Dua Aktivis Walhi Kampanye di Australia
MELBOURNE, SATUHARAPAN.COM - Dua aktivis lingkungan dari Indonesia tengah berkampanye di beberapa kota di Australia untuk menggugah kesadaran publik tentang projek yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar Australia yang berada di Indonesia.
"Kami di Melbourne setelah sebelumnya berkunjung ke Brisbane dan Sydney untuk berbicara di publik Australia untuk bersolidaritas terhadap upaya penyelamatan hutan di Kalimantan dan mengkritis perusahaan Australia yang berinvestasi di sana yang tentunya berdampak pada semua aspek di Kalimantan," kata Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah, Arie Rompas kepada ABC, pada Jumat kemarin (15/11)
Menurut para aktivis dari organisasi WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), kegiatan perusahaan-perusahaan besar seperti BHP Billiton Group, yang markasnya bertempat di Australia, dan Cokal, sangat membahayakan lingkungan hidup Indonesia terutama kawasan hutan hujan di Kalimantan.
Salah satu fokus kampanye mereka adalah rencana dibukanya beratus-ratus ribu hektar hutan di jantung Kalimantan untuk projek tambang batubara besar-besaran, IndoMet.
Arie Rompas datang bersama Pius Ginting, pengkampanye bidang energi WALHI. Kunjungan mereka bekerjasama dengan organisasi lingkungan hidup internasional Friends of the Earth, yang juga merupakan rekan WALHI.
Program Kalimantan Forest and Climate Partnership
Ini bukan pertama kalinya Arie mengunjungi Melbourne dalam rangka kampanyenya. Ia juga pernah berkunjung untuk mengkritisi program Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP), yang merupakan program penyelamatan hutan Kalimantan melalui metode REDD (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi).
"Kalau KFCP lebih ke pemerintah Australia. Intervensinya lebih jelas, projek REDD di Kalimantan Tengah, Kali ini berbicara khusus untuk investasi private BHP Billiton," kata Direktur Eksekutif WALHI itu.
Pada waktu itu, Ia lebih banyak berbicara dengan pihak pemerintah Australia, seperti anggota parlemen dan politikus-politikus dari berbagai partai. Menurut dia, kunjungannya beberapa tahun lalu itu terbilang sukses.
"Saya kira [pengaruhnya] signifikan karena kemudian banyak peneliti dari Australia termasuk dari universitas-universitas yang melihat sisi lain dari praktek-praktek KFCP di Kalimantan Tengah, sehingga publik Australia mengetahui ada persoalan dari projek KFCP, sedikit besarnya mempengaruhi keputusan pemerintah Australia untuk kebijakan iklim di Indonesia," ungkap Arie.
Mendekati Masyarakat
Kali ini, memang fokus kampanye WALHI dan Friends of the Earth adalah investasi swasta, namun, ketimbang menemui perusahaan swasta yang menurut mereka memiliki andil dalam perusakan lingkungan, mereka lebih memilih mendekati masyarakat.
"Target kami adalah publik, untuk mendapatkan solidaritas dari masyarakat Australia untuk bersama kami dan komunitas lokal untuk menjaga hutan dan tentunya untuk menyampaikan hal-hal kritis terkait dengan perusahaan Australia di Indonesia" kata Arie.
"Kenapa publik jadi fokus? voluntary market kayak BHP Billiton itu tentu harus ada pendekatan berbeda sehingga publik Australia menjadi sangat penting menyuarakan persoalan-persoalan dan kemungkinan terburuk ketika BHP Billiton melakukan aktivitas di Indonesia."
Dalam kesempatan ini mereka tidak sempat bertemu dengan perwakilan perusahaan-perusahaan pertambangan Australia, namun Friends of the Earth berencana untuk menindaklanjuti kampanye ini dengan bertemu dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
"Kami memang tidak akan secara langsung bertemu, tapi pertanyaan-pertanyaan tentang projek (di Kalimantan Tengah) ini akan ditanyakan atas nama kami dalam AGM (Annual General Meeting) BHP minggu depan di Perth (Australia Barat), jadi ini salah satu cara pemegang saham BHP mengetahui apa yang terjadi, dan proses itu akan direkam secara umum," kata Nick MacClean dari Friends of the Earth.
Menurut Nick MacClean, keputusan mendatangkan dua aktivis Indonesia ini pada akhirnya menguntungkan dan bermanfaat, karena dengan cara ini publik Australia dapat mendengar langsung pengalaman dan pendapat mereka yang terkena dampak dari kegiatan perusahaan tambang Australia.
Masyarakat Australia Lebih Kuat
Selanjutnya, Arie mengakui bahwa salah satu keuntungan menjalankan kampanye di Australia, selain di Indonesia, adalah karena bisa memanfaatkan posisi kampanye masyarakat Australia yang dilihat lebih kuat terhadap pemerintahnya, ketimbang Indonesia.
"Soal kesadaran publik di Australia dan posisi mereka - masyarakat sipil - terhadap pemerintah, saya pikir lebih kuat di Australia sehingga kami menggalang publik seluas-luasnya mendukung kampanye penyelamatan hutan di Kalimantan," kata Direktur Eksekutif WALHI itu.
Namun, Ia menolak bila kampanye di Australia ini dianggap subversif terhadap pemerintah Indonesia atau sebagai usaha menjatuhkan citra.
"Kami bukan sedang mau menjatuhkan citra tapi kami menyampaikan fakta yang terjadi dan publik akan menilai fakta-faktu itu relevan untuk dikampanyekan atau tidak. Pemerintah indonesia punya target tertentu..dia sudah mencitrakan indonesia akan menjadi frontier untuk menjaga hutan tapi faktanya kemudian dia terus saja membiarkan atau memberi karpet merah thd eksploitasi sumber daya di Indonesia," jelas Arie.
"Bicara soal kedaulatan, Indonesia harus menyelesaikan persoalan sendiri, dan Australia juga harus mencapai pendapat mereka tentang kebijakan Australia khususnya tentang kebijakan hutan di Indonesia," kata aktivis Walhi itu. (ABC)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...