Dewan Gereja Dunia Berbagi Kisah Migran Yazidi dari Suriah
SATUHARAPAN.COM – Kamp pengungsian ilegal di Calais—pantai utara Prancis—penuh dengan pengungsi dari daerah konflik. Mereka menunggu mendapat suaka dari Inggris. Salah satu pengungsi etnis Yazidi menceritakan kisahnya pada Sean Hawkey, jurnalis dari Inggris, di kamp yang banyak didukung organisasi-organisasi Kristen dan gereja. Salah satunya Care4Calais.
Laman Dewan Gereja Dunia (The World Council of Churches/WCC) menampilkan kisah Azad—bukan nama sebenarnya—pengungsi dari utara Aleppo, Suriah dan saat ini ia ada di tempat pengungsian The Jungle di Calais, Prancis.
“Sulit sini,” kata Azad, dan kemudian terdiam. “Orang-orang lapar, kedinginan, takut dan kami tidak bisa berbuat apa-apa.” Dia duduk bersila di lantai tempat penampungan kecil.
Ada hampir 7.000 orang di kamp ini. Mereka yang melarikan diri perang, penindasan, keruntuhan ekonomi dan perubahan iklim di negara-negara seperti Suriah, Irak, Afghanistan, Palestina, Sudan, Ethiopia, Eritrea, dan Somalia.
“Kami harus menghapus ingatan kami. Dan, mereka yang sudah mati tidak dapat hidup kembali,” kata Azad, “tapi kami masih memiliki harapan awal baru, masa depan yang berbeda, akhir perang di Suriah. Itu semua yang kita inginkan untuk tahun baru.”
Azad tidur di lantai penampungan ini dengan empat orang lainnya. Mereka tidur meringkuk bersama-sama. Ini adalah ruang kecil, dan itu dingin. Kisahnya tidak lazim di kamp. Setelah melewati berbagai rintangan untuk keluar dari Suriah, kemudian ia melakukan perjalanan melalui Turki, di Laut Aegea walaupun cuaca tidak mendukung yang membuat perahu yang ia tumpangi terancam karam. Walaupun kemudian berhasil melalui Eropa, ia tidak pernah merasa aman, tidak pernah merasa diterima. Perjalanan itu makan waktu berminggu-minggu. Banyak orang melakukan banyak perjalanan dengan berjalan kaki, kehilangan banyak berat badan di perjalanan.
Azad merenungkan itu semua dan mengatakan bahwa “bahkan dengan semua kekerasan dari polisi Prancis, bahkan dengan lumpur dan dingin dan kelaparan dan kondisi tidak sehat, lebih baik di sini daripada di Aleppo, dan itu lebih baik daripada di Turki.”
“Ada pertempuran di daerah saya, orang yang ditembak dengan senapan, dengan rudal, dengan roket. Jabhat Al Nusra [Front Al-Nusra] pelakunya. Saya melihat di berita bahwa ada pertempuran sengit di daerah saya saat ini, kita tidak tahu kapan akan berhenti. Jika ISIS—kelompok militan teror yang menamakan diri Negara Islam—menangkap saya, mereka akan segera memenggal kepala saya, pertama-tama karena saya Yazidi, dan karena saya Kurdi.”
Di Calais ada peningkatan permusuhan terhadap pengungsi, kebrutalan polisi, dan kelompok-kelompok sayap kanan lokal yang merusak ban mobil relawan yang membantu para pengungsi. Banyak dari para pengungsi bercerita bahwa mereka dipukuli oleh polisi, digigit anjing polisi, dipukuli oleh pengemudi truk. Perawat relawan di kamp bersaksi mereka mengobati ratusan luka-luka baru di kamp setiap hari, serta kudis dan penyakit pernapasan yang sulit untuk dikontrol dalam kondisi penuh sesak dan dingin.
Tidak ada drainase, sehingga saat hujan, kamp berubah menjadi daerah berlumpur. Tidak ada rumah. Kebanyakan orang tinggal di tenda, terpal di bawah, atau di tempat penampungan kayu kecil. Ada beberapa toilet, dan beberapa keran air—yang dipasang setelah Medecins Sans Frontiers (kelompok dokter relawan) memenangkan kasus di pengadilan terhadap pemerintah Prancis yang mengharuskan pemerintah memenuhi kewajibannya untuk menyediakan sanitasi paling dasar.
Pemerintah Inggris telah menghabiskan £ 7.000.000 (Rp 142 miliar) untuk membangun pagar di Calais mencegah pengungsi masuk pelabuhan yang hanya setengah jam dari pelabuhan Inggris dari Dover. Daerah besar Calais sekarang dikelilingi oleh pagar ganda tinggi dengan kawat berduri, dijaga oleh ribuan polisi dengan anjing. Hotel lokal dipenuhi dengan polisi yang didatangkan dari seluruh Prancis.
Tak seorang pun di kamp dapat bekerja; tidak ada pekerjaan untuk pengungsi ilegal. Jadi orang menghabiskan tabungan mereka bawa. Bagi mereka yang tidak memiliki tabungan mereka sepenuhnya tergantung pada sumbangan.
Di kamp-kamp pengungsi kebanyakan, yang legal dan diakui, ada penyediaan tempat tinggal dan makanan dari pemerintah, kelompok-kelompok seperti Komisi PBB untuk Pengungsi (United National High Commissioner for Refugees/UNHCR), dan organisasi non-pemerintah (LSM) seperti Oxfam dan Christian Aid. Tapi, di kamp-kamp ilegal seperti The Jungle, kebanyakan LSM tidak memberi dukungan karena akan memengaruhi dana pemerintah mereka. Akibatnya, para pengungsi yang sebagian besar tergantung pada sumbangan yang diberikan oleh masyarakat, melalui kelompok-kelompok amal resmi dan gereja.
Apa solusinya? Azad menjawab bahwa “siapa pun yang bisa lolos dari kekerasan harus melakukan itu, Anda tidak bisa tinggal dan menunggu untuk dibunuh. Ketika kekerasan berhenti Anda akan menghentikan pengungsi, dan kami akan kembali. Solusi untuk pengungsi sekarang? Itu lebih mudah, itu adalah keputusan politik. Jika mereka tahu seperti rasanya di sini, mereka akan membantu kami. Kami perlu pemerintah untuk membantu kami.”
Suasana kamp pengungsian The Jungle di Calais dapat Anda lihat di sini.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...