DPR: Tunda Kenaikan Tarif Iuran BPJS
BANDARLAMPUNG, SATUHARAPAN.COM - Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf meminta kenaikan tarif premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ditunda dulu, serta pemerintah perlu lebih fokus dalam membangun dan menyediakan infrastruktur kesehatan yang lebih baik.
"Perbaikan dan pengadaan infrastruktur kesehatan yang diutamakan dulu. Setelah pelayanan kesehatan sudah baik dengan tersedianya infrastruktur itu, baru tarif premi BPJS itu dinaikkan," kata Dede Yusuf, saat diminta tanggapannya terkait rencana kenaikan premi BPJS, di Jakarta, Senin (9/3).
Ia mengharapkan pemerintah memperbesar anggaran kesehatan dalam APBN agar bisa mencapai 5 persen, atau setidak-tidaknya 4 persen. Dengan tersedianya dana maka bisa dibangun infrastruktur kesehatan yang lebih baik, termasuk memperbanyak rumah sakit dan puskesmas atau puskemas pembantu, serta tersedianya tenaga medis dan paramedis yang cukup.
Dia menyebutkan, kenaikan premi BPJS hanya akan membebani masyarakat dengan kondisi pelayanan kesehatan seperti sekarang ini. "Perbaiki dulu pelayanan, baru premi naikkan," katanya.
Dengan membaiknya pelayanan,terutama di tingkat puskesmas, diharapkan pasien tidak lagi membanjiri rumah sakit.
Untuk itu, tenaga medis dan paramedis, peralatan, dan obat-obatan di puskemas semestinya selalu cukup tersedia.
Dia juga mendukung dilaksanakannya audit menyeluruh atas BPJS, untuk mengetahui penggunaan anggaran dan kinerja pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat, termasuk untuk mengetahui penggunaan dana kapitasi di puskemas.
Selain itu, ia juga mengharapkan BPJS menjalin kerja sama yang lebih baik dengan pengelola rumah sakit.
"BPJS itu hanya membayarkan tagihan, sedang yang tahu dan yang menangani masalah kesehatan adalah rumah sakit itu sendiri. Saya sudah usulkan agar di setiap rumah sakit ada pos pengaduan pelayanan BPJS yang menjadi acuan bagi pihak rumah sakit untuk memperbaiki pelayanannya. Harapan saya adalah BPJS aktif menjalin kerja sama dengan rumah sakit, karena yang memberikan pelayanan kesehatan adalah rumah sakit itu sendiri," katanya.
Presiden Joko Widodo pekan lalu telah menggelar rapat terbatas membahas penyelenggaraan jaminan sosial bidang kesehatan, di Kantor Presiden Kompleks Istana Kepresidenan.
"Saya ingin menanyakan beberapa hal tentang penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan yang saya lihat di lapangan, banyak keluhan masyarakat, terutama pembayaran di rumah sakit," katanya.
Ia mencontohkan biaya rumah sakit yang mencapai Rp 14 juta, hanya di-cover oleh BPJS sebesar Rp 4 juta. "Sisanya harus dibayar sendiri dan hal-hal lainnya," katanya.
Terkait rencana kenaikan premi BPJS, lembaga swadaya masyarakat Jamkes Watch, telah menolak usulan kenaikan tarif iuran tersebut.
"Kenaikan tarif itu tidak benar, kami tegas menolak," kata Direktur Eksekutif Jamkes Watch Iswan Abdullah.
Iswan menilai, alasan BPJS Kesehatan yang memprediksi rasio klaim mencapai 98,25 persen dari target total iuran Rp 55 triliun pada tahun ini adalah tidak masuk akal.
Belum lagi, menurut dia, iuran bagi PBI (Penerima Bantuan Iuran) bakal naik menjadi Rp 27.500, dan non-PBI naik hingga Rp 60.000. Dia berpendapat, permasalahan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional atau BPJS Kesehatan, terletak kepada anggaran yang tidak dialokasikan dengan baik.
"Pemerintah tidak sungguh-sungguh menjalankan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan) yang ditandai dengan alokasi Anggaran APBN hanya Rp 20 triliun," katanya.
Ia mengungkapkan, seharusnya pemerintah paling tidak menganggarkan hingga Rp 60 triliun.
"Ini sudah sejalan dengan pelaksanaan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu negara mengalokasikan 5 persen APBN dan 10 persen APBD untuk kesehatan," katanya. (Ant)
Editor : Sotyati
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...