Demokrasi Sedang Membusuk di Senayan
SATUHARAPAN.COM – Sejak mengucapkan sumpah pada 1 Oktober hingga sebulan lebih ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih berkutat pada konflik internal, bahkan terpencah menjadi dua kepemimpinan. Pertama kelompok pimpinan dari Koalisi Merah Putih, dan kedua kelompok Koalisi Indonesia Hebat. Dan masing-masing pihak saling menolak eksistensi mereka.
Konflik ini mencerminkan dengan jelas konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan di pimpinan lembaga legislatif ini. Setelah perpecahan dalam pemilihan pimpinan Dewan, masalah terus melebar pada pemilihan pimpinan badan kelengkapan Dewan.
Media ini pada hari Kamis (2/10) atau sehari setelah pengambilan sumpah anggota Dewan telah menurunkan editorial yang intinya mengingatkan adanya ancaman dari Senayan terhadap demokrasi di Indonesia. Hal itu dengan nyata terjadi sebegitu cepat setelah mereka secara resmi menjadi anggota Dewan.
Sinyal adanya ancaman pada demokrasi justru ketka sidang pleno pertama perdebatan dan konflik terjadi secara berlarut-larut, dan hanya mengenai jabatan dan kekuasaan. Anggota Dewan dengan fulgar mengabaikan posisinya sebagai wakil rakyat dalam sebuah negara demokrasi. Mereka tanpa rasa malu mengumbar nafsu kekuasaan, berpikir dan bertindak demi kepentingan sendiri atau kelompok.
Mengabaikan Sumpah
Esensi dari demokrasi adalah ketika rakyat berdaulat atas negara ini, mencakup seluruh wilayah negara dan dalam kehidupan kenegaraan. Pemerintahan sebagai unsur negara bisa berubah, tetapi wilayah dan rakyat tidak. Dan itu sebabnya pemerintah bukan hanya memerluka legitimasi dari rakyat secara prosedural, tetapi juga secara substansial bekerja dengan mandat dan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Anggota Dewan ini secara prosedural memiliki legitimasi sebagai wakil rakyat, tetapi secara substansial justru memamerkan perilaku yang jauh dari kepentingan rakyat. Bahkan anggota Dewan ini sudah lupa pada sumpah / janji yang baru saja diucapkan.
Mereka mengucapkan: "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia." (Cetak tebal oleh Redaksi.)
Hal itu dengan cepat dilupakan anggota Dewan, bahkan ketika mereka masih mengenakan pakaian yang sama yang dikenakan ketika mengucapkan sumpah / janji itu. Lalu, apa yang bisa dikatakan pada pribadi-pribadi yang ucapannya tidak bisa dipegang?
Pembusukan Demokrasi
Kritikan dari publik melalui media massa dan media sosial telah dengan masif dilontarkan, dan diyakini bahwa hal itu sampai pada telinga anggota Dewan. Namun sejauh ini tidak menunjukkan bahwa kritik itu sampai pada hati mereka. Hal itu terlihat bahwa sampai sekarang Dewan tidak menunjukkan perubahan dan koreksi diri. Anggota Dewan masih terus “bermain” dengan permainan kepentingan mereka, dan melupakan kepentingan rakyat.
Pesimistis memang telah muncul pada Dewan periode 2014 -2019 ini. Terutama karena mereka produk pemilihan legislatif diwarnai oleh permainan uang. Hal ini dipertegas ketika para wakil partai mengungkapkan masifnya politik uang pada rapat penetapan hasil pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jaul beli dan pencurian suara banyak disebutkan terjadi dengan masif, dan hal ini menyebabkan ikatan mereka dengan rakyat memang lemah. Mereka memposisikan mewakili diri yang telah membeli suara. Bahkan santer dibicarakan terjadi “politik dagang sapi” untuk pemilihan pimpinan Dewan.
Dalam konteks ini, kita pantas menyebutkan bahwa Dewan dalam situasi kritis, karena esensi dari eksistensi lembaga legislatif ini, yaitu representasi kepentingan seluruh rakyat dalam proses demokrasi , tengah dalam ancaman serius. Lembaga ini telah berubah dari “forum” untuk menjadikan kepentingan rakyat terwujud dalam kehidupan pemerintahan dan negara, dan kini menjadi arena perebutan kekuasaan. Lembaga seperti ini telah menjadi korups sejak awalnya.
Situasi Dewan sekarang adalah proses pembusukan demokrasi yang telah dibangun dengan “biaya” yang besar oleh rakyat Indonesia. Dan pembusukan itu terjadi pada lembaga negara ini, yang justru seharusnya paling mencerminkan proses demokrasi.
Rakyat masih menunggu Dewan untuk melakukan koreksi untuk kembali menjadi lembaga legislatif yang mewakili kepentingan rakyat. Dualisme kepemimpinan harus diakhiri, dan seluruh proses kerja di Dewan harus bisa diukur dengan standar yang mencerminkan nilai demokrasi.
Dewan telah memamerkan karakter politik buruk pada awal masa jabatan ini, dan dikhawatirkan kinerjanya tidak efektif, bahkan memperburuk situasi yang bisa mengarah pada terjadi kehilangan legitimasi terhadap DPR ini.
Anggota Dewan yang bertelinga semestinya mendengarkan.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...