Defisit Kekuatan KPK
SATUHARAPAN.COM – Sejak Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri, taggar #SaveKPK langsung menjadi wacana publik hingga kini. Apalagi menyusul BW, dua komisioner lainnya, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, telah dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan tindak pidana. Sementara saat bersamaan Ketua KPK Abraham Samad diserang dengan isu kode etik, digoyang dengan kabar miring tentang WIL (wanita idaman lain), dan dilaporkan atas tudingan memalsukan dokumen dan gratifikasi senjata api.
Pada 25 Januari, saat mengumumkan terbentuknya Tim 9 terkait konflik KPK versus Polri, Presiden Jokowi mengatakan secara tegas “jangan ada kriminalisasi”. Namun faktanya, Polri jelas-jelas tidak mengindahkannya alih-alih mengabaikannya. Karena sesudah itu justru Ketua KPK Abraham Samad, yang ditetapkan sebagai tersangka (9 Februari) oleh Polda Sulawesi Selatan dan Barat. Selanjutnya Kabareskrim Komjen Budi Waseso mengintimidasi KPK dengan mengatakan 21 penyidik komisi antirasuah ini bakal dijadikan tersangka karena belum mengembalikan pistol dan tak memperpanjang izin penggunaannya. Mereka terancam hukuman penjara paling lama 20 tahun penjara lantaran diduga melanggar UU Darurat No 12 Tahun 1951. Padahal, semua penyidik itu telah mengundurkan diri dari Kepolisian.
Yang terbaru, Kabareskrim menegaskan bahwa kasus yang melibatkan penyidik KPK Novel Baswedan di tahun 2004 dibuka kembali. Padahal, kasus serupa pernah dibuka kembali di tahun 2012, tapi lalu dihentikan atas perintah Presiden SBY. Aneh sekali, seakan Novel dijadikan kartu truf yang siap dimainkan kapan saja. Tidakkah itu hanya menunjukkan cara kerja Polri yang tidak profesional?
Publik pun terusik. Jika ini dibiarkan terus, KPK bisa lumpuh. Bahkan bisa saja kelak wacana pembubaran KPK bergulir deras menjadi agenda politik di DPR. Bukankah wacananya sudah pernah diembuskan oleh Ketua DPR (2019-2014) Marzuki Alie dan anggota DPR yang kini menjadi Wakil Ketua DPR (2014-2019) Fahri Hamzah?
Kita tak boleh lupa, KPK dibentuk karena Polri dan Kejaksaan dipandang kurang efektif dalam memberantas korupsi. Boleh dibilang, KPK adalah anak kandung reformasi yang cukup berhasil melaksanakan peran dan tugasnya. Menurut hasil penelitian ICW, dalam kurun waktu 2014, uang negara yang diselamatkan KPK mencapai Rp2,8 triliun. Angka ini jauh mengungguli yang diselamatkan oleh Kepolisian RI yang hanya Rp67,7 miliar dan Kejaksaan Agung sebesar Rp 792 miliar.
Gebrakan KPK juga terbilang berani. Sudah banyak kepala daerah, elit partai, menteri, bahkan wakil presiden yang dijadikannya tersangka korupsi. Tak heran kalau popularitas KPK di dunia mulai menyamai lembaga serupa di Hongkong, Independent Commission Against Corruption (ICAC). Tak heran juga jika mantan komisioner ICAC Tony Kwok menyebut KPK sebagai lembaga antikorupsi nomor tiga terbaik di dunia.
Data Transparancy International Indonesia (TII) di tahun 2014, misalnya, menyebutkan skor Corruption Perception Index Indonesia adalah 34 atau naik dua digit dari skor di tahun 2013. TII menyebut Polri sebagai institusi yang dipersepsikan paling korup dengan skor 91 persen. Di bawah Polri ada DPR dengan skor 89 persen, serta Pengadilan, Kejaksaan dan Parpol persentasenya sama: 86 persen. |
Pada 18 Februari, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa ia menunjuk mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, Guru Besar Hukum Pidana Indriyanto Seno Adji dan Deputi Pencegahan Johan Budi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK. Penunjukan itu dilakukan setelah Jokowi memberhentikan sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang telah dijadikan tersangka.
Selamatkah KPK? Sebenarnya tak perlu ditanya, karena KPK tak mungkin bubar jika UU yang melandasinya tidak dibatalkan. Yang perlu ditanya adalah ini: menguat atau melemahkah KPK? Jawabannya jelas dan publik tahu bahwa KPK mengalami defisit kekuatan. Alasannya, pertama, karena KPK sebagai lembaga kuasi-negara yang berada di garda depan dalam pemberantasan korupsi harus dipimpin oleh orang-orang yang tak hanya berkualitas dan berintegaritas, tapi juga berani. Terkait itulah tampilnya Ruki menggantikan Samad memudarkan harapan publik. Terbukti, karena Ruki “menyerah” dengan melimpahkan kasus BG ke Kejaksaan Agung, sementara komisioner lainnya dan bahkan pegawai KPK sendiri menginginkan kasus BG terus ditangani KPK.
Kedua, korupsi di negara ini sudah menyerupai kanker, yang kian lama kian merusak organ-organ vital kita (Inge Amundsen, 1999). Korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga perlu diperangi dengan cara-cara yang luar biasa pula. Memang, KPK bersifat ad hoc, yang bisa diartikan “bertujuan khusus” bisa juga “tidak permanen”. Tujuan khususnya jelas: memberantas korupsi. Jadi, sampai kapankah KPK dibutuhkan? Sangat sulit dipastikan limitnya, karena tak seorang pun dapat memprediksi kapan Indonesia bersih dari korupsi.
Publik marah melihat para koruptor, apalagi kebanyakan mereka adalah para pejabat di lembaga-lembaga negara yang terhormat. Maka tak perlu heran jika ada beberapa hasil survei yang mengatakan mayoritas rakyat Indonesia lebih mempercayai KPK daripada Polri dalam hal pemberantasan korupsi. Data Transparancy International Indonesia (TII) di tahun 2014, misalnya, menyebutkan skor Corruption Perception Index Indonesia adalah 34 atau naik dua digit dari skor di tahun 2013. TII menyebut Polri sebagai institusi yang dipersepsikan paling korup dengan skor 91 persen. Di bawah Polri ada DPR dengan skor 89 persen, serta Pengadilan, Kejaksaan dan Parpol persentasenya sama: 86 persen.
Terkait itu maka tak heranlah jika taggar #Save KPK bertahan sebagai trend topic hingga kini. Karena itulah kita juga ingin Presiden Jokowi bersikap lebih tegas kepada Polri, bukan hanya sekedar meminta “jangan kriminalisasi”. Untuk itu setidaknya dua hal ini dapat dipertimbangkan. Pertama, terbitkan keppres yang menyebutkan bahwa para komisioner KPK tak boleh dijadikan tersangka, dalam kasus apa pun, hingga berakhirnya masa tugas mereka. Kedua, terbitkan keppres untuk landasan hukum Tim 9 menjadi tim khusus penasihat presiden di bidang pemberantasan korupsi. Untuk itu anggota Tim 9 yang tidak aktif, yakni Jenderal Pol (Purn) Sutanto, harus segera ditunjuk penggantinya.
Lalu bagaimana dengan Polri? Taggar #SavePolri sebenarnya juga mencuat ke publik, meski tak seluas dan segencar taggar #SaveKPK. Wajar, sebab tanpa perlu diselamatkan pun Polri niscaya selalu aman. Karena, Polri bukan lembaga ad hoc, sehingga tak ada alasan logis yang bisa diterima untuk membubarkannya. Yang diperlukan justru taggar #BersihkanPolri. Karena, sebagai lembaga yang turut berperan memerangi korupsi, Polri justru telah lama distigmakan sebagai lembaga “sarang-penyamun”. Memang, sarkastik kedengarannya. Tapi bukankah pelesetan “Kasih Uang Habis Perkara” (KUHP) muncul karena selama ini publik sudah membuktikan kebenarannya? Kalau ada urusan yang menyangkut polisi, mau cepat beres, ya kasih uang.
Maka, beredarnya video “Kopaja Setor Polisi di Bundaran HI” beberapa waktu lalu sebenarnya tidaklah mengherankan kita, walau Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Risyapudin mengaku terkejut saat menontonnya. Sebab, praktik “pungli” (pungutan liar) seperti itu sudah terjadi sejak dulu. Di internal Polri sendiri, praktik “nyetor” ke atasan agar karir mulus seakan telah menjadi kelaziman. Belum lagi yang menyangkut proyek-proyek pengadaan logistik, prasarana, dan lainnya. Atasan dan bawahan biasanya sama-sama terlibat, agar semuanya saling menjaga kerahasiaan demi keamanan. Itulah yang disebut korupsi berjenjang dan berjemaah.
Tak bisa tidak, Presiden Jokowi harus diingatkan terus-menerus untuk mewujudkan janjinya memperkuat KPK serta mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi. Jokowi harus menunjukkan bahwa dia seorang negarawan dan representasi rakyat, bukan representasi partai-partai pendukungnya.
Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...