Dirut PT Transjakarta Bantah Ada PHK Massal
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Utama (Dirut) PT Transportasi Jakarta (Transjakarta), Budi Kaliwono, membantah telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal terhadap 150 pekerja kontrak di PT Transjakarta.
Ia beralasan, Transjakarta yang dahulunya adalah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) telah berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT), sehingga membutuhkan waktu pembaruan dan perbaikan dari berbagi sisi.
“Kami nggak ada PHK massal, yang ada hanya kontrak yang tidak diperpanjang. Perusahaan ini baru berdiri pada bulan Januari 2015 dari status BLUD menjadi PT, jadi butuh waktu untuk memperbaiki berbagai sistem teknikalnya,” ujar Budi, di DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, hari Rabu (31/8) sore.
Budi menjelaskan bahwa yang menentukan kontrak kerja diperpanjang atau tidak adalah berdasarkan hasil Key Performance Index (KPI) pekerja. “Bagi kami tidak ada istilah PHK massal, hanya tidak diperpanjang kontrak, dan itu pasti karena pekerja tidak disiplin dan lain sebagainya,” katanya.
Ia menyatakan bahkan dimungkinkan telah ada lebih dari 150 pekerja yang tidak diperpanjang kontraknnya, mengingat selalu ada penerimaan rutin di Transjakarta.
“Mungkin saja ada 150 yang diputuskan hubungan kerjanya, karena penerimaan rutin juga kan banyak. Namun, jumlah pastinya saya tidak tahu pasti,” ujar dia.
Sejumlah perwakilan pekerja Transjakarta yang terkena PHK, hari Rabu (31/8) siang, dengan didampingi oleh pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mendatangi Komisi Nasional (Komnas) HAM. Para pekerja tersebut melaporkan adanya berbagai pelanggaran HAM pekerja oleh Transjakarta yang juga melanggar UU, salah satunya dengan melakukan PHK tanpa memberikan alasan yang jelas.
Ikhwal hal itu, Budi memilih bersikap tak memihak.
“Saya mau bersikap netral aja. Kita harus cari dahulu reason-nya. Perusahaan ini harus jalan terus, perusahaan ini membutuhkan banyak orang, Intinya kita merekrut orang banyak. Jika ada kontrak yang tidak diperpanjang berarti ada sesuatu hal,” katanya.
Ia menegaskan bahwa KPI, seperti berupa absen kedisiplinan, tidak mungkin ditiadakan. Hal itu karena dimaksudkan untuk mengetahui sejauh apa kualitas pekerja. Masalah KPI tertulis atau tidak, lanjut dia, dikembalikan pada standart perusahaan masing-masing.
“KPI tidak mungkin dihilangkan. Namun, percayalah, tidak ada PHK massal, karena Transjakarta membutuhkan banyak orang,” ujar dia.
Perihal pemenuhan hak pekerja yang turut dilaporkan, karena tidak dilakukan oleh Transjakarta, Budi belum meyakininya.
“Saya tidak yakin ya, karena saya baru tujuh bulan. Namun, orang cuti bisa. Yang saya tahu kalau peraturan perusahaan ketenagakerjaan, perempuan 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan cutinya,” ucap Budi.
Transjakarta juga dilaporkan karena memberikan gaji di bawah UMR, tetapi Budi meluruskan bahwa memang hal itu terjadi karena pihaknya tengah membenahi struktur penggajian peninggalan BLUD. Ia menegaskan PT yang dinaungi oleh BUMD tidaklah mungkin memberikan gaji di bawah UMR.
“Saya tidak pernah menerima laporan itu,” kata dia menegaskan.
Adapun pekerja yang mengalami PHK sepihak antara lain petugas pencatat odometer, on board, dan staff lainnya. Para pekerja yang mengalami PHK ini mengaku tidak pernah melakukan kesalahan di dalam melaksakan pekerjaannya, serta tidak pernah mendapatkan surat peringatan ke-1 hingga ke-3 sebagaimana prosedur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Para pekerja busway tersebut heran atas sikap manajemen Transjakarta yang melakukan PHK tanpa prosedur sesuai dengan UU yang berlaku.
Pasca menerima surat PHK, para buruh Tranjakarta juga tidak mendapatkan pesangon dan hak normatif lainnya sebagaimana dijamin dalam UU 13/2003. Para pekerja mengaku mendapatkan banyak ketidakadilan selama bekerja di Transjakarta, seperti sistem kerja kontrak yang berkali-kali dalam jangka waktu satu tahun, yang mana melanggar ketentuan pasal 59 UU 13/2003, karena kontrak terbatas jangka waktunya dan tidak boleh dilakukan berkali-kali hingga belasan tahun.
LBH Jakarta menyayangkan jam kerja pekerja yang melebihi 12 jam dan tidak mendapatkan upah lembur, perhitungan upah pokok masih di bawah UMR, seragam harus membeli sendiri, yang mana menurut mereka hal ini adalah tanggung jawab perusahaan, serta Transjakarta hingga kini diduga belum memiliki peraturan perusahaan kerena belum tercatat pada dinas tenaga kerja.
Baik LBH Jakarta maupun para pekerja yang terkena PHK optimis dan secara bersama-sama akan terus memperjuangkan hak-hak para pekerja.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...