Depresi Bukan Hanya di Kepala, Terdapat Juga di Gen
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Direktur Medis Kantor Kesehatan Mental Negara Bagian New York, Amerika Serikat, Lloyd I Sederer MD, menjelaskan hasil serangkaian penelitian terhadap sampel DNA dari air liur 90 remaja perempuan sehat. Mereka berusia 10-14 tahun. Sebagian diantara mereka memiliki riwayat ibu depresi dan sebagian lainnya tidak memiliki sejarah depresi.
Para peneliti membandingkan kedua kelompok. Yang punya riwayat depresi dinamakan kelompok “risiko tinggi” dan kelompok yang tidak punya riwayat ibu depresi sebagai kelompok kontrol dinamakan “risiko rendah.” Pembedaan itu dilakukan dengan mengukur tanggapan mereka terhadap tugas-tugas mental yang memicu stres.
Anak-anak perempuan dari ibu yang mengalami depresi memiliki tingkat kortisol yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, karena hormon stres banyak dilepaskan selama melakukan tugas-tugas, di mana sebelum diberikan tugas kadar kortisol keduanya normal.
Anak perempuan yang ibunya menderita depresi juga ditemukan memiliki penurunan yang signifikan pada panjang telomer mereka. Sedangkan anak perempuan yang tidak punya riwayat depresi tidak menunjukkan penurunan panjang telomer mereka.
Telomer adalah topi di ujung untai DNA yang menentukan seberapa lama umur seseorang. Semakin panjang juntainnya, semakin lama umur seseorang untuk hidup – hidup yang bebas penyakit terkait usia seperti penyakit kronis. Contohnya penyakit jantung, stroke, demensia, diabetes dan osteoporosis. Telomer merupakan biomarker ciri individu yang berada pada penyakit risiko tinggi, dalam hal ini depresi.
Ketika anak perempuan itu diikuti sampai usia 18 tahun, 60 persen dari kelompok risiko tinggi mengalami depresi, di mana kondisi itu masih terlihat samar saat usia 10-14 tahun, usia ketika pertama kali mereka dipelajari.
Saat ini menurut Sederer telah ada berbagai macam ‘teknik’ untuk membantu mengendalikan respon stres, di antaranya meliputi yoga, latihan pernapasan, meditasi, terapi kognitif, olahraga, diet, bekerja sosial, menjaga hubungan baik, dan menjaga hubungan yang stabil dalam lingkungan rumah dan pekerjaan.
Orang yang berisiko tinggi lebih besar peluang terkena penyakit terkait stres. Karenanya Sederer berpendapat akan lebih bijaksana kelompok risiko tinggi ini belajar serta menguasai ‘teknik’ tersebut sejak awal kehidupan, dan menggunakannya untuk hidup lebih sehat dan lebih lama.
Psikiater dan dokter kesehatan masyarakat ini juga menekankan pentingnya mendeteksi sejak awal dan mengobati ibu yang menderita depresi.
“Kami memiliki bukti kuat bahwa depresi yang tidak diobati pada ibu dapat mengganggu hubungannya dengan anak-anak mereka terkait masalah perkembangan perilaku dan emosional di masa kecil anak-anak tersebut,” kata Sederer.
Saat ini pakar kesehatan di seluruh dunia masih terus mencoba untuk menghapus sejarah panjang stigma tentang gangguan mental yang sering disalahartikan dengan gila. Gangguan mental adalah penyakit yang perlu segera dilakukan identifikasi, intervensi dini, pengobatan yang efektif, dan pencegahan bila memungkinkan.
Melalui studi terhadap telomer dalam DNA ini, telah diketahui lebih banyak bukti bahwa depresi tidak hanya di kepala kita, melainkan juga terdapat di gen.
Maka, sangat penting untuk memahami kecenderungan genetik kita, gen merupakan biomarker yang dapat diandalkan, agar selanjutnya dapat dilakukan pengelolaan lingkungan dan melindungi diri dari tekanan, serta mencari akses pengobatan yang efektif. Ini semua adalah resep terbaik untuk hidup sehat dan lebih lama. (huffingtonpost.com)
Editor : Eben Ezer Siadari
Obituari: Mantan Rektor UKDW, Pdt. Em. Judowibowo Poerwowida...
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mantan Rektor Universtias Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Dr. Judowibow...