Malala Kunjungi Kampung Halaman dengan Penjagaan Ketat
PAKISTAN, SATUHARAPAN.COM – Malala Yousafzai, pemenang Nobel Perdamaian dari Pakistan, mengunjungi kampung halamannya, Mingora, di mana Taliban melukainya dengan tembakan di kepala pada tahun 2012.
Malala Yousafzai (20), yang secara internasional menjadi ikon pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, dikawal dengan penjagaan keamanan ketat saat mengunjungi kampung halamannya di Lembah Swat yang tekenal sebagai kawasan yang tidak tenang akibat ancaman Taliban.
Malala berusia 14 tahun dan berada dalam bus sekolah ketika ditembak di bagian kepala oleh Taliban. Ia kemudian diterbangkan ke Inggris untuk menjalani pengobatan. Dalam kunjungan ke Mingora, ia didampingi ayahnya, Ziauddin Yousafzai.
Jalan-jalan diblokir ketika helikopter yang membawanya mendarat di sebuah rumah milik pemerintah, sekitar satu kilometer dari rumah yang dulu dihuninya.
Malala juga didampingi saudara laki-lakinya, Atal Yousafzai, dan kepala sekolah khusus bagi anak laki-laki Swat Cadet College, Guli Bagh.
Seorang pamannya mengatakan, Malala juga berencana untuk bertemu dengan teman-teman dan sanak keluarganya, sebelum kembali ke Inggris pada Senin (2/4/2018).
Berani Menentang Taliban
Pada 2012, setelah tentara Pakistan melakukan pengikisan Taliban secara besar-besaran di kawasan Lembah Swat, seorang pria bersenjata menaiki kendaraan yang ditumpangi Malala dan bertanya, “Siapa Malala?” kemudian menembak remaja, yang ketika itu pun, sudah terkenal sebagai pejuang pendidikan bagi anak perempuan.
Ia sebelumnya sudah menulis sejumlah blog bagi redaksi Urdu di BBC, sebagai murid sekolah, ketika Taliban berusaha mencanangkan hukum Islam dengan kekerasan. Dua murid lain juga terluka dalam serangan.
Malala mendapat perawatan di Birmingham, tempat ia menyelesaikan sekolah dan pada tahun 2014 menjadi pemenang Nobel Perdamaian yang termuda.
Kini Malala menjadi mahasiswa di Universitas Oxford. Dalam wawancara dengan TV Pakistan Geo TV Jumat (30/3) lalu ia mengatakan, situasi sudah membaik dan ia berencana mencalonkan diri menjadi perdana menteri setelah menyelesaikan pendidikan.
“Ini negara saya, dan saya punya hak-hak sama seperti warga Pakistan lainnya,” demikian Malala.
Kamis (29/3) lalu, saat menyampaikan pidato, ia menangis ketika mengatakan, adalah “impiannya” untuk kembali ke negara asalnya, setelah bekerja bertahun-tahun.
Di Pakistan, opini publik tentang Malala terpecah-belah. Sebagian orang yang berpandangan konservatif mengecam Malala sebagai agen Barat yang bertujuan untuk mempermalukan negara. “Pakistan tidak diperlakukan dengan baik bagi pahlawan-pahlawannya,” demikian ditulis harian Dawn, Jumat (30/3) lalu.
Sementara sejumlah aktivis hak-hak perempuan, termasuk Nighat Dad, memberikan tanggapan sangat positif bagi pertemuan mereka dengan Malala Kamis pekan lalu. (dw.de dari AFP/Reuters/AP)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...