DPR: Dulu Gafatar Islam Kini Meyakini Millah Ibrahim
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR –RI) mengadakan kunjungan spesifik ke pusat penampungan eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Detasemen Pembekalan dan Angkutan Kodam XII/Tanjung Pura di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) hari Jumat (29/1).
Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay dari Fraksi PAN mengatakan, kunjungan spesifik ini bertujuan untuk melihat dan mengetahui langsung kondisi pengungsi dan langkah-langkah penanganan yang dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu berkunjung ke lokasi penampungan, Komisi VIII juga mengadakan rapat dengan Gubernur Kalimantan Barat, Polda, Kasdam, dan seluruh pejabat SKPD terkait di kantor Gubernur Kalimantan Barat.
"Sejauh ini kami melihat bahwa penanganan pengungsi cukup baik. Selain menyediakan tempat penampungan, pemerintah juga menyiapkan berbagai kebutuhan mereka. Termasuk psikolog, dokter, dan kebutuhan balita, ibu-ibu hamil dan menyusui,” kata Saleh dalam siaran pers, di Jakarta, hari Jumat (29/1).
Menurut Saleh dari hasil dialog dan perbincangan dengan para pengungsi eks Gafatar, diperoleh informasi bahwa sebagian besar di antara mereka masih menginginkan untuk tetap berada di Kalbar.
“Mereka mengatakan bahwa mereka tidak memiliki apa-apa lagi di daerah asal. Karena itu, mereka meminta agar ada opsi lain untuk dipindahkan ke tempat lain dimana pemerintah menyediakan lahan pertanian untuk mereka,” kata dia.
Selain itu, lanjut Saleh, Komisi VIII juga menilai bahwa para eks Gafatar ini masih perlu dibina sebelum diintegrasikan kembali ke masyarakat. Pasalnya, banyak penjelasan mereka tentang kehidupan bernegara dan beragama yang tidak benar. Salah satu di antaranya, mereka mengatakan bahwa dulu mereka beragama Islam. Sekarang tidak lagi dan mereka meyakini aliran Millah Ibrahim, yang tidak meyakini atau tidak menggunakan hadis/sunah rasul sebagai sumber hukum Islam.
Ajaran Millah Ibrahim juga meyakini Nabi Muhamad SAW bukan sebagai nabi dan rasul terakhir atau penutup, karena akan muncul nabi dan rasul lain yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Menurut penjelasan pemerintah setempat, kata Saleh, mereka juga memiliki struktur organisasi pemerintahan sendiri. Hal itu diperoleh dari dokumen yang diamankan oleh aparat saat evakuasi. Itu berarti, mereka datang ke Kalbar bukan semata-mata untuk bertani, tetapi ada agenda di luar itu yang perlu didalami lebih lanjut.
"Mereka ini masih sangat militan. Tidak mudah mengembalikan mereka. Perlu ada pembinaan intensif,” kata dia.
Komisi VIII menilai bahwa keberadaan Gafatar tidak boleh dianggap enteng. Pemerintah harus betul-betul mengawasi dan membantu para pengikutnya agar kembali menjadi warga negara yang baik. Kalaupun mereka sudah dikembalikan ke daerahnya, monitoring dan pengawasan serta pembimbingan masih tetap harus dilanjutkan.
Selain itu, Saleh menambahkan untuk aparat kepolisian diminta untuk mencari para pemimpin Gafatar. Mereka harus dimintai klarifikasi terkait berbagai dokumen yang ditemukan. Jika benar ada yang menyimpang, harus dituntut sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku.
Kemudian, kata Saleh, Pemerintah Provinsi Kalbar menjelaskan bahwa alasan pemulangan para eks Gafatar adalah karena menimbulkan keresahan dan kekhawatiran masyarakat. Selain eksklusif, orang-orang Gafatar dinilai mengajarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan salah satu agama yang diakui di Indonesia.
“Orang-orang Gafatar datang ke Kalbar tidak melalui proses pencatatan kependudukan sebagaimana disyaratkan oleh UU. Dari ribuan orang yang tiba di sana, hanya beberapa orang yang melaporkan diri ke dinas kependudukan,” katanya.
Editor : Eben E. Siadari
Warga Peringati Dua Dekade Tsunami di Aceh Yang Menewaskan R...
BANDA ACEH, SATUHARAPAN.COM-Dua dekade setelah tsunami dahsyat menghancurkan desanya, Tria Asnani ma...