Dengan Minuman Seduh, Sartini Melawan Kapitalisme di Stasiun Senen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tiada pilihan lain selain menanggalkan kenyamanan kampung halaman dan mengadu nasib di Kota Megapolitan.
Begitulah Sartini, penjaja minuman seduh yang sehari-harinya menggantungkan harapan di Stasiun Senen, Jakarta Pusat menuturkan kesahnya.
Dini hari, jauh sebelum kota 'terbangun' pagi, Sartini lebih dulu menggendong bakul berisi puluhan renteng kemasan minuman seduh beserta gelas-gelas plastik dan termos air panas, menawarkan dagangannya pada orang yang keluar-masuk gerbang stasiun.
Sesekali ada petugas stasiun, Sartini nampak mengendap-endap menyembunyikan bakulnya dan menawarkan jajanannya lebih pelan. "Teh anget, kopi, Mbak. Teh anget, Pak," tutur Sartini merajuk dengan logat ngapaknya yang kental.
Telah menjadi hal biasa bagi perempuan paruh baya ini jika rajukannya ditolak bahkan tak direspons sama sekali.
Kepada satuharapan.com, perempuan asal Jawa Tengah ini bercerita telah 20 tahun lebih menghidupi keluarganya dengan menjajakan gelas demi gelas air minum seduh kemasan di Stasiun Senen.
Seakan tak peduli dengan kulit-kulit tangannya yang telah mengeriput, Sartini rela berjaga tengah malam agar dapurnya tak berhenti mengepul esok hari.
Namun demikian, kebijakan PT KAI yang tak memperbolehkan pedagang asongan masuk area stasiun karena mengacu pada Pasal 124 PP Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api nyatanya telah menyunat pendapatan Sartini.
Sejak peraturan dalam pasal tersebut dilaksanakan mulai 1 Maret 2013 lalu, penghasilan Sartini merosot tajam hingga 50 persen.
Kendati tak mempersoalkan peraturan tersebut, Sartini menyayangkan ia dan rekan-rekan senasibnya tak diberi lahan pengganti berjualan.
"Kami berjualan saja, kalau ada petugas ya lari atau ngumpet-ngumpet. Ndak boleh jualan. Tapi gimana lagi, kebutuhan mendesak," ujar Sartini Sabtu (2/5) pagi.
Ia juga menyayangkan PT KAI menggandeng minimarket branded masuk ke stasiun. Adanya minimarket, yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai simbol kekuatan modal dan kapitalisme, menurutnya telah mempersempit jalan mereka mencari nafkah. Sartini juga mengaku tak ingin terus-menerus kucing-kucingan bersama petugas KAI, namun himpitan kebutuhan telah mendorongnya mengambil jalan sebagai pedagang asongan tak berizin demi bertahan di Ibu Kota.
"Saya juga pengen pulang ke kampung, tapi di kampung lahan sudah nggak punya, rumah juga sudah nggak ada," ungkapnya lirih.
Sartini tak bisa memastikan hingga berapa lama lagi ia akan menggantungkan harapan pada peluit-peluit kereta yang berderu membawa penumpang keluar-masuk stasiun di pusat kota itu.
Editor : Eben Ezer Siadari
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...