DIY Siapkan Warga Hidup Selaras dengan Bencana
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN. COM -- Kenyataan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah bencana membuat perangkat pemerintah setempat dituntut untuk selalu siap dalam menghadapi segala potensi bencana yang mengancam warganya. Salah satu hal yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengondisikan masyarakat untuk hidup selaras dengan bencana, living harmony with disaster.
“Ada tiga tahap yang harus dilakukan dalam menghadapi bencana, yaitu tahap prabencana, kemudian saat terjadi bencana atau tanggap darurat, dan terakhir adalah pascabencana yang terdiri atas rehabilitasi dan rekonstruksi,” demikian disampaikan oleh Drs Sulistyo SH CN MSi, Asisten Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pemerintahan Provinsi DIY pada Kamis (28/5).
Tahap pertama, yaitu prabencana dilakukan dengan cara pengumpulan data dan identifikasi daerah rawan bencana. Data yang sudah terinventarisasi tersebut kemudian dipublikasikan ke masyarakat. Harapannya, masyarakat lebih siap dan mengenal potensi bencana atau dikenal dengan istilah living harmony with disaster.
“Pemerintah juga menyusun program atau kegiatan untuk menurunkan risiko bencana. Program ini disebut Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB),” Sulistyo menjelaskan.
Tahap selanjutnya, tanggap darurat dilakukan dengan mempersiapkan tempat penampungan atau pengungsian, baik untuk bencana skala kecil maupun besar. Dalam tahap ini, pemerintah wajib untuk memberikan hak para korban atau masyarakat, yaitu pemenuhan hak dasar, seperti makanan, kesehatan, dan lain sebagainya.
“Pemerintah wajib hadir di tengah-tengah masyarakat ketika terjadi bencana. Namun, karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki, pemerintah mendorong agar masyarakat juga berperan serta untuk penanganan bencana. Salah satunya adalah memupuk budaya gotong-royong. Jadi ketika bencana terjadi, masyarakat bisa saling membantu, misalnya membuat balai desa sebagai tempat penampungan para korban,” ujar Sulistyo.
Pemaparan Sulistyo tersebut tersaji dalam diskusi bertajuk “Membangun Kemandirian Industrialisasi dan Teknologi Berbasis Riset Kebencanaan di Indonesia”. Diskusi ini merupakan rangkaian Pertemuan Ilmiah Tahun (PIT) ke-2 Riset Kebencanaan 2015. Selain Drs Sulistyo, diskusi yang digelar di Graha Sabha Pramana Putra Universitas Gajah Mada itu juga menampilkan dua pembicara lain, yaitu Idham Samawi (Bupati Bantul periode 1999-2010) dan Prof Eddy Rahardjo MD PhD (Pakar Kesehatan dan Guru Besar Universitas Airlangga).
Idham Samawi selaku bupati yang memimpin Kabupaten Bantul ketika terjadi musibah gempa pada 2006, menyampaikan tentang pengalamannya ketika menangani para korban. Menurut Idham, ketika gempa 2006, Pemda Bantul Bantul beserta jajarannya dipaksa oleh kondisi saat itu berusaha semaksimal mungkin untuk menangani korban gempa.
“Gempa Bantul tahun 2006 terjadi pada Sabtu Wage, 27 Mei 2006, sekitar pukul 06.00 WIB. Saya yang waktu itu tinggal di rumah dinas melihat bahwa kalau bangunan rumah dinas yang kokoh saja sampai retak, bagaimana dengan rumah rakyat? Karena itu, sekitar pukul 06.45 WIB, tanpa mandi, saya langsung bergegas ke Rumah Sakit Penembahan Senopati. Saat itu sudah banyak korban berdatangan. Bangsal rumah sakit sudah penuh. Akhirnya korban luka dan meninggal dijadikan satu di jalan-jalan di rumah sakit. Tidak lama, jalan di rumah sakit penuh. Korban yang berdatangan kemudian ditampung di halaman parkir, namun tidak lama juga penuh. Akhirnya korban ditempatkan di trotoar di depan rumah sakit,” cerita Idham.
Hal pertama yang dilakukan oleh Idham adalah melakukan koordinasi dengan beberapa rumah sakit untuk meminta bantuan dokter dan perawat agar bisa segera membantu penanganan korban di Bantul. Hal selanjutnya adalah berkoordinasi dengan Polres Bantul dan Dandim untuk mengondisikan keadaan dan meminta bantuan tenaga evakuasi.
Sebagai Bupati Bantul, Idham tidak hanya berusaha untuk menangani korban ketika bencana terjadi. Pasalnya, tak lama setelah bencana gempa, Idham melihat rakyat Bantul terlampau frustrasi dengan keadaan. Banyak sawah tidak dipelihara. Para perajin kehilangan semangat untuk berkarya. Banyak pasar yang tidak buka karena para pedagang tidak menggelar barang dagangan.
“Saya melihat ini bisa terjadi masalah perekonomian di Bantul. Ini bisa jadi musibah gempa kedua, yaitu gempa ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk membangkitkan kembali semangat rakyat Bantul untuk kembali ke sawah, kembali menjadi perajin, dan membuka kembali pasar tradisional, meskipun berjualan di bawah tenda karena banyak bangunan yang roboh. Kami juga mencetak ribuan spanduk untuk membangkitkan kembali semangat rakyat Bantul,” Idham mengenang.
Di sisi lain, Idham juga melihat bahwa sebagian besar rakyat Bantul masih belum bisa menerima keadaan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa kini mereka tidak punya lagi rumah untuk tempat tinggal. Melihat hal itu, Idham berupaya untuk melakukan lobi ke pemerintah pusat agar rekonstruksi rumah tidak diserahkan ke kontraktor, namun ke masyarakat.
“Pembangunan rumah harus diserahkan ke rakyat agar mereka ada aktivitas dan tidak meratapi nasib. Alhasil, dari dana Rp. 25 juta yang seharus dikucurkan, dipotong menjadi Rp 15 juta karena pengerjaan dilakukan sendiri oleh rakyat. Tapi tidak apa-apa, karena yang penting rakyat Bantul tidak larut dalam kesedihan,” Idham menambahkan.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...