Nasionalisme dan Kedaulatan Pangan
SATUHARAPAN.COM - Ketika berlangsung World Food Summit di Roma (1996), dengan yakin para delegasi pemerintah menyatakan bahwa pada tahun 2015 kelaparan di bumi ini akan berkurang setengahnya. Namun, tahun 2015 sudah dilewati, data terkini menunjukkan alih-alih mengalami penurunan, angka penderita kelaparan terus mengalami pemuaian.
Globalisasi perdagangan pangan yang dikemas dalam bungkus “neoliberal” kapitalistik telah menorehkan cacatan memprihatinkan tentang bisnis perut ini. Negara-negara miskin dunia menjadi pengimpor pangan bersih. Artinya ada ratusan negara tidak bisa mengakses pangan secara baik karena tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk memproduksi pangannya sendiri.
Dalam upaya mengatasi masalah kelaparan dan akses pangan ini, PBB melalui FAO memperkenalkan istilah “ketahanan pangan” (food security) dengan harapan setiap saat, semua orang dapat mengakses pangan dalam jumlah yang cukup dan dapat diterima secara budaya. Namun, konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Ketahanan pangan juga mengabaikan praktik ekspor produk pangan murah. Praktik ini dibiarkan bahkan didorong atas nama perdagangan bebas yang disokong oleh negara-negara maju yang memberikan subsidi penuh kepada petaninya.
Kegagalan ketahanan pangan
Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 – diamandemen menjadi UU No. 18 Tahun 2012 – tentang Pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa "Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara FAO (1996) meredefinisi ketahanan pangan sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan (preferensi) pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat.
Namun, tragedi kelaparan di tengah masyarakat dunia (termasuk di Indonesia) hingga saat ini belum bisa diatasi dengan baik lewat simtem ketahanan pangan yang dikembangkan. Kekekerasan terhadap hak atas pangan masih berlangsung di sejumlah negara bahkan bertambah buruk di tengah zaman yang semakin maju teknologinya ini. India adalah negeri dengan jumlah penderita kelaparan tertinggi didunia, disusul Tiongkok. Sekitar 60% dari total penderita kelaparan di seluruh dunia berada di Asia dan Pasifik, diikuti oleh negeri-negeri Sub-Sahara dan Afrika sebesar 24%, serta Amerika Latin dan Karibia 6%. Setiap tahun orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta. Juga setiap tahunnya 36 juta rakyat meninggal dunia karena kelaparan dan gizi buruk.
Kegagalan mengatasi kelaparan tidaklah mengherankan sebab ketahanan pangan hanya sebatas pernyataan di atas kertas semata. Pelaksanaan dan tanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan kerapkali dialihkan dari urusan negara menjadi urusan pasar. Prinsip dan strategi neoliberal dijalankan untuk mencapai tujuan ketahanan pangan. Praktik ketahanan pangan yang dimainkan oleh International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan World Trade Organization (WTO) pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan raksasa yang terlibat dalam perdagangan dan investasi agribisnis pangan.
Kebijakan perdagangan neoliberal ini menekankan bahwa mengimpor pangan murah adalah jalan terbaik bagi negara-negara miskin untuk mencapai ketahanan pangan dari pada memproduksi pangannya sendiri. Bank Dunia bahkan menegaskan bahwa perdagangan bebas sangat penting bagi ketahanan pangan agar pemanfaatan sumber daya di dunia lebih efesien.
Hak atas pangan
Seiring dengan itu, masalah ketahanan pangan masih merupakan hal yang kompleks bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi, dan konsumsi mempunyai efek multidimensi. Ketahanan pangan tidak hanya terkait pangan, tetapi lebih merupakan masalah keamanan. Ketahanan pangan menjadi prasyarat untuk tercapainya ketahanan politik dan ketahanan ekonomi yang akan bermuara pada ketahanan negara dan kedaulatan bangsa. Presiden AS George W Bush dalam suatu pidatonya dihadapan sejumlah petaninya pada 2001 menyebutkan “Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation subject to international pressure....!” (Sibuea, 2010).
Pangan sangat penting bagi kehidupan. Karenanya, hak atas pangan merupakan perluasan dari hak asasi manusia paling mendasar untuk hidup. Paradigma hak atas pangan mendorong berbagai gerakan masyarakat sipil, termasuk petani, untuk menentukan sendiri konsep pemenuhan pangannya yang berbasis sumber daya lokal. Organisasi petani internasional La Via Campesina melihat hak atas pangan dari perspektif kedaulatan pangan (food sovereignty), yaitu sebagai hak seluruh rakyat, bangsa dan negara untuk menentukan kebijakan petanian dan pangannya sendiri tanpa campur tangan negera lain.
Konsep kedaulatan pangan telah berkembang sedemikian rupa melampaui ruang ketahanan pangan (food security) yang lebih dikenal sebelumnya, yang hanya bertujuan untuk memastikan produksi pangan dalam jumlah yang cukup dengan tidak memperdulikan jenis, di mana, seberapa besar skala dan bagaimana produksi pangan tersebut. Kedaulatan pangan melampaui wacana tentang hak pada umumnya. Ia adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan secara mandiri. Ia berseberangan dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan pemilik modal besar di bidang pangan yang merusak sistem produksi pangan rakyat (lokal) melalui perdagangan bebas.
Lahirnya pendekatan kedaulatan pangan dalam perspektif pemenuhan pangan berbasis sumber daya lokal juga didorong oleh kenyataan bahwa hak atas pangan semakin terabaikan oleh negara. Komunitas lokal di berbagai daerah di Tanah Air semakin kerap terancam kelaparan dan termarjinalisasi sebagai akibat liberalisasi perdagangan. Banjir impor pangan murah dari luar negeri – khususnya dari China dan Malaysia – telah membuat usaha kecil bidang pangan dari jutaan komunitas lokal kian terpuruk.
Untuk itu, ada hal penting yang patut dikaji di awal tahun 2016 ini. Dalam dikusi awal tahun 2016 yang diselengerakan Persekutuan Intelegensia Sinar Kasih (PISKA) beberapa waktu lalu di Jakarta terungkap keraguan publik. Setelah satu tahun pemerintahan presiden Jokowi, pembangunan politik pangan nasional semakin tidak jelas arahnya. Keraguan ini bisa dipahami karena masih tingginya ketergantungan kita terhadap pangan impor.
Di tengah kemajuan teknologi pangan, produk pangan olahan berbasis sumber daya lokal seharusnya bisa hadir sejajar dengan produk pangan impor. Produk olahan singkong misalnya tidak lagi dianggap sebagai lambang kemiskinan. Singkong yang sudah lama dikenal masyarakat dalam berbagai bentuk makanan olahan, sentuhan teknologi pangan di dalamnya harus dimaksimalkan untuk mengatrol citranya di mata masyarakat dan sekaligus dimaknai sebagai kebangkitan nasionalisme pangan.
Masyarakat Batak Toba memiliki budaya makan lokal berbasis singkong untuk menyiasati mahalnya harga beras di masa penjajahan Belanda. Mengonsumi ubi singkong rebus sebagai makanan "pembuka" menjadi pilihan yang amat popular saat itu. Pola konsumsi ini dikenal “manggadong” untuk menyebut mengonsumsi ubi rebus sebelum makan nasi (Sibuea, 2014).
Sayangnya, berbagai budaya makan lokal yang dikenal sejak berabad-abad silam secara perlahan mulai terpinggirkan karena pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi budaya makan berbasis kearifan lokal.
Dengan penguasaan ilmu dan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi pangan. Harga pun mereka atur sedemikai rupa. Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food capitalism. Lantas, sampai kapan perut rakyat Indonesia dijajah pangan impor?
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser).
Editor : Trisno S Sutanto
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...