Dua Tahun Indonesia dapat Empat Catatan Buruk PBB
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), Rafendi Djamin mengatakan dalam kurun waktu dua tahun terakhir, Indonesia telah empat kali masuk dalam catatan buruk dunia internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam hubungannya dengan perlindungan bagi kelompok minoritas.
”Pertama saat Sidang Universal Periodic Review (UPR), pada 2012, kemudian Indonesia menerima rapor merah dalam Sidang review Hak sipil Politik 2012, selanjutnya di Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB untuk hak sosial dan budaya, Indonesia juga memiliki rapor merah dalam kaitan perlindungan minoritas, dan terakhir pada Juni 2014, Indonesia kembali diberi rapor merah dari sudut penilaian hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan berorganisasi, dimana dalam konteks ini, Indonesia dianggap gagal oleh Dewan HAM PBB untuk melindungi kelompok minoritasnya.
"Terutama, kelompok Ahmadiyah, Syiah, Jemaat Gereja GKI Yasmin, dan Bahai,” ucap Rafendi, melalui surat elektronik yang diterima satuharapan.com, Selasa (10/6).
Menurutnya, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengalami kegagalan di PBB, bahkan saat ini Indonesia tengah berada pada keadaan darurat nasional dalam kebebasan beragama yang mengancam demokrasi Indonesia.
Hal tersebut pun disepakati oleh perwakilan dari The Wahid Institute, Muhamad Subhi. Dalam acara jumpa pers yang diadakan untuk menanggapi laporan Pelapor Khusus PBB Maini Kiai, ia mengatakan bahwa rapor merah diperoleh Indonesia di PBB dalam pemerintahan SBY memang cerminan akurat akan situasi nasional. PBB memberi rapor merah karena korban-korban di Indonesia tidak tinggal diam.
“Sayangnya, saat ini, dipihak para penyelenggara negara, ada yg mencoba membuat persoalan ancaman intoleransi di Indonesia, dan persoalan ini hanya jadi santapan Indonesia saja, tanpa pantauan dunia internasional,” kata Subhi.
Menurutnya, banyak pejabat negara yang mempertanyakan advokasi internasional, karena dianggap sebagai tindakan yang mempermalukan Indonesia.
“Padahal, pelaporan ke dunia internasional terjadi karena ada kebuntuan di nasional, keengganan di tingkat nasional untuk sungguh-sungguh menyelesaikan ancaman intoleransi,” Subhi menambahkan.
Perwakilan dari Syiah pun mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak menghakimi dengan sudut pandang tertentu. Pemerintah Indonesia harus ingat bahwa Indonesia bukan negara Islam, jadi tidak boleh ada penghakiman dengan sudut pandang keyakinan agama tertentu, termasuk Islam.”
Sementara itu Pendeta Hendrik Larosa, perwakilan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mnenuturkan bahwa kondisi yang marak terjadi di Indonesia adalah pembatasan agama dan keyakinan.
“Seharusnya, negara tidak berhak mencap kelompok manapun sebagai sesat atau tidak sesat, tetapi harus melindungi semua warga negara tanpa kecuali," ucapnya.
Senada dengan narasumber lainnya, juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging menganggap pemerintah Indonesia tidak memiliki niat untuk menyelesaikan kasus intoleransi.
“Pemerintah selalu menyangkal dengan mengecilkan persoalan. SBY gagal total, tanpa kita tahu apakah SBY punya niat menyelesaikan masalah ini dalam sisa pemerintahannya. Bila SBY tetap diam, maka yg dilakukan adalah transfer persoalan ke presiden berikutnya,” tandasnya.
Sementara itu, perwakilan Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menyampaikan bahwa dunia internasional melihat situasi di Indonesia mulai mengkhawatirkan karena Indonesia mulai jauh dari sebuah model ideal dunia tentang toleransi.
Sebagai contoh, tentang pernyataan perang Jafar Umar Thalib di Yogya yang akan memerangi keberagaman, adalah sangat mengkhawatirkan. Ini memberi tanda bahwa sekelompok orang mulai dengan sangat agresif, dan intimidatif, ingin membentuk negara Islam," katanya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...