Di Megawati Institute Menteri Ekonomi Jokowi Jadi Bulan-bulanan Kritik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Diskusi di Megawati Institute, Jakarta, siang ini, Selasa (10/3), diwarnai hujan kritik terhadap menteri-menteri ekonomi Presiden Joko Widodo. Menteri-menteri itu jadi bulan-bulanan karena dinilai masih belajar, bekerja tanpa koordinasi, dan bahkan tidak kredibel di mata publik dan pasar. Hal itu selanjutnya dianggap menciptakan ketidakstabilan harga-harga kebutuhan pokok dan jatuhnya nilai tukar rupiah.
Kritik-kritik pedas muncul pada diskusi yang turut diprakarsai dan dihadiri oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Sri Adiningsih tersebut, yang membahas tema "Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Tahun 2019: Mimpi atau Kenyataan?". Tampil sebagai pembicara, ekonom dari International Centre for Applied Finance and Economics atau InterCafe Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema, ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Tony A. Prasetiantono, dan ekonom dari Universitas Katolik Atmajaya, Agustinus Prasetyantoko.
“Kalau dengan cara kerja seperti sekarang, Presiden Joko Widodo jangan bermimpi mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen tahun 2019. Target delapan persen itu malahan akan jadi mimpi buruk,” kata Iman Sugema, yang berbicara hanya berjarak dua meter dari tempat duduk Sri Adiningsih.
Kritik lainnya disampaikan oleh Tony Prasetiantono. “Saya merasa kabinet kita memberikan target-target yang agak tidak masuk akal. Ingin menunjukkan semangat tetapi tidak kredibel. Di satu pihak menteri-menteri ingin memberi impresi bahwa mereka siap bekerja keras. Tetapi kalau tidak masuk logika ekonomi, akibatnya menjadi tidak kredibel. Saya khawatir, ketidakmasukakalan target-target tersebut yang juga dilihat pasar sehingga rupiah kita begini,” kata dia.
Tema diskusi yang provokatif itu, menurut Direktur Megawati Institute, Helmy Fauzi, yang memandu diskusi, bukan tanpa dasar. Tema itu berangkat dari target pertumbuhan ekonomi yang tertera pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 yang disusun oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional, Bappenas. Di dalamnya disebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 sebesar 7 persen, 2018 sebesar 7,5 persen dan 2019 sebesar 8 persen.
Iman Sugema, yang pada masa kampanye Pilpres adalah salah seorang ekonom yang turut menyusun visi dan misi Jokowi-JK untuk bidang ekonomi, mengatakan sulit membayangkan pertumbuhan ekonomi yang demikian tinggi dapat dicapai bila mengamati cara kerja menteri-menteri ekonomi saat ini. Apalagi, menurut dia, kondisi ekonomi global dan regional tidak mendukung.
Iman memakai terminologi Trio Macan Asia untuk menyebut Tiongkok, India, dan Indonesia, tiga negara yang menurut dia sepanjang sejarah memiliki siklus ekonomi yang sama. Dan, saat ini, tutur dia, ketiga negara ini berada pada siklus ekonomi yang melambat.
Jika ingin membalik siklus melambat itu menjadi lebih cepat, diperlukan kerja ekstra. “Bagaimana caranya? Apakah ada yang tahu caranya? Kalau tidak tahu, jangan bicara. Kalau dengan rumusan kabinet sekarang, hanya mimpi,” imbuh dia.
Iman mengemukakan ada sejumlah prasyarat untuk dapat membalikkan siklus tersebut, yang sayangnya, dalam hemat dia, belum mampu ditunjukkan oleh menteri-menteri ekonomi Jokowi.
Prasyarat tersebut, pertama, terjaganya stabilitas harga. Menurut Iman, naiknya harga beras belakangan ini menunjukkan ketidaksiapan menteri-menteri ekonomi dalam menangani persoalan yang sangat mendasar.
“Kelihatannya menteri-menteri ekonomi masih dalam fase learning curve. Masih belajar. Tidak siap. Padahal, mengantisipasi kenaikan harga beras seharusnya bisa karena ini masalah yang selalu berulang,” kata dia.
Kedua, stabilitas nilai tukar. Ia mengeritik ketidakmampuan Bank Indonesia mencegah merosotnya nilai tukar rupiah. Bahkan ia menengarai BI dengan sengaja memperlemah nilai tukar.
“BI tidak bekerja. Di tengah merosotnya nilai tukar rupiah, cadangan devisa BI malahan naik. Itu berarti mereka terus menarik dolar. Kebijakan mereka membuat rupiah unstable,” kata doktor ekonomi lulusan The Australian National University itu.
Pada bagian lain diskusi, Tony Prasetiantono mengamati berbagai pernyataan menteri-menteri ekonomi yang kurang dapat diterima logika, sehingga cenderung membuat kredibilitas mereka dipertanyakan.
“Saya belum bisa mengerti target penerimaan pajak Rp 1.300 triliun itu tahun ini dari mana? Itu gila. Lalu Menteri Perdagangan mengatakan akan menaikkan ekspor tiga kali lipat. Itu tidak kredibel. Itu seperti orang bodoh ingin masuk Universitas Harvard dan lulus tepat pada waktunya,” tutur dia berkelakar.
Iman Sugema menyarankan agar mulai saat ini Presiden Joko Widodo lebih realistis dalam berbicara tentang program-program pembangunan. Ia mengakui setelah dihapusnya subsidi Bahan Bakar Minyak, ruang fiskal dalam APBN jadi lebih lebar. Belanja modal pemerintah untuk pertama kalinya naik ke sekitar Rp 250 triliun.
“Tetapi itu tidak cukup, karena dengan tambahan itu, total investasi pemerintah baru sekitar 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto. Padahal di zaman Pak Harto saja, rata-rata setiap tahun investasi pemerintah 5 persen dari PDB,” kata dia.
“Saran saya, Pak Jokowi agar berhenti berlagu gembira dengan cerita pertumbuhan ekonomi 8 persen. Harus realistis. Saya kira untuk mencapai pertumbuhan antara 5- 5,8 persen pun sudah berat,” tutup Iman.
Sedikit lebih berhati-hati, Agustinus Prasetyantoko mengatakan, peluang untuk mencapai pertumbuhan delapan persen pada tahun 2019 bukan tidak mungkin. Bahkan, menurut dia, pertumbuhan 10 persen pun dimungkinkan. Namun, prasyaratnya harus dipenuhi, antara lain produktivitas sumber daya manusia Indonesia harus naik 60 persen. “Itu yang berat,” tutur dia.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...