Eksekusi Mati: Kenapa Kita Diam Saja?
SATUHARAPAN.COM – Saat ini publik kembali dihebohkan dengan berita eksekusi mati para terpidana kasus narkoba jilid II. Pro dan kontra masih terus mengemuka. Mirisnya, suara yang kontra terhadap hukuman mati makin sayup-sayup. Aktivis penggiat kemanusiaan praktis hilang suaranya, terpaksa diam atau bila tidak, sekarang mereka telah ramai-ramai berpindah haluan mendukung hukuman mati. Mahasiswa? Lagi-lagi mahasiswa tidak bisa diandalkan untuk dapat berpikir lebih dari melakukan demo ikut-ikutan pengumpulan koin sebagai protes kepada Perdana Menteri Australia. Jelas dan tegas dalam menentang hukuman mati seperti yang dituliskan Franz Magnis-Suseno dalam opini Kompas beberapa waktu yang lalu artinya berjuang dalam kesendirian.
Media massa dalam hal ini sangat berjasa menyetir opini publik menuju pada suara mayoritas mendukung presiden Jokowi untuk menjalankan ‘pembunuhan legal-berencana’ atas nama kedaulatan, penegakan hukum dan perang melawan narkoba. Setiap hari hampir semua media bersuara sama, memuat berita tentang kerugian bangsa yang maha dahsyat yang disebabkan oleh narkoba dan tentang pihak asing yang dinilai telah ikut campur dalam urusan dalam negri. Kata-kata seperti intervensi asing, kedaulatan negara, penegakan hukum kerap sekali muncul. Tidak hanya sekedar pemberitaan, media bahkan telah memproduksi berbagai acara diskusi disertai berbagai analisis mendukung hukuman mati yang tak lain adalah bentuk pembodohan. Ini akibatnya bila media massa yang bodoh, sangat percaya diri dan justru secara sadar atau tak sadar telah melakukan pembodohan bangsa.
Harus diakui bahwa bangsa kita ini memang masih merupakan bangsa barbar. Di saat peradaban dunia tengah berjuang untuk tumbuh, mengarah pada sebuah tatanan peradaban yang lebih menusiawi, Indonesia masih saja tidak dapat melepaskan diri dari budaya-budaya arkaik barbarisme, di mana nafsu yang besar untuk membunuh ditampilkan dengan gamblang di ruang-ruang publiknya. Ruang publik Indonesia sebenarnya merupakan cerminan ruang publik tidak beradab yang penuh dengan kekerasan. Hanya saja, saat ini nafsu untuk membunuh itu semakin mau diperlihatkan sejalan dengan modernitas, demokrasi bahkan keadaban itu sendiri. Bagaimana caranya; yaitu dengan melegalkan pembunuhan dan tak lupa menyertainya dengan argumen-argumen yang seakan-akan logis dan rasional tetapi sebenarnya mengandung kesalahan simplifikasi yang fatal.
Bahaya Simplifikasi
Saya ingin memberi ulasan lebih jauh tentang bahaya simplifikasi akut dari argumentasi hukuman mati. Dan dibandingkan argumentasi-argumentasi hukum yang sebenarnya ‘tidak ada’ dari selain mendukung hukum yang sudah dibuat dan dilegitimasikan oleh penguasa, saya lebih ingin mengkritisi situasi kebodohan akut orang Indonesia secara sosiologis.
Misalnya tentang argumentasi ‘perang melawan narkoba’. Pikiran orang Indonesia itu sangat sederhana, bila tidak dapat dikatakan cenderung naif atau bodoh. Bagi sebagian besar orang Indonesia, ini termasuk yang dipikirkan oleh yang terhormat Bapak Presiden Jokowi (yang saya pilih dalam pemilu presiden yang lalu) dan juga media massa, ‘perang melawan narkoba’ itu diterjemahkan sangat sederhana menjadi ‘perang melawan bandar narkoba’. Kata ‘perang’ disini juga diterjemahkan dengan sangat simpel yaitu ‘bunuh’. Dunia ini sangat sederhana, ‘as symple as that’, oleh karena itu, berpikir sederhana adalah kunci jawaban bagi kehidupan yang lebih lancar dan jaya.
Bila kita coba mau sedikit melepaskan kesombongan terhadap kemampuan kita dalam menyederhanakan kehidupan dan membuang lagi-lagi kemalasan kita untuk berpikir lebih rumit, maka argumentasi pikiran sederhana, instan dan cepat seperti itu dapat dengan cepat runtuh. Secara sosiologis, sebenarnya terdapat berbagai kesalahan yang meyakinkan dalam memahami permasalahan narkoba. Pertama, permasalahan narkoba di masyarakat jelas tidak hanya menyangkut gembong dan atau pengedar narkoba. Gembong narkoba hanyalah sebagian aktor pemain dalam keseluruhan sistem peredaran dan penggunaan narkoba. Berbagai pihak lain yang dalam hal ini juga terlibat, selain gembong dan atau pengedar, adalah si pemakai itu sendiri, orang tua, sanak keluarga dan orang-orang dekat pemakai, pihak lain yang mengkontrol seperti masyarakat, pemerintah dan apartusnya.
Mari kita ulas satu per satu. Pertama, tentang si pemakai. Pertanyaan utama yang patut dikemukakan, apakah gembong dan atau pengedar narkoba akan terus melakukan aksinya bila tidak ada konsumen? Adalah fakta bahwa peredaran ini mengikuti hukum permintaan dan penawaran, di mana kebutuhan memang bisa diciptakan sedemikian rupa, tetapi bahwa kreativitas itu disambut dengan kegembiraan di luar sana. Dalam hal ini Presiden Jokowi dan media massa yang berulang kali mengatakan bahwa narkotika telah membunuh dan merusak generasi bangsa, secara tidak adil dan sembrono memposisikan para pemakai narkoba sebagai ‘korban yang (tak) berdosa’, padahal bila satu pemakai saja menyatakan menolak (dengan berbagai usaha yang mungkin tidak mudah), maka sebenarnya ia telah memutus satu tali permasalahan narkoba di masyarakat.
Kedua, tentang si orang tua. Lagi-lagi yang mengemuka di ruang publik, kelihatan dengan jelas dan dengan penuh kebencian, orang tua menyalahkan para gembong dan atau pengedar narkoba. Anak-anak lagi-lagi dianggap sebagai domba putih suci yang telah terperangkap dalam jebakan. Mereka bahkan ramai-ramai membuat komunitas yang dengan gagahnya menyatakan mau memerangi narkoba. Sementara kebanyakan dari mereka hampir tidak pernah mempertanyakan perannya dalam masalah itu. Banyak orang tua kelakuannya sangat bisa ditebak, yaitu mencari kambing hitam terhadap apa yang menimpa anaknya, tetapi tidak mencoba melihat pada diri sendiri.
Gembong narkoba hanyalah sebagian aktor pemain dalam keseluruhan sistem peredaran dan penggunaan narkoba. Berbagai pihak lain yang dalam hal ini juga terlibat, selain gembong dan atau pengedar, adalah si pemakai itu sendiri, orang tua, sanak keluarga dan orang-orang dekat pemakai, pihak lain yang mengkontrol seperti masyarakat, pemerintah dan apartusnya. |
Mengapa seseorang dapat dengan mudah jatuh dalam lingkaran narkoba, tentu banyak faktor yang berpengaruh. Salah satunya adalah pengetahuan dan kesadaran tentang bahaya narkoba bagi kehidupan. Di titik ini dapat dipertanyakan, apakah seorang anak dapat memasuki dunia narkoba dengan mudahnya bila tidak karena ia memang mau masuk ke dalamnya? Di mana bimbingan orang tua dalam hal ini? Atau orang tuanya sibuk sendiri mencari uang tanpa mengetahui bahwa akhirnya uang itu digunakan anaknya untuk jajan narkoba?
Ketiga, tentang institusi kontrol lainnya, yaitu masyarakat, pemerintah dan apartusnya. Dalam banyak kasus keterlibatan masyarakat dalam melanggengkan dan melapangkan narkoba adalah begitu jelas. Pembiaran, ketidakberanian, ketidakpedulian bahkan yang terang-terangan mengambil keuntungan dari narkoba merupakan bentuk dukungan yang paling riil terhadap masalah ini. Populernya sebutan ‘Kampung Narkoba’ membuktikan bahwa masyarakat yang tidak peduli dan atau bahkan jahat telah terlibat dalam melanggengkan masalah ini. Mengenai pemerintah dan aparatusnya, sangat kelihatan bahwa yang mau dikesankan di ruang publik adalah bahwa pemerintah dan aparatusnya begitu peduli dan mencoba sekuat tenaga untuk dapat meminimalisir peredaran narkoba. Setiap saat setiap waktu media massa menyiarkan hasil tangkapan narkoba yang dilakukan polisi. Polisi dan pemerintah dalam hal ini telah diposisikan sebagai super hero pelindung masyarakat. Tapi apakah memang betul demikian? Apakah memang betul bahwa polisi benar-benar suci murni dan heroik seperti yang digambarkan itu? Apakah betul bahwa pemerintah juga benar-benar berusaha dan bisa dalam hal ini memberantas narkoba tanpa ada kepentingan-kepentingan politis lainnya?
Mengakhiri Pembodohan
Dengan mengambil langkah berpikir yang agak rumit memang membutuhkan usaha dan kesabaran. Namun manfaat yang bisa diambil jauh lebih besar. Bila setiap pihak mau lebih melakukan otokritik terhadap dirinya, bertanya apa yang telah saya sumbangkan bagi permasalahan narkoba itu, maka sebenarnya dapat tergambar dengan jelas bahwa banyak pihak bahkan semua, telah memberi kontribusi dalam melanggengkan narkoba, terlebih Bapak Presiden sendiri yang notabene memiliki kekuasaan yang besar di negri ini.
Hukuman mati sekali lagi mencerminkan bangsa ini belum beradab dimana ruang publik masih menjadi arena kekerasan pemuasan nafsu membunuh. Percuma saja kita sok mempromosikan keutamaan-keutamaan di ruang publik seperti nilai-nilai kemanusiaan, cinta kasih, solidaritas sosial, gotong royong dan sebagainya, tetapi ruang publik tetapi didominasi oleh bukan sekedar wacana tapi tindakan kekerasan. Maka bangsa kita dipastikan akan terpuruk pada sebuah lingkaran kekerasan yang tak pernah terselesaikan. Mungkin seterusnya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa pembunuh yang kejam. Masih adanya hukuman mati juga mencerminkan bahwa bangsa ini sombong dan congkak. Setiap orang sudah bertindak bagaikan Tuhan yang merasa memiliki otoritas atas kehidupan.
Tampaknya, semua pihak harus mulai mawas diri. Harus ada pembenahan terhadap manusia Indonesia secara menyeluruh. Para awak media, kalau bisa kembali ke bangku sekolah atau melakukan berbagai usaha untuk membenahi kemampuan analisisnya yang amburadul sehingga tidak berakibat pada pembodohan publik. Para pejuang kemanusiaan, jangan patah semangat untuk menyuarakan anti-hukuman mati walau gempuran membabi buta dari banyak arah, ini semua demi ruang publik yang lebih manusiawi. Para akademisi yang masih mau dan masih mampu berpikir (karena tidak semua akademisi mau dan mampu) tetap harus teguh mempromosikan anti-hukuman mati demi pembangunan keadaban Indonesia.
Penulis adalah Dosen Sosiologi FISIP-UI. Mahasiswa Doktor di EHESS, Paris. Penggiat Lingkar Studi Pendidikan Progresif.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...