KTP, Bukan Agar Warga Kehilangan Haknya
SATUHARAPAN.COM – Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, melontarkan pernyataan bahwa kolom agama dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) boleh dikosongkan. Dan segera hal ini mengundang berbagai tanggapan, bahkan ada yang naif menganggap Mendagri ‘’menghapus’’ kolom agama, atau pemerintah membolehkan ada warga yang menjadi ‘’atheis.’’
Soal KTP di Indonesia memang masih menyimpan sejumlah masalah. Kartu ini memang penting, sebab banyak urusan membutuhkan kartu tersebut. Warga yang telah cukup umur tetapi tidak memiliki kartu ini bisa menghadapi banyak masalah, termasuk akses pada pelayanan publik, dan bisa kehilangan banyak hak sosial politiknya.
Namun ada kenyataan yang aneh di Indonesia, pada masa lalu dan berharap sudah tidak ada lagi sekarang, ada warga negara yang tidak diberi KTP karena etnis mereka atau keyakinan keagamaan mereka. Namun ada warga yang tinggal di daerah yang tidak seharusnya, malah memperoleh KTP, termasuk fasilitas lain dan dibentuk lembaga RT atau RW, seperti di pemukiman di bantaran kali.
Apa pokok masalahnya? KTP adalah identitas penting bagi warga, sehingga bagi warga yang telah berumur 17 tahun atau lebih, memiliki KTP adalah hak. Dan karenanya, adalah kewajiban negara untuk memberikan KTP. Tidak ada alasan apapun yang bisa digunakan untuk tidak memberikan KTP bagi warga yang berhak.
Jadi,masalahnya adalah mental birokrasi yang merampas hak warga dengan tidak memberi KTP, mempersulit warga memperoleh KTP atau memaksa memberikan imbalan kepada warga yang mengurus KTP. Memperbaiki mental birokrasi sebagai petugas yang menjalankan kewajiban melayani warga (memperoleh KTP) dengan baik adalah salah satu solusi tentang masalah ini.
Data KTP
Sebagai kartu indentitas, KTP mencantumkan data orang yang memegang kartu tersebut. Data ini adalah NIK (Nomor Induk Kependudukan), Nama, Tempat / Tanggal Lahir, Jenis Kelamin, Golongan Darah, Alamat (RT/RW, Keluarahan/Desa, Kecamatan), Agama, Status Perkawinan, Pekerjaan, dan Kewarganegaraan. KTP mencantumkan juga keterangan provinsi dan kota/kabupaten kartu itu dikeluarkan, tanggal, bulan dan tahun dikeluarkan, dan tanggal, bulan serta tahun akhir berlaku.
Masalah muncul berkaitan dengan perubahan data. Beberapa data merupakan data yang permanen, yaitu tempat dan tanggal lahir, NIK (kecuali pemerintah sendiri yang membuat perubahan), jenis kelamin (kecuali menjalani operasi ganti kelamin secara sah), nama (kecuali mengganti nama secara sah), dan golongan darah.
Namun data lain sangat mungkin berubah, atau keadaan waktu tertentu tak sesuai dengan data pada kartu. Tempat tinggal, sangat mungkin berubah mengingat mobilitas manusia makin tinggi kaerena pekerjaan dan belajar, bahkan digusur oleh projek pemerintah. Tentang agama bisa saja sesorang beralih agama atau keyakinan, karena konstitusi juga menjamin hak warga untuk beragama dan berkeyakinan yang berarti mengandung konsekuensi hak untuk pindah agama atau keyakinan.
Data lain yang sangat mungkin berubaha adalah status perkawinan dari belum/tidak menikah menjadi menikah atau sebaliknya karena perceraian atau kematian pasangan. Data pekerjaan termasuk yang mudah berubah, karena banyak orang beralih pekerjaan bahkan beralih profesi. Soal kewarganegaraan juga merupakan hak warga untuk memilih kewarganegaraan.
Masalahnya, kondisi yang berbeda dengan apa yang tercatat pada kartu yang masih berlaku sering menjadi masalah, karena pemegang kartu kehilangan berbagai hak, termasuk memperoleh pelayanan. Bahkan mental birokrasi dan aparat hukum yang buruk juga memanfaatkan kondisi ini untuk memeras atau meminta imbalan.
Jadi masalah data kependudukan ini kembali berpulang pada mental birokrasi dan penegak hukum untuk berubah. Seperti perubahan alamat dipersoalkan ketika membayar pajak kendaraan, karena alamat berbeda dengan yang ada di BPKB, bahkan perubahan itu terjadi karena pemekaran wilayah. Mental birokrasi yang mencari-cari alasan untuk meminta imbalan, dan bukanya menjalankan kewajiban melayani rakyat, adalah masalah pokoknya.
Diskriminasi
Masalah lain adalah diskriminasi. Mencuatnya gagasan agar kolom agama dihapuskan, atau akhirnya Mendagri membolehkan warga mengosongi kolom agama, karena adanya kasus diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan dalam kehidupan sosial, bahkan pelayanan oleh birokrasi.
Kasus seperti ini memang tidak mudah diungkap, karena umumnya menggunakan berbagai alasan lain untuk memberikan layanan yang berbeda kepada warga yang berbeda agama. Di sisi lain, hal itu terjadi juga terkait mental birokrasi yang korup dengan menggunakan berbagai alasan untuk meminta imbalan.
Soal agama, konstitusi Indonesia jelas menunjukkan bukan negara agama, tetapi memang menjadi ‘’ada keganjilan’’ karena adanya kementerian agama yang sering disorot tidak cukup seimbang dalam menjaga relasi antar warga dan kelompok penganut agama. Bahkan dalam beberapa kasus seseorang diadili karena keyakinannya. Ada kenyataan bahwa warga negara tidak adalam posisi yang sama di depan hukum, dan hal itu antara lain karena agama atau keyakinan yang dianut.
Jadi data tentang agama dalam KTP, sebenarnya menjadi masalah ketika mental diskriminasi tumbuh, terutama pada kalangan birokrasi dan pemerintahan dan menjadikan warga negara tidak diperlakukan setara, bahkan tidak sama di depan hukum.
Menyebutkan atau menunjukkan agama atau keyakinan tentu merupakan hal yang baik ketika itu juga terjadi dalam situasi kesetaraan dan saling menghormati.Bahkan eskpresi keagamaan diharapkan menjadi kontribusi kekuatan moral bagi kehidupan bangsa yang lebih baik.
Oleh karena itu, mencuatnya masalah ini harus disikapi dengan menyadari bahwa kehidupan bangsa kita masih menghadapi mental diskriminasi terhadap warga negara, karena perbedaan agama. Dan masalah ini harus menjadi agenda penting untuk diatasi dalam menjaga keutuhan bangsa dan menciptakan iklim pembangunan yang sehat.
Hal ini adalah panggilan serius bagi pemerintah sekarang untuk melakukan perubahan, perubahan mental dalam menghargai hak setiap warga negara. KTP dimiliki warga untuk memperoleh hak sebagai warga negara, dan bukan untuk mengalami diskriminasi dan kehilangan hak.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...