Didik Nini Thowok Berbagi Cerita Kehidupan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Senin pagi Gedung Pusat Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta selalu diramaikan oleh sejumlah mahasiswa berpakaian rapi tidak jarang mengenakan setelan jas berdasi. Mereka tidak sedang menyambut tamu ataupun mengadakan acara, namun itu merupakan bagian dari perkuliahan yang dijalani.
Semenjak pukul 06.00 mereka sudah mempersiapkan ruang kuliah yang berada di lantai empat secara bersama-sama. Banyak hal menarik seperti, untuk menuju lantai empat mereka berjalan melewati tangga meskipun pada gedung tersebut disediakan lift. Mereka adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan Bahasa-Sastra Inggris sedang mengikuti mata kuliah Service Program Design (SPD).
Lanny Anggawati dosen penanggung jawab mata kuliah SPD hari Senin (21/3) kepada satuharapan.com menjelaskan bahwa kegiatan tersebut sudah berlangsung sejak tahun 1997. "Ini dalam rangka mempersiapkan mahasiswa terutama tingkat akhir untuk memperkenalkan realita dunia kerja yang akan mereka hadapi nantinya. Di sini dikenalkan masalah disiplin, kerja sama, menghargai waktu, terlebih memahami makna kehidupan itu sendiri. Pada dasarnya setiap kita kan pelayan (bagi sesama). Itulah yang coba kita tanamkan," papar Lanny di sela-sela perkuliahan.
SPD menjadi mata kuliah wajib mahasiswa jurusan Bahasa-Sastra Inggris USD semester 7-8. Lanny mewajibkan mahasiswa datang sebelum acara perkuliahan. "Kalau terlambat pada salah satu sesi, silakan bertemu lagi pada semester depan," kata Lanny memberikan kiat membentuk kedisiplinan serta budaya tepat waktu pada mahasiswanya.
Setiap sesi SPD disajikan dengan tema yang berbeda. Perkuliahan dibuat secara interaktif dengan melibatkan kreativitas mahasiswa dalam menyusun jalannya perkuliahan. Senin (21/3) pagi setelah mempersiapkan ruang kuliah, seluruh mahasiswa yang mengenakan pakaian adat Nusantara mengawali perkuliahan dengan membawakan perform dua buah lagu salah satunya Rame-rame dari Maluku dilanjutkan dengan sesi berbagi pengalaman dan dialog. Di tengah dialog sempat disajikan teatrikal-puisi oleh dua mahasiswa. Setelah tanya jawab diakhiri dengan membaca doa bersama. Lebih lanjut Lanny menjelaskan bahwa format perkuliahan disusun berbeda, tergantung kreativitas mahasiswa.
Totalitas Didik Nini Thowok
Senin (21/3) pagi kuliah SPD di Ruang Koendjono USD menghadirkan maestro tari Didik Nini Thowok untuk berbagi pengalaman. Secara ringan Didik menyoroti budaya tepat waktu yang seolah hilang. "Setiap perjumpaan dengan kawan-kawan seniman dari manca negara, ada anekdot yang sering dilontarkan. Ada dua waktu (time) di antara kita yaitu John (menyebut salah seorang kawan eks patriatnya) time dan Didik time. Ini joke yang menohok kita karena kebiasaan tidak tepat waktu sudah menjadi stereotype orang Indonesia, meskipun kawan-kawan tahu saya orangnya on-time," kata Didik di hadapan mahasiswa.
Pada kesempatan tersebut Didik menceritakan pengalamannya mengunjungi Bissu Eka untuk keperluan ziarah ke makam Bissu Mak Temi pada 11-13 Maret lalu. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Bissu dianggap sebagai orang/pendeta suci. Saat itu Bissu Eka sedang melakukan persiapan pengantin saudaranya di daerah Kabupaten Pangkajene, Sulawesi Barat. Didik diundang untuk melihat persiapan upacara serta bagaimana peran seorang Bissu yang cukup penting dalam pernikahan di daerah tersebut.
"Pada hari pertama kita diterima di rumah Bissu Eka. Di situ ada persiapan acara untuk pernikahan saudara dari Bissu Eka. Saat datang sedang membuat membuat berbagai makanan tradisional. Diantaranya dibuat makanan ketan dengan berbagai warna: hitam, kuning, dan putih. Masing-masing punya maknanya sendiri, semisal merah untuk tolak balak. Pada acara penting tersebut pembuatan makanan tidak bisa sembarangan. Harus dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli dan pintar. Di sinilah peran-peran Bissu diperlukan. Kalau tidak, bisa-bisa makanan tersebut terlihat dari luar sudah matang tapi saat dimakan dalamnya masih mentah. Dalam membuat makanan yang kelihatannya sederhana tersebut, ternyata ada nilai-nilai yang bisa dipelajari. Kadang tidak masuk akal, namun itu (masakan yang mentah di dalamnya) sering terjadi," papar Didik.
Ritual menyiapkan makanan bisa menjadi contoh adanya spiritualitas di situ. Ketika makanan tersebut dibuat dengan sepenuh hati, orang lain merasakan nikmatnya makanan tersebut serta bagi yang berniat jahat tidak akan bisa mengganggu dalam proses pembuatan makanan itu. Ini bisa menjadi simbol kecintaan yang bisa menumbuhkan penghargaan serta meluluhkan rasa iri-dengki.
Di masyarakatnya, Bissu punya peran saat acara pernikahan ataupun acara ritual keagamaan. Dalam manuskrip La Galigo yang merupakan naskah yang lebih panjang dibanding naskah Mahabharata, realitas Bissu sudah lama dituliskan. Dalam 12 jilid yang belum semuanya diterjemahkan diceritakan juga tentang proses asal mula kehadiran manusia di bumi. Dalam hal gender, Sure' La Galigo menyinggung bahwa ada lima peran yang melekat pada manusia yaitu Oroane (laki-laki), Makunrai (perempuan), Calalai (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki), Calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan), dan golongan Bissu.
"Dalam sebuah komunitas Bissu, dari 40 Bissu Calabai biasanya ada satu Bissu perempuan," jelas Didik. Jika melihat realitas ini, di sini Bissu bukanlah tentang jenis kelamin, namun lebih pada peran mereka dalam masyarakat.
Peran Bissu dalam budaya Bugis kuno adalah sebagai jembatan komunikasi antara manusia dengan Tuhan (dewa) melalui berbagai upacara ritual tradisional semisal perkawinan, kehamilan, kelahiran, kematian, tolak-balak, persembahan, dan lain-lain yang dalam adat istiadat Nusantara pada umumnya merupakan upacara adat-istiadat yang menggambarkan siklus hidup manusia.
Setelah bertemu Bissu Eka, Didik diterima para Bissu untuk mengikuti upacara bersama para Bissu. Pada hari kedua sebelum ziarah ke makam Mak Temmi, seorang Bissu Tua di Pangkajene, Didik diajak menuju Bukit Jota yang berada di pegunungan karst Maros untuk melakukan upacara songka bala (tolak bala) bersama 10 bissu dan 10 dayang serta pemain musik. Menurut tradisi, upacara tolak bala dilakukan karena pihak keluarga Mak Temmi belum melakukan upacara 7 hari, 40 hari dan 100 hari.
Bukit Jota merupakan tempat persembunyian para Bissu yang melarikan diri dari Operasi Toba (operasi tobat) pada tahun 1960-an karena dinilai tidak beragama, melakukan perbuatan sirik dan menganut ajaran animisme. Banyak bissu yang terbunuh saat itu. Sejak operasi itu dan operasi-operasi berikutnya, upacara-upacara Bissu mengalami kemunduran dan tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran, termasuk upacara Mappalili (turun ke sawah). Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya.
"Saya tidak tahu apa-apa sebelumnya. Pertanyaan saya waktu itu 'saya harus bagaimana?' Oleh Bissu Eka dijawab 'ikuti saja apa yang terjadi'. Dengan mengenakan kostum tari sendiri warna putih dan meminjam selendang khusus untuk Upacara Bissu, kami menuju makam Mak Temmi. Mereka hanya bilang 'yakin saja, pasrah dan berdoa' dan saya berdoa sesuai dengan keyakinan saya sebagai pemeluk Kristen. Saya ikuti saja. Sesampainya di sana, saat musik tetabuhan mulai dimainkan para Bissu seolah mengalami trance. Mereka menusuk-nusukkan keris ke badannya. Tapi tidak ada yang terluka." kata Didik menjelaskan ritual yang dilakukan di depan empat makam Bissu Tua.
Setelah selesai upacara di Bukit Jota, mereka bersama-sama menuju makam Mak Temmi di Desa Pangkep yang terletak di pemakamam umum dan berjarak agak jauh dari Bukit Jota. Para Bissu melepaskan pakaian atau kostum upacara dan mengenakan pakaian biasa sebelum mengunjungi makam Bissu Temmi. Dengan alasan yang sama mereka tidak melakukan upacara di makam Mak Temmi.
Dalam budaya Bugis, komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dilakukan dengan menggunakan bahasa dewa/langit (basa Torilangi). Dalam hal ini Bissu berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Sebuah maha karya sastra yang belum tergali sepenuhnya kandungan makna di dalamnya.
Pengalaman-pengalaman yang diceritakan di depan mahasiswa jurusan Bahasa-Sastra USD merupakan sebentuk totalitas Didik Nini Thowok dalam menjalani peran didalam hidupnya. "Saya bisa menari dengan peran ksatria, namun dengan tarian perempuan justru saya lebih sering jadi juara. Mengalahkan perempuan. Ya sudah, akhirnya totalitas saya pada dunia tari (dengan peran tersebut) yang saya geluti," ujar Didik memberikan tips pada mahasiswa. 40 tahun lebih berkarya secara total dalam dunia yang digelutia dan dicintainya mengantarkan Didik Nini Thowok sebagai salah satu maestro tari yang dimiliki Indonesia dengan sumbangan karya koreografi yang tidak terhitung baik klasik-modern, salah satunya tarian Bedhaya Hagoromo yang pernah ditarikan di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwana X.
"Tentang isu LGBT dan lain-lainya itu tidak ada kaitanya dengan berkesenian. Kesenian, itu sifatnya universal. Beberapa waktu lalu sudah pernah saya sampaikan saat bincang-bincang dengan KPID Yogyakarta dan Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Jangan dibenturkan dengan agama. Realitasnya itu sudah tumbuh dan berkembang sejak lama. Dalam khasanah kesenian cross gender dance itu sudah tumbuh lama di Indonesia. Realitas bissu pun sudah ada dalam naskah La Galigo. Kita harus bisa membedakannya," kata Didik menyoroti maraknya isu LGBT di Indonesia. Cara Didik berkesenian-berkebudayaan sesuai perannya secara total adalah cara dia mencintai khasanah dunia seni-budaya yang tumbuh di bumi nusantara.
Sebait puisi catatan Catarina Nilam mengiringi cerita pengalaman Didik Nini Thowok yang dibagikan kepada mahasiswa sebagai pesan untuk generasi nanti "Inilah Indonesiaku. Dulu, sekarang, dan nanti. Kuperjuangkan sampai mati."
Perjuangan selalu menuntut adanya ketulusan, penghormatan, penerimaan, kecintaan, disiplin-totalitas, dan nilai kemanusiaan itu sendiri.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...