Dokter Gambarkan Betapa Cepatnya Persebaran Ebola
LONDON, SATUHARAPAN.COM – Dokter Oliver Johnson, seorang dokter Inggris yang bekerja di Sierra Leone menggambarkan betapa cepatnya persebaran virus Ebola di negara tersebut. Oliver yang sehari-hari merupakan dokter di Rumah Sakit King College, London Selatan, menceritakan hal tersebut seperti tercantum pada DailyMail pada Senin (4/8).
Dokter berusia 28 tahun itu bekerja di Freetown, Sierra Leone dalam sebuah tim dari Rumah Sakit King College.
“Kita semua menyadari bahwa ada risiko dan bahwa kita harus sangat berhati-hati. Namun, kita juga tahu bahwa jika kita memakai alat pelindung dengan benar dan mengikuti protokol maka kami mudah-mudahan akan selamat. Kami akan berusaha untuk mengerjakan dengan hati-hati,” kata Johnson.
Dr. Oliver Johnson, bersama dengan tim medis Inggris, bekerja untuk memperkuat bantuan kesehatan bagi ibu kota negara, Freetown mulai dari awal tahun ini.
Johnson menggambarkan kondisi yang melumpuhkan kerja tim malah datang dari masyarakat setempat, masyarakat sempat bersikap tidak percaya dengan aktivitas yang mereka kerjakan.
Masyarakat pedalaman Freetown percaya penyakit ini mungkin konspirasi pemerintah.
“Seperti yang kita terbiasa untuk itu, kendalanya, ini bukan kengerian tetapi kita semua mulai untuk mengerjakan tidak dengan terburu-buru karena ada risiko kematian yang mungkin ada di sana, saat ini penting bagi kita memastikan bahwa Anda bekerja tidak gegabah, atau terlalu percaya diri,” lanjut Johnson.
Gejala yang terlihat dari penyakit ebola adalah demam, sakit kepala dan sakit tenggorokan. Dalam beberapa hari sebagai Ebola virus menyerang sistem kekebalan tubuh, sakit perut kronis, nyeri otot, muntah dan diare terus menerus.
Virus ini menyebar dan menembus pembuluh darah yang menyebabkan pendarahan dari mata, telinga, mulut dan lubang lainnya. Bagian putih mata berubah menjadi merah dan ada bercak menyerupai darah di bawah kulit mata.
Tapi dia mengakui kondisi kerja mengenakan pakaian yang jauh dari apa yang dia alami sebelumnya, Johnson dan timnya mengenakan pakaian yang panas dan cepat menguap, bukan karena panas atau terik cuaca di negara Afrika tersebut.
“Anda merasa keringat menetes di bawahnya. Dan bau kaporit sangat ketat,” kata Johnson.
“Yang mengejutkan adalah tingkat kesehatan pasien yang jelas terlihat sebelum mereka mati dan seberapa cepat kesehatan mereka menurun,” lanjut Johnson.
Pada pemberitaan satuharapan.com sebelumnya menyebutkan Kementerian Kesehatan Sierra Leone mengatakan kepada AFP para pekerja kesulitan mengatasi wabah di wilayah perbatasan dan mengatakan ada 25 kematian lainnya dari 34 koran tewas yang sudah diiformasikan sebelumnya pada hari Maret 2014, dengan total 80 kasus yang terdaftar.
“Epidemi demam Ebola yang melanda Guinea Selatan, termasuk di prefektur Gueckedou dan Macenta, sejak 9 Februari telah merenggut sedikitnya 59 nyawa dari 80 kasus yang diidentifikasi oleh layanan kami di lapangan,” kata Sakoba Keita, kepala petugas pencegahan penyakit di kementerian.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin (4/8) mengatakan jumlah kematian akibat epidemi Ebola di Afrika barat saat ini sudah mencapai 887, setelah 61 korban tewas tercatat pada akhir pekan lalu.
Berdasarkan informasi terbaru tentang penyebaran terburuk virus Ebola, badan kesehatan PBB tersebut mengatakan tercatat 61 kematian terbaru antara Kamis (31/7) hingga Jumat (1/8) di Guinea, Liberia, Nigeria, dan Sierra Leone.
“Sejumlah pasien Ebola yang pernah kulihat terlihat cukup bugar dan sehat dan dapat berjalan di sekitar sampai sesaat sebelum kematian mereka,” kata Johnson.
Johnson juga menggambarkan kesulitan bekerja di negara itu - yang sudah mulai pulih dari tahun perang saudara brutal - karena banyak berpikir penyakit adalah konspirasi pemerintah.
Johnson mengatakan dalam ketakutan itu, dan kondisi kulit mereka seperti terbakar dan kulit berwarna kehitaman mereka langsung berlari berhamburan keluar dari rumah sakit seperti orang melihat hantu.
Sebelum wabah menyapu negara di kawasan Afrika Barat tersebut Dr Johnson, dari London, telah bekerja dengan rekan-rekan Afrika untuk membantu mempersiapkan kemungkinan terburuk, memberi pengarahan mengidentifikasi kasus, mendirikan unit isolasi, bagaimana melindungi staf dan memberikan pelatihan penyegaran bagi petugas kesehatan setempat.
Johnson sempat mengeluhkan bahwa penyakit ini merupakan ancaman baru, dan membutuhkan saran yang penting.
“Kami bukan organisasi non-pemerintah kemanusiaan. Namun, kita harus melalui proses ini dan bekerja dalam tim,” tutup Johnson. (dailymail.co.uk/un.org/who.org)
Editor : Bayu Probo
Polri Tangkap Buron Pengendali Clandestine Lab di Bali Asal ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mengamankan satu orang dar...