Kejut-kejut Politik Pemilu Legislatif
SATUHARAPAN.COM - Misteri tentang hasil pemilu legislatif 9 April tersingkap sudah. Meskipun belum ada hasil final penghitungan riil (real count), hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan banyak lembaga survei telah menunjukkan kesimpulan yang relatif sama.
Hasil hitung cepat Litbang Kompas ketika tulisan ini hadir menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan/PDI-P sebagai pemenang pemilu (19,24%). Berturut-turut diikuti: 2. Golongan Karya/Golkar (15,01%), 3. Partai Gerindra (11,77%), 4. Partai Demokrat (9,43), 5. Partai Kebangkitan Bangsa/PKB (9,12%), 6. Partai Amanat Nasional/PAN (7,51%), 7. Partai Keadilan Sejahtera/PKS (6,99%), 8. Partai Nasional Demokrat/Nasdem (6,71%), 9. Partai Persatuan Pembangunan/PPP (6,8%), 10. Partai Hati Nurani Rakyat/Hanura (5,1%), 11. Partai Bulan Bintang/PBB (1,5%), dan 12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/PKPI (0,95%).
Hasil hitung cepat Cyrus - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan hasil hampir identik dengan urutan : 1. PDI-P (18,90%), 2. Golkar (14,30%), 3. Gerindra (11,80%), 4. Demokrat (9,80), 5. PKB (9,20%), 6. PAN (7,50%), 7. PKS (6,90%), 8. Nasdem (6,90%), 9. PPP (6,70%), 10. Hanura (5,40%), 11. PBB (1,60%), dan PKPI (1,10%). Kedua hasil hitung cepat hampir menangkup 100 persen sampel.
Sebagian dari hasil ini bisa disebut sebagai kejutan politik (political surprises) karena berkaitan dengan sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya dan nilai positif yang dihasilkan. Namun ada juga yang bisa disebut sebagai “kejut-kejut politik” (political shocks) yang konsekuensinya dapat berarti positif dan negatif.
Kejut-kejut politik tak bisa diafkirkan. Kejut-kejut itu sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya, hanya saja kurang mendapatkan perhatian intensif. Adagium bahwa “segalanya sangat mungkin terjadi dalam politik”, mengharuskan “hal-hal yang tidak diperhitungkan” harus dihitung ketika telah menjadi kenyataan politik, karena memengaruhi relasi, interaksi, sistem dan struktur politik ke depan.
Salah satu hal yang telah diperhitungkan dari survei-survei sebelumnya adalah partai-partai yang terdegradasi, yaitu PBB dan PKPI. Kedua partai ini menjadi partai yang paling tidak diinginkan. Mereka menjadi peserta pemilu setelah berperkara dengan KPU di pengadilan tinggi tata usaha negara. Kegagalan dua partai ini adalah bukti lemahnya visi kepartaian dan faktor determinasi personalitas ketua yang tidak menyebar secara merata dengan pimpinan lain dan kader. Menjadi partai nasional kuat tidak cukup hanya menjual peran “Jakarta” atau “Bangka-Belitung” saja. Dengan suara kurang dari 2 persen sudah dipastikan kedua partai ini keluar dari arus utama politik nasional.
Hal yang juga sudah diperhitungkan adalah tiga besar partai pemenang pemilu. Sebagian besar survei yang dilakukan sebelum hari H 9 April 2014 menempatkan PDI-P-Golkar-Gerindra sebagai tiga besar, mengganti posisi tiga besar 2009-2014, Demokrat-Golkar, PDI-P. Hanya Golkar yang bisa disebut sebagai anomali dalam konteks perubahan politik nasional. Ia tak lekang oleh erosi politik rejimis yang gagal. Hasil ini adalah konsekuensi logis berpolitik. Ketika rejim berkuasa gagal memberikan kepuasan publik dalam pemerintahan, kekuatan oposisi akan mengapitalisasi deposito oposisionalnya untuk merebut kekuasaan pada momentum elektoral.
Hampir semua lembaga survei bersepakat dengan itu. Hanya ada satu lembaga survei yang keliru besar memprediksi posisi tiga besar. Lembaga itu menempatkan Gerindra sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara di atas 20 persen. Hasil survei itu dipublikasi di banyak media massa, nasional dan lokal secara massif pada hari tenang (6 April). Tentu saja, peran lembaga survei itu menjadi preseden buruk keilmiahan metode survei yang seharusnya makin ideal, rasional, dan transparans.
Kejut-Mendenyut
Namun kemenangan PDI-P yang tak sampai 20 persen tetap merupakan kejutan politik. Konsekuensi logisnya, PDI-P gagal memenuhi persyaratan presidential threshold untuk mencalonkan paket calon presiden-wakil presiden secara mandiri tanpa koalisi. Kesimpulannya, besarnya animo dan kesukaan publik terhadap figur Joko Widodo tidak berbanding lurus dengan kesukaan pada PDI-P. Padahal banyak pihak memperkiraan, upaya pencalonan Jokowi sebagai presiden sebelum pileg dapat mendongkrak suara PDI-P hingga 25-30 persen.
Jika mengacu pada hasil suvei Kompas pada awal tahun 2014 yang menempatkan elektabilitas Jokowi mencapai 43,5 persen, berarti lebih separuh “Jokowi fans” tidak melabuhkan pilihannya kepada partai banteng hitam itu. PDI-P tidak dianggap sebagai satu-satunya kekuatan utama perubahan, sehingga para pendukung Jokowi memilih golput atau menyebar pilihan pada “partai-partai perubahan” lain dengan alasan ideologis, kultural, atau pragmatis.
Hal ini tentu saja bisa menjadi kejut-mendenyut politik selanjutnya. Elektabilitas Jokowi yang terus meroket sepanjang tahun 2013-2014 bisa jadi akan berhenti dan berkurang jika gagal melakukan akselerasi di tikungan seturut dengan naiknya elektabilitas Gerindra di sirkuit pemilu presiden. Salah satu langkah penting untuk momentum Jokowi adalah memilih pasangan calon wakil presiden yang senafas dengan prinsip perubahan secara substansial.
Kini “Jokowi effect” akan berhadapan dengan efek lainnya yaitu “Prabowo effect” dan “partai-partai Islam effect” yang kini dimotori oleh PKB. Melonjaknya suara PKB menjadi fenomena bangkitnya kembali partai-partai Islam sebagai poros utama politik nasional. Jika sebelumnya banyak prediksi partai-partai Islam akan kesulitan menembus angka lima persen, kini empat dari lima partai bernuansa Islam mampu memeroleh suara di atas enam persen dengan total suara 31 persen. Kekuatan “poros tengah” – memakai istilah yang pernah dipopulerkan oleh Amin Rais - bisa sangat menentukan hitam-putihnya situasi politik nasional jika mereka mampu mengonsolidasikan visi, kekuatan, dan kekompakan politik sebuah kesatuan yang integratif. Jika pun partai-partai Islam berpisah jalan, potensi mereka juga signifikan.
Tampilnya PKB sebagai partai Islam paling populer juga karena keberhasilan mereka mempraksiskan idealisme politik untuk konteks Indonesia, yaitu mengompromikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, kemasyarakatan, dan demokrasi secara tepat. Nilai-nilai pluralisme pada partai bentukan Gus Dur ini menjadi identitas utama, tidak sekedar retorika tersamar. Sebaliknya terpuruknya PKS di antara empat besar partai Islam jika dibandingkan dengan perolehan pemilu 2009 juga menjadi kritik terhadap model konfigurasi nilai-nilai demokrasi, HAM, dan antikorupsi yang tidak efektif dijalankan partai dua sabit ini.
Risiko Baru?
Meskipun kualitas pemilu legislatif kali ini secara kasat mata dilihat lebih baik dibandingkan pemilu 2009, terutama pada proses penyelenggaraannya, ada noda-noda elektoralisme yang bisa dianggap berisiko. Pada pileg kali ini, lima provinsi telah diidentifikasi sebagai wilayah rawan dalam penyelenggaraan yang jujur, adil, rahasia, dan demokratis (Aceh, Papua, Maluku, Sulawesi Tengah, dan Lampung).
Problem paling besar bukan hanya karena kultur kekerasan masih bergelayut di daerah-daerah pascakonflik tapi juga netralitas sang penyelenggara. Di Aceh, sebelum hari H, ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Timur ditangkap polisi karena membawa kotak surat suara tanpa pengawalan (Serambi Indonesia, 9 April). Di Aceh Pidie ada 406 surat suara yang telah tercoblos untuk Partai Aceh, partai lokal paling berpengaruh di sana (Serambi Indonesia, 10 April). Pada lima provinsi ini, proses pemilu masih menjadi rutinitas politik. Namun hal itu tidak menjadi kesimpulan umum dan mengabaikan detil-detil demokrasi elektoral yang semakin bertumbuh di mayoritas provinsi dan secara nasional.
Pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum Partai Demokrat pada 9 April malam yang menerima kekalahan dan memberi selamat kepada tiga besar pemenang pemilu 2014 adalah langkah bijaksana. Sikap itu membesarkan hati meskipun baru mengacu pada hitung cepat. Pernyataan itu mampu menetralisasi efek negatif psikopolitik dari the winner menjadi the looser. Perubahan drastis rejim tentu sangat berpotensi mengeruhkan hasil pemilu dan mendorong pada status quo - seperti analisis spekulatif yang beredar selama ini.
Yang ditunggu publik kini adalah meneruskan kebaikan demokrasi elektoral hingga pemilihan presiden, agar republik semakin sehat kualitas demokrasinya dan menjauh dari predikat negara gagal menjalankan demokrasi kesejahteraan.
Penulis adalah dosen Antropologi Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...