burukkan calon pemimpin saingan, pasti akan dibalas dengan hal yang sama. Dan dengan demikian, kedua calon pemimpin akan terlihat buruk semua di mata masyarakat yang hendak kalian pengaruhi.”
Walau disampaikan saat kampanye pemilu, tetapi pesan itu juga berlaku bukan hanya di masa pemilu. Sebab, intinya, mari kita berlomba-lomba melakukan kebaikan, ketimbang mencari kesalahan pihak lain.
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...