Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 18:32 WIB | Kamis, 30 April 2015

Dilema Permukiman Kumuh di Kota Yogyakarta

Permukiman yang menempati wilayah sempadan di Sungai Winongo, Kota Yogyarta. (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Permukiman kumuh di Kota Yogyakarta tercatat mencapai 278,7 hektar atau setara dengan 8,17 persen luas wilayah. Lokasi permukiman kumuh tersebut juga merata di 13 kecamatan dan 35 kelurahan di Kota Yogyakarta. Dari jumlah wilayah kumuh tersebut, 90 persen di antaranya berlokasi di bantaran sungai.

Penataan permukiman kumuh menjadi dilema tersendiri bagi Pemerintah Kota Yogyakarta. Di satu sisi, berkaca pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, maka telah diatur tentang sempadan (garis batas mendirikan bangunan di bantaran sungai), namun di sisi lain, banyak terjadi pelanggaran terhadap PP tersebut.

“Sebagian besar permukiman kumuh terdapat di bantaran sungai yang menempati sempadan. Jika berkaca pada PP No. 38 Tahun 2011, maka banyak bangunan yang harus dinormalisasi. Namun, jika menempuh upaya normalisasi pasti akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Kami lebih mengedepankan rasionalisasi,” demikian disampaikan oleh Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Yogyakarta, Toto Suroto pada Rabu (29/4).

Dilema normalisasi permukiman kumuh di bantaran sungai tak berhenti sampai pada upaya penolakan masyarakat semata. Toto menjelaskan, bahwa jika normalisasi dilakukan, maka pemerintah harus menertibkan bangunan yang berdiri di sempadan dan merelokasi penghuninya. Upaya relokasi inilah yang menjadi kendala terbesar karena Kota Yogyakarta tidak lagi memiliki lahan yang mampu menampung relokasi warga di bantaran sungai.

“Normalisasi dilakukan dengan cara penertiban bangunan dan merelokasi warga yang bermukim di dalamnya. Namun permasalahannya, Kota Yogyakarta sudah tidak lagi memiliki lahan untuk memindahkan para penghuni yang menempati sempadan sungai tersebut. Inilah yang menjadi alasan Kimpraswil untuk memilih cara rasionalisasi ketimbang normalisasi,” ujar Toto.

Toto memberi contoh bahwa rasionalisasi yang dilakukan oleh Kimpraswil Kota Yogyakarta adalah membangun infrastruktur berupa pengaman di wilayah permukiman sekitar sungai. Pengaman yang dimaksud oleh Toto adalah tanggul atau talud sungai.

“Tiga sungai besar di Kota Yogyakarta, yakni Sungai Gajah Wong, Winongo, dan Code, hampir sudah tidak ada lagi sempadan. Bahkan untuk Sungai Code, sejak tahun 1973 sudah dibangun tanggul,” jelas Toto.

PP No. 38 Tahun 2011 Tentang Sungai merupakan aturan yang menjadi pedoman untuk mengatur permukiman yang berada di bantaran sungai. Salah satu aturan dalam PP tersebut adalah pedoman tentang kawasan sempadan sungai yang berada di perkotaan.

Menurut Pasal 8 ayat 2 PP No. 38 Tahun 2011, sempadan untuk sungai yang tidak bertanggul di kawasan perkotaan, paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan sepanjang alur sungai, jika kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter. Namun, jika kedalaman sungai lebih dari 3 meter hingga 20 meter, maka sempadan berjarak paling sedikit 15 meter di kiri dan kanan alur sungai. Dan jika kedalaman sungai lebih dari 20 meter, maka sempadan berjarak paling sedikit 30 meter di kiri dan kanan tepi sepanjang alur sungai.

Berdasarkan pedoman sempadan dalam PP tersebut, maka upaya rasionalisasi dengan pembangunan tanggul membuat permukiman di bantaran sungai dapat lebih didekatkan lagi dengan bibir sungai. Hal ini sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2011 Pasal 11, yang menyebutkan bahwa sungai di kawasan perkotaan yang telah diberi tanggul, maka sempadan hanya berjarak 3 meter dari tepi kiri dan kanan sepanjang alur sungai. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home