Loading...
INSPIRASI
Penulis: Katherina Tedja 01:00 WIB | Kamis, 27 Maret 2014

Diyat Satinah

Unjuk rasa (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Kisah Satinah sedang menjadi pusat perhatian. Dengan pendapat yang tampak bulat, semua orang berteriak serentak: ”Selamatkan Satinah!”.

Namun, ada beberapa suara lain yang hendak mengatakan: ”Bersalahkah Satinah? Jika ia tidak bersalah, mari kita bela sampai titik darah penghabisan! Kirimkan diplomat, kirimkan ahli-ahli hukum terbaik! Libatkan dan laporkan kepada PBB!”

Ada lagi: ”Jika TKI kita yang tidak bersalah (atau tidak sepadan kesalahannya)  terus-menerus mendapatkan hukuman pancung, bukankah lebih bijak tidak mengirimkan orang kita (terutama PRT dan kerah biru lainnya)  ke Arab Saudi lagi! Masakan kita mau menjual harga diri (dan nyawa) kita demi devisa. Lagi pula bukankah devisa dapat dicari dari negara lain yang lebih ’manusiawi’?”

”Kita ini seharusnya membela seseorang karena ia benar atau karena ia saudara kita, sih?” Bisik-bisik itu terdengar lagi. ”Ngomong-ngomong, masih ada 41 Pekerja Rumah Tangga migran terancam hukuman mati. Apakah semua permasalahan itu akan diselesaikan dengan membayar diyat? Apakah sebelum diberangkatkan, mereka tidak diperingatkan tentang hukum yang berlaku di negara tujuan? Lalu, bagaimana perlakuan terhadap saudara-saudara kita terpidana mati di Indonesia?”  

”Berapa banyak orang Indonesia yang memiliki uang 21 miliar? Mungkin hanya segelintir …. Gaji sebagian guru honorer hanya Rp 500–700 ribu sebulan dan masih ada pemulung yang pendapatannya berkisar antara Rp. 10 - 20 ribu sehari. Belum lagi, kisah sedih anak-anak yang mengais makanannya di jalan. Mereka semua saudara-saudara kita juga. Meski tidak menghadapi hukuman pancung, hidup mereka juga sedang terancam, padahal mereka tidak membunuh.”

Wah! Ternyata bisik-bisik ini cukup ramai juga. Apa pun yang terjadi, mari berharap yang terbaik buat Satinah.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home