Diskriminasi Terhadap LGBT dan Gema Kemanusiaan
SATUHARAPAN.COM – “The pursuit of happiness ” – “mengejar kebahagiaan” dikategorikan sebagai salah satu hak asasi setiap manusia universal. Pemenuhan kebutuhan seksual (tentu dengan cara yang halal dan wajar) termasuk bagian dari wujud realisasi kebahagiaan manusia, kecuali jika seseorang secara sukarela pantang seksual dengan alasan keagamaan misalnya. Tak bisa diterima jika orang dipaksa untuk meninggalkan orientasi seksual alamiahnya. Menurut garis tradisional lazimnya orientasi seksual manusia ditakar sebatas heteroseksual. Asumsi klasik ini dinegasi oleh fakta homoseksualitas dan biseksualitas.
Secara global perlindungan hak asasi manusia di bidang pemenuhan kebutuhan seksual khususnya yang beridentitas seksual homoseksual dan biseksual masih rentan. Jika kita mengakui persamaan harkat dan martabat manusia, konsekuensinya harus diberantas segala bentuk praktek yang mendiskriminasi sesama manusia termasuk diskriminasi akibat identitas dan orientasi seksual yang berbeda dengan mayoritas baik secara kuantitas maupun opini.
Di Indonesia yang konon berasaskan perikemanusiaan yang adil dan beradab dipajang plakat yang mendegradasi dan mengriminalisasi lesbi, gay, biseksual, transgender (LGBT). Secara sepihak dan sewenang-wenang dipatok zona terlarang buat golongan gay dan lesbi. Tak sedikit komunitas agama dan religius yang mengibliskan LGBT. 76 negara di dunia ini mengancam dan menjerat kaum homoseks dengan sanksi hukum pidana. Di tujuh negara aktivitas seksual sesama jenis dikutuk sebagai tindakan najis dan terlarang serta terkena vonis mati entah dengan cara digantung ataupun dirajam.
Pemerintah Uganda sebagai contoh secara legal menolak konsensi seputar homoseksualitas. Homoseksualitas tidak dilihat sebagai bawaan, melainkan penyakit yang perlu diberantas dan gaya hidup yang penuh dengan dosa. Oleh karena itu di sana digariskan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati terhadap LGBT. Setiap warga diwajibkan untuk melaporkan pihak-pihak yang tergolong gay, lesbi, biseks dan transgender dalam kurun waktu 24 jam setelah ia mengetahui identitas mereka. Jika tidak, maka orang tersebut dikenakan hukuman kurungan hingga tiga tahun.
Rezim Tiongkok menyensor kebebasan berpendapat dan tuangan seni yang membahas tema homoseksualitas. Diskriminasi, intimidasi, mobbing, penghinaan dan pengucilan terhadap LGBT juga terjadi di negara-negara Barat yang demokratis dan konon dicerahkan. Dihembusi homofobi, tabuisasi homoseksual, angin kebencian berlandaskan ajaran agama, lingkup budaya dan patokan hukum yang legitim, maka secara terang-terangan banyak individu atau - dalam kosa kata eufemistis yang tolol – “oknum-oknum“ yang menggiatkan praktik main hakim sendiri berupa agresi dan kekerasan fisik dan verbal terhadap LGBT.
Sudah waktunya situasi yang tidak bermartabat ini ditamatkan, bahwa ratusan juta orang harus secara tersembunyi memenuhi kebutuhan seksual, diancam, diperas, dianiaya dan harus menangunggung risiko fisik dan mental. Banyak yang dipaksa berdamai dengan keadaan dan tidak berani mengekspresikan naluri seksual sejati. Tak sedikit yang tak sanggup lagi menahan tekanan sosial-budaya dan mengambil jalan pintas yang tragis: suicide (bunuh diri).
Sayangnya forum formal internasional belum begitu intensif mengunyah persoalan yang satu ini. Dunia kemanusiaan telah berhasil menghapus perbudakan, memperbaiki status sosial dan kesetaraan (emansipasi) perempuan. Masyarakat internasional yang humanis harus juga sanggup mengakhiri momok yang menghantui dan penindasan yang dialami lima sampai sepuluh prosen (350 – 700 juta) warga bumi kita bersama yang beridentitas LGBT. Sungguh memalukan jika kita mengabaikan nasib mereka dan memangkas serta menyangkal hak mereka untuk menikmati hawa kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan hidup di antaranya melalui pemenuhan kebutuhan seksual.
Pemberian tanda titik kepada segala bentuk diskrimasi berlandaskan identitas dan orientasi seksual merupakan suatu imperatif, jika kita masih mau, jujur dan setia serta benar-benar menamakan diri sebagai insan yang manusiawi, bermoral dan beragama; jika kita masih layak menamakan negara kita negeri yang adil dan beradab serta yang melindungi harkat dan martabat manusia; dan jika kita tidak meleset menamakan bumi ini sebagai hunian manusia. Dengan identitas dan orientasi seksual yang berbeda dari mayoritas, LGBT tetaplah manusia dan wajib dihormati, dilindungi secara hukum, mendapat perlakuan yang etis dan manusiawi serta tak boleh dihalangi di jalan menuju pemenuhan kebahagiaan hidup. Gema panggilan dan bisikan nurani kemanusiaan terdalam dan hakikih tak bisa dibungkam serta melebihi segala barometer lainnya termasuk takaran Tuhan dan agama: LGBT adalah manusia.
Khususnya di wilayah Asia dan Afrika muncul prasangka bahwa homoseksualitas merupakan produk impor dari Barat. Praduga konyol, dungu dan berhahaya ini membidani dan menjustifikasi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang-orang LGBT.
Pendidikan dan pencerahan tentang hal ini sangat urgen, necesitas (menjadi keharusan) dan tak boleh ditawar lagi. Langkah ini sangat penting dan strategis menuju sikap saling menghormati dan menghargai kesetaraan setiap orang; tentu saja kesetaraan dalam keragaman; bukannya penyeragaman. Jalan ini memang masih jauh dari tujuan, namun diskusi terbuka di nusantara tentang LGBT belakangan ini tentu membangkitkan optimisme pada jalan menuju tujuan di tengah pelbagai hadangan: Derechos humanos para todas y todos! Hak asasi manusia untuk semua tanpa perbedaan!
Penulis adalah rohaniwan, Alumnus Filsafat Politik Universitas Humboldt, Berlin, Jerman
Editor : Trisno S Sutanto
Maluku Gelar Festival Tunas Bahasa Ibu
AMBON, SATUHARAPAN.COM - Balai Bahasa Provinsi Maluku menggelar Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) tah...