Dialog Budhis - Kristen: Perdamaian dan Keadilan Tak Bisa Dipisahkan
BANGKOK, SATUHARAPAN.COM - Kolaborasi Budhisme-Kristen secara global bisa terjadi kalau keduanya saling memperdalam dan memperkaya tema Perdamaian dan Keadilan, demikian pendapat “Ajarn” Sulak Sivaraksa dalam dialog Buddha-Kristen di Bangkok, Thailand .
“Bagi kami umat Buddhis, soal kedamaian adalah esensial, bagi Kristen tentu keadilan”, tegasnya dalam acara yang diselenggarakan oleh World Council of Churches (WCC – Dewan Gereja-gereja Dunia) dalam kerja sama dengan Konferensi Kristen Asia (CCA) Minggu lalu (17-31/5).
Dia melanjutkan bahwa pendekatan nir-kekerasan Budhisme yang disertai dengan sikap “uphekka” (keseimbangan batin) yang melihat semua pihak dengan hati penuh compassion, adalah sumbangan khas Budhisme untuk perdamaian. Dan kekristenan bisa memperkaya dalam menyingkap struktur-struktur ketidakadilan dalam masyarakat. Lantas bersama-sama bertindak sesuai prinsip Alkitabiah tentang keadilan, yaitu memihak kepada pihak yang tertindas. “Hanya kalau ada keadilan bagi yang lemah dan tertindas, kedamaian yang sejati bisa terjadi”, lanjutnya.
Sulak Sivaraksa, penerima Nobel alternatif “Right Livelihood Award” itu, ikut mendukung posisi inklusif dan kolaboratif WCC dalam ihwal hubungan antariman. Secara global sikap ini amat diperlukan khususnya dalam konteks hidup yang saat ini ditandai dengan konflik sumber daya dan ketidakadilan ekonomi.
Dialog yang berlangsung selama 5 hari itu terjadi di Bangkok Christian Guest House, dan prosesnya dilewati dalam kesadaran akan konteks konkrit kehidupan sosial-politik masyarakat global. Dalam hal itu lokasi dialognya persis di seberang pusat industri seks Phat Phong-Bangkok yang ternama itu.
Di samping itu, pertemuan dengan semangat “interface” ini juga berlangsung di asrama “International Network of Engaged Buddhists” tempat para aktivis demokrasi se-Asia Tenggara dilatih, dan di Wihara Raja di seberang istana Raja Thailand.
Peserta dialog yang datang dari Srilangka, India, Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia dan Inggris itu, setelah terpapar dengan konteks sosial akibat modernisasi itu, sepakat bahwa agama-agama harus bekerjasama membela pihak-pihak yang hidupnya menjadi rentan saat ini.
“Setiap individu adalah bagian dari individu yang menderita, inilah inti ajaran anatha atau interbeing”, demikian tegas Vijaya Samarawickrama, tokoh Buddhisme dari Malayasia. Sikap solidaritas sesama itu malah adalah bagian atau nafas terdalam dari doa umat Kristen dan meditasi Buddhisme.
Katie Wharton, asisten Uskup Agung Inggris untuk urusan dialog, menegaskan bahwa meditasi Buddhisme Mahayana amat dekat dengan doa syafaat yang dikembangkan dalam gereja-gereja. Dalam meditasi dan doa itu, hati manusia terbuka lebar da mengembangkan sikap bela-rasa, dan pada momen itu sesama yang menderita akan selalu diingat.
Hasil-hasil dialog di Bangkok ini akan menjadi bagian dari Sidang Raya ke-10 WCC di Busan, Korea Selatan, Oktober mendatang. Di Sidang Raya itu akan dibuka “pelataran lintasagama”, di mana komitmen perdamaian dan keadilan dalam perspektif lintasiman dapat ditegaskan bersama, dan hal itu akan memperkaya tema ekumenis gereja-gereja se-dunia kali ini, “God of life, lead us to justice and peace”.
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...