"Di Papua Aspirasi Merdeka adalah Suara Kristus yang Tersalib"
BRISBANE, SATUHARAPAN.COM - Pengakuan-pengakuan baru tentang pembantaian orang-orang Papua terungkap dalam laporan karya aktivis HAM Gereja Katolik Australia, Peter Arndt.
Laporan tersebut dimuat dalam Catholic Social Justices Series Papers terbaru, dengan judul Into the Deep – seeking justice for the people of West Papua. Paper ini sudah dapat diperoleh secara online. CSJS adalah salah satu publikasi yang diterbitkan oleh Australian Catholic Social Justice Council (ACSJC) di bawah naungan Australian Catholic Bishop Conference.
Salah satu pengakuan terbaru yang belum banyak terungkap selama ini datang dari Laurens, seorang pemuda yang selamat dari pembantaian militer Indonesia. Kepada Arndt, sebagaimana dimuat oleh catholicleader.com.au, dia menceritakan kejadian mengerikan yang dia saksikan di pulau Biak pada tanggal 6 Juli 1998.
Menurut Laurens, puluhan orang Papua ditangkap, dipaksa naik kapal-kapal angkatan laut, diperkosa, dimutilasi, dibunuh, dan dibuang ke laut.
Pada minggu-minggu berikutnya, lebih dari 30 jenazah yang terdekomposisi diambil dari laut atau terdampar di pantai.
Pihak berwenang Indonesia mengklaim bahwa mayat-mayat itu adalah korban tsunami yang melanda Papua Nugini, tetapi mayat-mayat itu mengenakan pakaian yang dengan jelas mengidentifikasi mereka sebagai orang-orang dari pulau Biak.
Laurens mengulurkan tangan kepada Arndt dengan permohonan sederhana: "Bisakah Anda membantu kami untuk mendapatkan kemerdekaan kami?"
"Saya sekarang menyadari bahwa itu adalah saat ketika saya mulai masuk ke solidaritas mendalam dengan rakyat Papua dan untuk memahami implikasi radikal solidaritas Kristen," kata Arndt, yang adalah direktur eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian Katolik Brisbane, sebuah lembaga yang berafiliasi dengan Keuskupan Agung Gereja Katolik Brisbane.
Arndt telah melakukan beberapa kunjungan ke Papua, termasuk misi pencarian fakta tahun 2016 dimana dia melaporkan "ada bukti yang jelas dari kekerasan yang sedang berlangsung, intimidasi dan pelecehan oleh pasukan keamanan Indonesia".
Kisah-kisah yang dia gali dari misi itu ia tuangkan dalam paper terbaru ini. Menurut dia, penderitaan, penghinaan dan ketakutan yang telah menandai generasi orang asli Papua mengeraskan tekad mereka untuk kebebasan dan kemerdekaan.
Dalam karya tulis ini, Arndt berusaha untuk menempatkan peristiwa-peristiwa tersebut dalam konteks pesan Injil dan ajaran sosial Katolik.
Sampai hari ini, tidak ada tentara atau polisi Indonesia yang bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang dilakukan terhadap Biak, tulis Arndt.
Dia mengatakan orang-orang yang terus berbicara, seperti Laurens, kehilangan kesempatan kerja dan pensiun, dan tunduk pada pelecehan dan intimidasi oleh petugas keamanan Indonesia.
"Ketika kami mendengarkan cerita mereka, pertemuan kami diserbu oleh pasukan polisi, petugas intelijen, dan pejabat imigrasi," tulis Arndt.
“Seolah-olah tuan rumah pertemuan kami telah siap dengan pengalaman demikian, yang mereka hadapi secara rutin di tangan pemerintah Indonesia," kata Arndt.
"Tampaknya salah satu pengemudi kami telah memberi bocoran kepada pejabat tentang kehadiran kami di Biak dan mereka datang untuk menangkap kami dan menanyai kami tentang tujuan kunjungan kami."
Into the Deep juga menceritakan kunjungan Arndt tahun 2015 ke dataran tinggi Papua, ke sebuah desa, yang tempat terjadinya penembakan oleh militer dua bulan sebelumnya.
Masalah dimulai ketika tentara menangkap seorang gadis 12 tahun dan memukulinya dengan popor senjata.
Setelah ratusan orang berkumpul di dekat kantor polisi untuk mengekspresikan kemarahan mereka, tembakan terjadi dari menara lapangan udara terdekat dan empat pemuda terbunuh.
“Baik di desa maupun di pertemuan-pertemuan gereja yang kami hadiri selama empat hari kami tinggal, tampak jelas bahwa masyarakat setempat masih dicengkeram oleh campuran kejutan dan ketakutan,” tulis Arndt.
“Kehadiran kami sebagai orang asing, lebih dari satu kali, menyebabkan ketegangan -- beberapa orang secara terbuka mengkritik orang-orang yang menyambut kami karena mereka takut akan membawa pihak berwenang ke desa atau ke pertemuan yang kami hadiri.
“Memang, pada hari terakhir kami di desa, kabar telah menyebar ke desa bahwa polisi sedang dalam perjalanan untuk mencari tahu apa yang kami lakukan.”
Ketika Arndt kembali ke dataran tinggi setahun kemudian, kasus itu masih diselidiki oleh Komnas HAM, dan tidak ada yang bertanggung jawab atas penembakan fatal keempat pemuda tersebut.
"Itu tetap menjadi kasus hingga hari ini, meskipun ada jaminan berulang dari Pemerintah Indonesia bahwa menyelesaikan kasus ini adalah prioritas utama," tulis Arndt.
“Keluarga-keluarga itu dengan gigih menolak untuk mengambil uang darah atas kematian anak-anak lelaki mereka. Ketika saya bertanya apa yang mereka inginkan jika ada keadilan untuk putra-putra mereka, salah satu ayah berbicara mewakili mereka semua dengan suara yang jelas dan serius: 'Satu-satunya keadilan yang kami inginkan adalah kebebasan'.
"Seolah-olah Laurens berbicara lagi, kali ini di dataran tinggi, tetapi bagi saya itu juga suara Kristus yang disalibkan."
Arndt mengatakan banyak warga Australia yang berusaha untuk mendukung rakyat Papua, tetapi menahan diri pada setiap bentuk dukungan untuk tujuan politik.
“Mereka ragu-ragu ketika harus mendedikasikan energi dan sumber daya untuk mengakhiri pendudukan Indonesia dan mencapai kemerdekaan politik untuk Papua,” tulisnya.
“Saya telah mendengar orang-orang berkemauan baik yang mengatakan bahwa mereka tidak dapat terlibat dalam aksi politik dan membatasi diri mereka pada advokasi hak asasi manusia.
“Beberapa menyarankan bahwa penentuan nasib sendiri adalah mimpi yang mustahil bagi orang Papua dan bahwa tujuan yang lebih rendah harus dicari.”
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...