Dekrit Presiden Tidak Batalkan UU Pilkada
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Bali, Dr I Nyoman Subanda menyatakan bahwa dekrit presiden tidak bisa membatalkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang mengundang pro dan kontra di masyarakat.
"Dalam keadaaan darurat baru bisa (keluar dekrit presiden), ini (UU Pilkada) bukan keadaan darurat, ini murni karena teknis Pilkada," katanya ditemui di Kampus Pascasarjana Undiknas, Denpasar, Senin (29/9).
Menurut dia, dalam keadaan darurat dan negara tidak berdaya seperti keadaan perang, serangan luar biasa kepada negara dan terkait masalah perjanjian perbatasan antarnegara yang menimbulkan ketegangan antanegara, presiden baru bisa mengeluarkan dekrit.
Besarnya penolakan dari masyarakat juga tidak serta merta, lanjut dia, membuat kepala negara harus mengeluarkan dekrit namun legislatiflah yang harus melakukan formulasi kebijakan terlebih dahulu.
Formulasi kebijakan itu, kata dia, dilakukan dengan menyerap aspirasi masyarakat, mengidentifikasi persoalan di masyarakat, kemudian penyusunan alternatif untuk kemudian didiskusikan dengan tim ahli.
"Setelah diuji kemudian alternatif dirumuskan ulang. Tetapi ini (UU Pilkada) awalnya dari kekalahan koalisi partai tertentu yang kalah dalam Pilpres," katanya.
Untuk itu, doktor lulusan Universitas Airlangga, Surabaya itu juga menyayangkan sikap beberapa partai politik tertentu yang tidak memiliki kedewasaan karena lahirnya UU Pilkada itu dilatarbelakangi dendam dan kekalahan setelah Pilpres.
"Kami sangat sayangkan tokoh nasional dari parpol tetapi masih terkontaminasi pemikiran yang tidak dewasa," ujar Subanda.
Kini harapan masyarakat terkait UU Pilkada itu ada di tangan Mahkamah Konstitusi yang diharapkan menentukan keadilan selain melihat unsur-unsur hukum positif namun juga dari sudut suara rakyat meskipun dari acuan UU, MK bisa menguatkan UU Pilkada tersebut.
"Kalau acuan Undang-Undang, MK bisa menguatkan UU Pilkada itu. Artinya gugatan orang bisa gugur karena keputusan DPR tidak melanggar aturan. Tetapi masalahnya aspek lain juga harus dipertimbangkan MK seperti dinamika suara rakyat, keadilan dan melihat yang terbaik dari yang baik," katanya. (Ant)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...