Diskusi Maarif Institute: Muslim Korban atau Pelanggar HAM?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Jelang Pilpres 2014, isu hak asasi manusia (HAM) kembali menghangat. Pelanggaran HAM masa lalu yang tak jelas peradilannya turut menyandera sebagian aktor politik hari ini.
Dalam konteks itu, Islam atau muslim memiliki peran signifikan, terutama jika dikaitkan antara persoalan HAM dan profil pemimpin Indonesia ke depan, yang nanti akan dipilih rakyat dalam Pilpres 2014. Ke mana suara umat Islam dalam Pilpres 2014, ketika diperhadapkan pada ingatan masa lalu tatkala muslim menjadi objek kekerasan? Namun, dalam hal lain, kita juga tak lupa bahwa pada beberapa waktu muslim juga diduga menjadi aktor kekerasan.
Era Orde Baru, Islam dianggap sebagai bagian dari “kawan” karena telah memberikan kontribusi signifikan dalam penghancuran orang-orang komunis (PKI) dan mereka yang dianggap komunis pada 1965-1966. Namun, saat rezim Orde Baru secara struktur pemerintahan cukup kuat, Islam kemudian dianggap menjadi ancaman. Apalagi konteks saat itu, banyak sebagian dari organisasi Islam menolak pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara versi Orde Baru.
Alih-alih dihancurkan, gerakan dan politik atas nama Islam pun perlu ditundukkan oleh rezim Orde Baru. Dua peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talang Sari (1989), mengakibatkan terbunuhnya 200-500 orang, merupakan semacam ancaman kepada mereka yang mencoba melawan setiap kebijakan yang dilakukan rezim Orde Baru. Di sini, Islam, dalam hal ini masyarakat muslim, menjadi objek kekerasan Orde Baru.
Pasca-Orde Baru bandul kekerasan tidak lagi pada negara sebagai subjek, melainkan pada masyarakat sipil, khususnya organisasi kemasyarakatan Islam sendiri. Dengan mengatasnamakan Islam, organisasi massa-organisasi massa melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah, yang sudah berakar lama dan anggotanya juga bagian dari masyarakat Indonesia.
Diakui, selain karena perbedaan ideologi, faktor ekonomi turut mempengaruhi mengapa tindakan kekerasan bisa terjadi. Pada sisi lain, negara sebagai otoritas tunggal pemegang kebijakan sering kali abai dalam mencegah dan menghukum tindakan kekerasan. Bahkan dalam beberapa peristiwa, alih-alih menjadi penengah yang meredam kekerasan, aparatus negara, dalam hal ini kepolisian, tampaknya memberikan legitimasi kekerasan dengan adanya pembiaraan yang mereka lakukan.
Menurut Wahyudi Akmaliah, API Research Fellows, “Islam sebagai objek kekerasan yang terjadi di Indonesia tidak menjadi ingatan bersama sebagian besar masyarakat Islam.”
Islam sebagai objek kekerasan hanya berhenti pada Piagam Jakarta, yang dianggap bentuk pengkhinatan negara kepada umat Islam. Hal itu terlihat dengan minimnya dukungan masyarakat Islam terhadap dua peristiwa kekerasan (Talang Sari dan Priok), di mana korbannya justru orang Islam.
Karena itu, lanjut Wahyudi, “saya melakukan riset dan melakukan advokasi melalui pameran foto untuk mengingatkan masyarakat Islam Indonesia bahwa kita punya pengalaman pahit di masa Orde Baru dan mengingatkan negara agar tidak terjadinya kekerasan di masa mendatang,” ungkap peneliti senior Maarif Institute ini.
Ahmad Najib Burhani, peneliti PMB LIPI mengatakan, di masa Orde Baru, negara menjadi tirani minoritas yang melakukan kekerasan. Sementara pasca-Orde Baru justru mayoritas Islam menjadi tirani yang melakukan kekerasan terhadap komunitas Islam yang selama ini dianggap lain, seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Untuk menyikapi itu, perlu adanya kebijakan negara yang berpihak kepada hak-hak mereka, yaitu kelompok minoritas. Jangan sampai, hanya karena adanya suara mayoritas, hak-hak mereka dapat direnggut begitu saja.
Muhammad Daud Buereuh dari KontraS, dan anak dari korban Peristiwa Priok , menganggap kekerasan yang terjadi di masa lalu tidak pernah diselesaikan sehingga berakibat munculnya repetisi kekerasan saat ini yang dilakukan oleh kelompok Islam sendiri. “Penegakan hukum dengan membawa mereka yang tertuduh dalam kekerasan, baik di masa lalu maupun pasca-Orde Baru setidaknya dapat meminimalisir kekerasan yang terjadi di masyarakat.”
Perbincangan mengenai persoalan kekerasan dan HAM menjadi sangat penting menjelang Pilpres 2014 ini. Dalam sambutannya Direktur Program Maarif Institute, Muhd Abdullah Darraz mengatakan, “Selain membincang topik Islam sebagai objek atau subjek kekerasan, diskusi ini juga penting untuk mengetengahkan persoalan penegakan HAM masa lalu yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemimpin bangsa ini ke depan.”
Diskusi publik dan pameran foto itu, seperti disampaikan Helmy K Pribadi, Direktur Islam dan Media, digelar Maarif Institute bekerja sama dengan Asian Public Intellectual the Nippon Foundation pada Senin (12/5) di Aula PP Muhammadiyah Jl Menteng Raya No 62 Menteng, Jakarta Pusat. (PR)
Kemenkes: Pemberian Makanan Pendamping ASI Harus Penuhi Empa...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Kesehatan telah menerbitkan “Petunjuk Teknis Pemantauan P...