Qanun Jinayat di Aceh Melanggar Hak Asasi Manusia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ratusan orang, mulai anak-anak hingga dewasa, berkumpul di halaman Masjid Baiturahim di Bandar Aceh, akhir Desember tahun lalu, bukan untuk mengikuti acara keagamaan atau menyaksikan hiburan.
Mereka menonton pelaksanaan hukuman cambuk, yang diberlakukan di seantero Aceh sejak Oktober 2015. Ada enam orang mesti menjalani hukuman cambuk yang dilakukan di atas panggung, ditonton orang banyak, dan wajah terhukum tidak ditutup. Namun, yang menggemparkan karena salah seorang yang dihukum cambuk, NE, mahasiswi berusia 20 tahun, ambruk setelah dicemeti. Dia dihukum cambuk karena terbukti berbuat mesum dengan pasangannya.
Setahun sudah qanun jinayat berlaku di tanah Serambi Makkah itu. Setahun berlalu tapi kontroversi serta pro dan kontra masih menyelimuti isu pelaksanaan qanun jinayat. Data dari Institute for Criminal Justice Reform menyebutkan sudah 180 orang dieksekusi menggunakan hukuman cambuk.
Ayu Ezra Tiara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia kepada VOA, Jumat (28/10) menilai pelaksanaan qanun jinayat di Aceh membuktikan kegagalan negara dalam menegakkan konstitusi sekaligus melindungi hak asasi manusia warga Aceh.
Ayu menambahkan, qanun jinayat merupakan peraturan yang tidak manusiawi dan lebih diskriminatif terhadap perempuan.
Dalam pelaksanannya pun, Ayu mencontohkan, dari 300 perkara hanya 60 perkara yang pelakunya bisa didampingi oleh pengacara.
"Dengan diberlakukan qanun jinayat mengakibatkan kemunduran hukum pidana di Indonesia. Di hukum pidana Indonesia tidak mengenal cambuk. Selain itu, qanun jinayat itu melanggar banyak aturan hukum nasional, seperti undang-undang HAM, undang-undang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, undang-undang pengesahan kovenan anti-penyiksaan, undang-undang perlindungan anak, undang-undang hukum pidana sendiri," kata Ayu.
Ayu mencontohkan, membiarkan anak-anak menonton pelaksanaan hukuman cambuk seperti terjadi setahun ini sama saja melanggar undang-undang perlindungan anak.
Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisa Yura mengatakan, secara substansi, qanun jinayat diskriminatif terhadap kaum hawa. Dia mencontohkan kalau ada perempuan melapor diperkosa tapi tidak mampu membuktikan, lelaki terlapor berpotensi menggugat balik, bisa dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Contoh lainnya, menurut Nisa, lelaki dituduh memperkosa bila bersumpah lima kali bisa bebas, dengan syarat tidak ada saksi dalam kasus pemerkosaan itu.
"Model hukuman seperti itu tidak hanya berdampak pada fisik tapi juga secara psikologis. Ketika dilakukan di depan publik dengan wajah tidak ditutup dan dilihat banyak orang, itu akan berdampak lebih lanjut ke pengucilan atau diskriminasi pasca dilakukannya hukuman. Dua-duanya memang terkena tapi dampak perempuan lebih berlapis karena selama ini perempuan dianggap sebagai penjaga moral,” katanya.
Dengan segala kelemahan dalam qanun jinayat, Nisa meminta pemerintah pusat melakukan peninjauan kembali tentang qanun itu.
Kepala Biro Humas Setda Aceh Frans Dellian mengatakan, tidak ada permintaan kepada pemerintah Aceh untuk meninjau kembali pelaksanaan qanun jinayat. Dia membantah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan hukuman cambuk dilakukan tidak sekejam bayangan orang. (voaindonesia.com)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...