Duka Cerita Zulfa, Tinggal Kelas karena Tolak Praktik Salat
Kasus Zulfa merupakan salah satu bukti Pancasila dan Konstitusi Negara tidak menjamin para penghayat kepercayaan.
SEMARANG, SATUHARAPAN.COM - Zulfa Nur Rahman, 17 tahun, Penghayat Kepercayaan yang bersekolah di SMK Negeri 7 Semarang memilih dirinya tidak naik kelas ketimbang terpaksa praktik salat dalam mata pelajaran Agama Islam.
Zulfa adalah seorang anak pengikut penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Status Zulfa pada kolom agama dalam Kartu Keluarga diisi kosong (-). Ayahnya bernama Taswidi dan ibunya Susilowati.
Pada Juli 2016 lalu Zulfa tidak naik kelas karena nilai pendidikan agama mendapat D (kurang). Kurikulum di sekolah negeri itu hanya memfasilitasi enam agama, tanpa mengakomodasi aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Sjarifudin, menilai pemerintah diskriminatif terhadap hak-hak para penghayat kepercayaan. Kasus Zulfa merupakan salah bukti Pancasila dan Konstitusi Negara tidak menjamin para penghayat kepercayaan.
“Ini bukan soal seorang anak harus mengalah karena agama minoritas. Ini soal kebijakan diskriminatif yang selama 71 tahun Indonesia mengorbankan hak-hak para penghayat,” kata Nia kepada satuharapan.com, hari Kamis (18/8).
Menurut Nia, ratusan bahkan ribuan anak penghayat yang pernah alami ini merespons dengan takut, menyerah dan mengalah. “Tapi Zulfa tidak. Ia hanya mau percaya bahwa ini negara Pancasila dan punya konstitusi yang tidak diskriminatif karena agama,” kata Nia.
Zulfa (kanan) bersama ibunya Susilowati. (Foto: Dok. ANBTI)
Nia meminta pemerintah memperhatikan kasus Zulfa yang dibuat tidak naik ke kelas 12 karena dia adalah penghayat kepercayaan. Sementara rata-rata nilai Zulfa mendapat A-B dan hanya satu yang nilainya C. Alasan sekolah tidak menaikkan karena Zulfa tidak mau ikut ujian salat, meski dia sudah mengikuti ujian-ujian teori agama Islam.
Nia mengatakan Permendikbud yang baru keluar, yang mengakomodasi siswa penghayat kepercayaan, ditampik keras oleh Kepala Sekolah dan Kanwil Dikbud setempat. Alasannya tidak berlaku surut untuk seorang Zulfa.
“Karakter apa yang dipertontonkan Kepsek, Kanwil Dikbud Semarang dan Jateng pada Zulfa? Juga dibiarkan oleh Wali Kota dan Gubernur Jateng?” kata Nia.
Nia mengatakan di satu sisi kita biasa punya budaya membantu anak-anak orang lain bisa sekolah dengan budaya orang tua asuh. Tapi kenapa dalam kasus Zulfa mereka seolah berjamaah mengeroyok seorang anak di bawah umur tidak bisa naik kelas karena alasan prinsipil yang seharusnya diinformasikan.
“Zulfa seorang pemberontak? Tidak saya kira, dia hanya seorang anak yang punya integritas tinggi dan menunggu jawaban kita semua apakah Indonesia masih jadi negara berideologi Pancasila? Ataukah Konstitusi masih jadi sumber hukum-kebijakan diskriminatif yang meminggirkan dia sebagai penganut agama lokal nusantara?” kata Nia.
“Haruskah Zulfa menanggung 365 hari nestapa sebagai orang yang dipinggirkan agamanya? Diam dan prihatin bukan cara terbaik untuk membiarkan 71 tahun kemerdekaan RI dan hari Konstitusi 18 Agustus ini sebagai hari kebohongan bagi generasi muda Indonesia seperti Zulfa. Zulfa adalah kita, kita adalah Indonesia dan Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika,” kata Nia.
Editor : Eben E. Siadari
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...