‘Daya Saing’ dalam Pendidikan: Daya yang Merusak
SATUHARAPAN.COM - Ketika menceritakan keberhasilan pendidikan di Finlandia dalam bukunya Finnish Lessons. What Can the World Learn from Educational Change in Finland?, Pasi Sahlberg mengutip kata-kata seorang penulis Finlandia, Samuli Paronen. “Real winners do not compete”, pemenang sejati tidak berkompetisi.
Pasi Salhberg melihat bahwa daya saing atau competitiveness menjadi virus bagi dunia pendidikan. Karena virus daya saing itu, penyeragaman lewat standarisasi, penilaian dan akhirnya pemeringkatan membelenggu proses belajar di ruang sekolah (dasar, menengah dan tinggi). Siswa, mahasiswa, guru, dosen, sekolah dan universitas sibuk berusaha masuk dalam peringkat terbaik dan teratas. Mereka dipaksa dan akhirnya (rela) memaksa dan mematut diri masuk ke dalam pemeringkatan itu. Saat daya saing sudah menjadi kebijakan yang dirancang oleh institusi pendidikan, pendidik dan peserta didik terjebak dalam situasi yang memaksa mereka, mau tidak mau untuk bersaing. Pendidikan terfokus pada saingan dan terpaku pada standar pemeringkatan yang berada di luar diri peserta didik dan pendidik.
Cara pikir ‘daya saing’ melihat yang lainnya sebagai pesaing. Di dalamnya tidak ada rasa percaya tulus terhadap manusia lain yang (seharusnya) menjadi kawan dalam arena hidup bersama sehari-hari. Proses mengenal diri yang ditumbuhkan dalam atmosfer ‘daya saing’ adalah pengenalan diri yang semu.
Ia tidak dilihat sebagai usaha untuk menjadikan peserta didik dan pendidik sebagai individu otonom yang mandiri, tetapi lebih melihat diri dan potensinya berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan orang atau pihak lain dalam konteks pemeringkatan yang begitu hirarkis. Tujuan utamanya adalah “saya tidak boleh kalah darinya”. Tubuh dan pikiran kita didisiplinkan oleh ‘etika daya saing’ yang membuat pihak-pihak yang terlibat menginginkan yang lebih dari waktu ke waktu.
Konteks cara pikir ‘berdaya saing’ itu tidak berada dalam konteks yang netral atau lepas dari kepentingan tertentu. Cara pikir semacam itu berada dalam konteks pasar. Kita yang terjebak dalam persaingan, sebenarnya sedang menawarkan kepintaran kita, sebagai hasil dari proses pendidikan, dalam arena pasar. Kepentingan pembeli untuk mencari yang terbaik, yang sedang kita layani. Kita mencari penawar tertinggi. Di pasar kita sedang menonjolkan kelebihan kita atau kekurangan yang lain untuk bisa ditawarkan dan dijual. Lembaga pendidikan yang mempunyai semangat ‘berdaya saing’ menjadi penjual, sementara peserta didiknya menjadi ‘barang yang dijual’.
Karena pemeringkatan tidak bisa membuat mereka yang saling bersaing di tempat yang sama secara bersamaan, maka dalam pemeringkatan ada kelas-kelas. Sama seperti ketika kita melihat ada produk yang dilabel sebagai produk ‘Kw 1’. Kelas-kelas ini dirancang oleh sistem pemeringkatan bukan saja untuk menjadi sistem pemuliaan, mencapai hasil yang terbaik daripada sekedar baik, tetapi juga untuk menjaring konsumen pendidikan untuk dapat mengkonsumsi pendidikan. Piramida masyarakat ‘manusia yang mengkonsumsi’ ditopang pemenuhan kebutuhannya oleh pasar pendidikan semacam ini.
Virus daya saing bukan saja menjadikan pendidikan terlalu berorientasi ke luar, tetapi juga menumbuhsuburkan hasrat mengkonsumsi manusia yang semakin hari semakin tak terpuaskan. Kelas-kelas yang menunjukkan kualitas dibuat semakin bervariasi dan hirarkis untuk memuaskan hasrat manusia untuk mengkonsumsi. ‘Daya saing’ menjadi virus yang memunculkan konsumerisme dalam masyarakat kita. Karena itu tidak mengagetkan jika di lembaga-lembaga pendidikan kita yang mengagung-agungkan ‘daya saing’ tumbuh begitu subur aktor-aktor pendidikan (peserta didik dan pendidik) yang begitu konsumtif dan tidak mengenal dirinya sehingga tidak pernah selesai dengan dirinya sendiri.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UI dan Penggiat Lingkar Studi Pendidikan Progresif (LSP-Progresif)
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...