Duka Cerita Pelanggaran HAM Papua Terungkap Lewat Lukisan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tak hanya lewat unjuk rasa Orang Papua mengungkapkan derita dan kegelisahannya atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah kelahirannya. Mereka juga menyuarakannya lewat lukisan dan karya seni lainnya.
Isu-isu yang dianggap sensitif tentang Papua, dimunculkan bukan dengan cara frontal. Kematian aktivis, musisi, pelanggaran HAM hingga penderitaan warga di tengah kekayaan sumber daya alam, diungkapkan lewat gorean kuas pada lukisan, ukiran pada patung dan karya seni pertunjukan.
Pencinta seni dan budaya, Idha Saraswati, melaporkan ulasannya tentang pameran karya seni dua perupa dari Papua, Albertho Wanma (30) dan Ignasius Dicky Takndare (28) yang diadakan di Yogyakarta pada 15-23 Oktober lalu. Dalam tulisannya yang dimuat di serunai.com, ia menggambarkan pameran itu sebagai sebuah even yang "mencabik-cabik perasaan," menampilkan "ratapan duka akibat kehilangan keluarga namun juga karena kehilangan tanah, air, kekayaan alam, kebebasan, kebudayaan juga kemerdekaan."
Albertho dan Ignasius memamerkan berbagai karya seni mereka selama sepekan itu, mulai dari lukisan, patung, instalasi serta performance art. Semuanya berkisah tentang kampung halaman mereka. Dan menurut Idha, semuanya bernada ratapan.
Wajah-wajah Menyimpan Banyak Cerita
Tiga lukisan karya Dicky dipajang berjajar. Salah satunya lukisan berjudul Ana ye Ana, menampilkan raut wajah seorang mama Papua dengan garis-garis muka, yang menurut Idha, seperti menyimpan begitu banyak cerita.
Tampak dalam lukisan itu air mata menetes dari salah satu sudut matanya secara tersamar. "Tetapi tatapan mata itu kosong. Kedua tangannya diangkat hingga ke depan dada, seperti sedang berdoa, sekaligus seperti sedang mempertanyakan sesuatu. Terlebih ketika melihat jemari di salah satu tangan itu yang tak lagi utuh, bekas dipotong, wujud cinta seorang mama terhadap keluarganya yang meninggal. Noken atau tas rajutlah yang mestinya dipasang di kepalanya. Namun, dalam lukisan itu noken telah berganti tas plastik," Idha menggambarkan lukisan itu.
Lukisan lainnya, Besohathe, adalah tentang sebuah raut wajah seorang lelaki belia. Idha menggambarkan lukisan itu dengan kata-kata, "Matanya yang menatap tajam mengungkapkan banyak hal. Namun, mulutnya terkatup rapat oleh jahitan benang. Di dahinya ada jeruji penjara."
Lukisan berikutnya, raut muka seorang pemuda berbibir tebal. Tak ada penjara atau jahitan benang di wajahnya. "Namun, sudut keningnya telah ditandai sebagai sasaran tembak senjata otomatis. Judul karya itu Silent Target #2."
"Ketiga lukisan itu sunyi. Sosok-sosok yang menyimpan dukanya sendiri. Namun, duka itu ternyata menular dengan cara menyelinap diam-diam. Dalam sunyi, ketiga karya itu justru mampu menyampaikan banyak cerita yang tak terungkapkan," komentar Idha.
Sedangkan karya Bertho, yang dipajang di tengah ruang pamer, berjudul Fafisu Mambesak. Mambesak adalah sebuah kelompok musik di tahun 1970-an yang didirikan oleh aktivis pro-kemerdekaan Papua, Arnold AP, yang kemudian tewas ditembak aparat.
Karya ini adalah sebuah patung berbentuk gitar dengan ukuran yang lebih besar dibanding gitar pada umumnya. Tetapi ia tidak dilengkapi senar. Dan tubuh patung fiber setinggi 1,2 meter itu berisi rongga mulut yang terbuka, seperti sedang berteriak keras. "Gagang gitarnya diganti dengan lengan berotot yang mengepal penuh keyakinan," tulis Idha.
Karya Bertho seakan mengangkat kembali ingatan pada lagu-lagu kelompok Mambesak yang dulu dianggap kritis, mengangkat soal politik maupun kerusakan lingkungan akibat tambang. Sampai saat ini Mambesak masih menjadi inspirasi bagi aktivis Papua. Arnold Ap selalu dikenang sebagai pahlawan bagi dimarginalkannya rakyat Papua di tanahnya sendiri.
Bertho dan Dicky juga membuat karya instalasi yang pada pembukaan pameran dihidupkan melalui karya performance art. Mereka menyusun batangan-batangan emas hingga membentuk ranjang setinggi sekitar setengah meter.
"Di atas ranjang itu, ada sesosok mayat yang ditutupi kain putih. Di tembok seberang ranjang, ada layar putih yang disorot lampu. Pada layar itu, saat melakukan performance Dicky menuliskan berbagai kata yang tersimpan di benaknya tentang Papua : Wasior, Abepura, Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), Mambesak."
Sebagaimana ditulis oleh Idha, karya performance ini diberi judul Remahili, yang juga menjadi judul dari pameran. Artinya dalam bahasa Sentani adalah ratapan. "Ini merujuk pada tradisi meratap ketika ada keluarga yang meninggal. Mereka meratap untuk mengungkapkan duka mendalam yang tak tertahankan," kata Idha.
Tanyakanlah pada Orang Papua
Menurut Idha, karya seni ini menggambarkan kompleksnya penyebab duka orang Papua. Berbagai jenis ratapan itu, agaknya merupakan inti inti kegelisahan kedua perupa. Dan mereka ingin mengajak orang yang menyaksikannya menghayati pesan, bahwa "jika informasi yang Anda terima tentang Papua terasa meragukan, carilah sumber yang bisa dipercaya : salah satunya adalah orang-orang Papua itu sendiri."
Idha mengutip pernyataan Romo Sindhunata sesaat sebelum pembukaan pameran, yang mengatakan di tengah banyaknya karya seni yang berbicara soal Papua, ketika karya itu dibuat oleh perupa Papua, rasa dan kedalamannya menjadi berbeda.
Pameran yang dikuratori Andre Tanama dibuka oleh Anti Tank, yang kerap mengangkat isu politik dan sosial dalam karya mereka. Dua perupa Papua ini diharap membuka pintu bagi apresiator karya seni, khususnya di Yogyakarta, untuk mengenali lebih banyak lagi tentang seni Papua.
"Pula, mereka membuka pintu bagi perupa Papua lainnya untuk berkisah. Kisah-kisah yang masih tersembunyi dari khalayak umum, terutama di luar Papua," tulis Idha, dalam laporannya yang diberi judul Yang Terungkap Lewat Ratapan.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...