Dewan Gereja Sedunia Peduli Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan
TUNIS, SATUHARAPAN.COM - Keprihatinan akibat dampak pertambangan dan pengolahan hasil tambang yang merusak lingkungan dan sosial masyarakat di negara-negara berkembang telah menjadi perhatian serius Dewan Gereja Dunia (WCC/World Council of Churches).
Dalam sebuah lokakarya Forum Sosial Dunia bertajuk "From eco-debt to eco-justice: mining, reparations and defending the global commons" yang diadakan di Tunis, Tunisia, 26-30 Maret, WCC menyampaikan keprihatinannya.
Pada acara tersebut, Nicolas Sersiron dari Komite Penghapusan Utang Dunia Ketiga yang berkantor di Perancis, menjabarkan hubungan antara pinjaman dana untuk memperbaiki lingkungan terhadap kerusakan lingkungan dampak kegiatan pertambangan.
"Dana yang selama ini dipinjam negara-negara di Selatan, sekarang ini sudah merambah ke Utara. Pinjaman ini untuk mengejar pembangunan lingkungan yang rusak akibat eksploitasi dan pengelolaan sumber daya alam," kata Sersiron.
Aktivis Brasil Fr. Dario Bossi menunjukkan bahwa orang di komunitas yang memiliki sumber daya yang melimpah, dibuat percaya bahwa pertambangan adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Bossi yang bekerja untuk Justiça nos Trilhos (Justice on the Rails) and the International Network of People Affected by Vale Mining, (Jaringan Internasional yang memantau dan membantu masyarakat yang terkena dampak pertambangan) mengatakan, "meskipun pertambangan membawa biaya ekologi mengerikan seperti penggundulan hutan, pencemaran sumber air, polusi udara dan perubahan iklim namun kegiatan terus berlangsung dan bertambah,"
Dia juga menilai bahwa banyak negara telah semakin gagal melindungi hak-hak manusia dan alam.
Peserta lokakarya juga meminta gereja-gereja untuk memperkuat organisasi masyarakat, penelitian dan juga terlibat dalam advokasi isu-isu yang berkaitan dengan pertambangan di negara-negara dan wilayah mereka.
Carmencita Karagdag, adalah koordinator Peace for Life, yayasan yang menyoroti kriminalisasi orang-orang yang peduli lingkungan di Filipina, "dalam dua tahun terakhir saja, sembilan aktivis lingkungan hidup, termasuk para pemimpin adat dan pekerja gereja, telah terbunuh karena keteguhannya mengkritisi pertambangan skala besar," kata Karagdag.
Diskusi juga menekankan bahwa pinjaman untuk mengembalikan lingkungan yang rusak karena aktivitas pertambangan tidak dapat dialihkan dengan kompensasi moneter, seperti pada kasus pelanggaran HAM.
Lokakarya yang dihadiri oleh organisasi masyarakat dan gerakan rakyat yang berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan pertambangan dan pengolahannya, telah terlibat aktif dalam forum itu. Athena Peralta, konsultan WCC bidang Poverty, Wealth and Ecology adalah salah satu pembicara pada pertemuan ini. Dalam presentasinya, mereka membahas masalah yang berkaitan dengan kesenjangan sosial-ekonomi dan militerisasi dalam zona pertambangan.
"Kegiatan pertambangan dan pengelolaannya yang disertai dengan militerisme tinggi serta konsekuensi dampak lingkungan segudang, mengakibatkan dampak sosial yang berat, terutama pada perempuan di masyarakat," Peralta melaporkan.
Sebagai aksi bersama, peserta lokakarya setuju untuk mengadakan Global Day of Action (Hari untuk Aksi Global) melawan pertambangan dan pengelolaannya, Global Day of Action diputuskan kira-kira pada tanggal 19 Oktober.
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...