Diskriminasi Indonesia Dibicarakan di Konsultasi WCC
JENEWA, SATUHARAPAN.COM Dalam forum konsultasi Dewan Gereja-gereja Dunia (World Council of Churches - WCC) bertema Politisasi Agama dan Hak Minoritas Agama dibahas juga diskriminasi di Indonesia. Dr. Augustina Elga Joan Sarapung, Direktur Institut DIAN/Interfidei membeberkan beberapa fakta tentang keberagaman Indonesia dan peran pemerintah dalam bidang keagamaan.
Pada 16-18 September di Jenewa, Swiss, WCC menyelenggarakan forum konsultasi yang memfasilitasi berbagai topik pilihan seputar seruan untuk menghentikan diskriminasi dan penganiayaan atau kekerasan terhadap berbagai agama minoritas di seluruh dunia. Dalam pembukaannya, keynote speaker acara ini, Prof Dr Heiner Bielefeldt, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, mengatakan bahwa bekerja untuk hak-hak minoritas agama harus dilakukan dalam semangat universalisme. Hak kaum minoritas adalah hak asasi manusia, katanya.
Keberagaman Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan seluas 5.193.250 km² (termasuk laut), dan mencakup lebih dari 17 ribu kepulauan dengan beragam etnis, sub-budaya, dan bahasa lokal. Di Papua saja, ada 252 suku yang punya bahasa lokalnya sendiri.
Sejak merdeka, pada 1945, kini penduduk Indonesia sudah bertambah tiga kali lipat. Kini sekitar 235 juta. Dengan penduduk sebanyak ini, Indonesia menjadi negara dengan penduduk terbesar keempat setelah China, India, dan Amerika Serikat, kata Sarapung.
Menurut perempuan berkacamata ini, Aspek keragaman lain Indonesia adalah kepercayaan dan agama. Penganut agama di Indonesia sangat tinggi. Sayang hanya enam agama yang diakui negara: 88% Muslim, 93% Kristen Protestan dan Katolik, 1,8% Hindu, dan Buddha 0,6%. Sisanya adalah kepercayaan lain seperti Konfusianisme.
Namun, menurutnya, keberagaman ini bahkan juga adabahkan bertambahdi antara aliran dan denominasi dalam agama itu sendiri. Tidak hanya Islam dan Kristen (Protestan dan Katolik), juga agama lain. Jadi, keberagaman makin ekstensif dan dinamis.
Masalah Diskriminasi
Sarapung mengungkapkan bahwa ada beberapa kejadian yang mengganggu kehidupan beragam di Indonesia. Pada 2006 lalu, Majelis Ulama Indonesia melarang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Selain itu, politik agama juga merasuk dalam pemerintahan dengan munculnya perda-perda Syariah yang diterapkan di 20 provinsi. Ini berarti negara membiarkan aturan agama diaplikasikan dalam hukum positif Indonesia.
Tidak hanya itu, kata Sarapung dalam makalahnya di acara konsultasi WCC itu, mengungkapkan tentang kasus pengikut aliran Ahmadiyah. Sejak 2005, mereka tidak dilakukan sebagai layaknya warga negara Indonesia dengan segala hak mereka. Padahal mereka sudah tiga generasi tinggal di Indonesia. Namun, mereka diusir dari desa mereka dan rumah-rumah mereka dihancurkan. Beberapa pengikut aliran Ahmadiyah, dibunuh atas nama pemurnian agama.
Sarapung menambahkan, para pengikut Ahmadiyah di Lombok misalnya. Mereka sudah enam tahun tinggal di kamp pengungsi tanpa ada perlindungan dari negara. Tanpa mata pencaharian, tanpa hak-hak sipil, dan anak-anak mereka tidak mendapat pendidikan.
Juga komunitas Syiah di Sampang Madura, kata Direktur DIAN/Interfidei ini. Kasus ini mirip dengan kasus pengikut Ahmadiyah di Indonesia. Sampai sekarang, komunitas Syiah ini masih di lokasi pengungsian. Rumah-rumah mereka dibakar dan mereka tidak punya pekerjaan untuk menyambung hidup mereka dan keluarga.
Dua kasus di atas adalah akibat adanya tafsir tunggal atas agama yang disponsori oleh negara, dalam hal ini pemerintah yang saat ini memerintah.
Kasus Izin Mendirikan Tempat Ibadah
GKI Taman Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi, kata Sarapung, sudah memegang surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk rumah ibadah, tetapi mendapat tentangan dari kelompok garis keras. Mereka mengatasnamakan pendirian rumah ibadah tersebut bukan di tempat mayoritas penganut agama Kristen.
Ternyata, pemerintah lokal setempat berpikiran sama dan melarang dua gereja itu menjalankan aktivitas mereka. Bahkan gedung HKBP Setu di Bekasi dihancurkan oleh aparat setempat. Yang menyedihkan untuk kasus GKI Taman Yasmin, walaupun IMB mereka sudah disahkan Mahkamah Agung, walikota tidak mau mematuhi putusan pengadilan tertinggi di Indonesia ini. Sampai kini, pemerintah pusat tidak melakukan tindakan apa pun terhadap kasus ini. Juga, kesan abai
Sarapung mengungkapkan, kesan abai pemerintah pusat juga terlihat pada kasus penganut Ahmadiyah dan Syiah.
DIAN/Interfidei
Institut Dialog Antariman di Indonesia atau Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia, disingkat Institut DIAN/Interfidei. Institut ini tidak berkedudukan mewakili agama sebagai institusi, tetapi sebagai perkumpulan dari para pemeluk agama yang terikat oleh imannya.
Ruang lingkup kerja Institut ini berkaitan dengan dan melibatkan seluruh agama dan setiap wujud kepercayaan di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta kehidupan tanpa kekerasan dan menghargai keutuhan alam semesta.
Institut ini sebagai Forum tempat gagasan keimanan yang tumbuh dari diskursus dinamika kemajemukan, serta pengalaman konkret di masyarakat didialogkan bersama.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...