Dulu Disambut, Kini Ahmadiyah Pakistan Dikucilkan
PUNJAB, SATUHARAPAN.COM – Sebuah serangan yang bernuansa kekerasan dilakukan terhadap masjid Ahmadiyah pekan lalu di Punjab, Pakistan, mencerminkan masih tingginya pengisolasian dan penganiayaan yang dilakukan masyarakat setempat terhadap komunitas yang dinyatakan "non-Muslim" oleh amandemen konstitusi Pakistan yang dilakukan empat dekade lalu.
Seperti diberitakan Hindustan Times, hari Minggu (18/12) masjid di Chakwal di provinsi Punjab diserbu oleh lebih dari 1.000 orang, pada tanggal 12 Desember. Mereka menduduki gedung dan mengancam penghuni dengan ancaman mengerikan namun pihak kepolisian tidak berdaya melihat aksi tersebut.
Kekerasan yang dilakukan anggota Aalmi Majlis Tahaffuz Khatm-e-nubuwwat (organisasi nasional untuk perlindungan kenabian) terjadi meskipun pemimpin Ahmadiyah sepekan sebelumnya telah memberitahu pihak berwenang tentang kekerasan yang mungkin terjadi.
Bahkan saat ini, masjid tetap dalam berada dalam pengawasan pihak pusat. Menteri Punjab Shahbaz Sharif, adik dari Perdana Menteri Nawaz Sharif, berjanji akan ada tindakan tegas namun pada kenyataannya tidak ada tindakan konkret yang dilakukan.
Ini bukan pertama kalinya anggota masyarakat Ahmadiyah menjadi target serangan. Selama bertahun-tahun, masjid mereka telah diduduki, bisnis mereka diserang dan tokoh terkemuka menjadi sasaran.
Ratusan Ahmadiyah telah dipenjarakan di bawah hukum penistaan agama, dengan alasan bahwa mereka menista agama Islam.
Pada bulan September 1974, Parlemen Pakistan menyatakan Ahmadiyah sebagai "non-Muslim" setelah Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto berada di bawah tekanan dari pihak sayap kanan. Sejak itu, Ahmadiyah telah menghadapi penganiayaan sistematis di tangan kelompok negara dan garis keras.
Banyak pihak yang berpendapat bahwa menyatakan setiap komunitas agama sebagai minoritas bukan wewenang dari negara, namun langkah itu menjadi dasar dari serangan pihak luar.
“Saat ini terjadi pemahaman seperti ini: ‘jika seseorang dituduh menjadi Ahmadiyah, mereka berada dalam bahaya saat diserang di sisi lain mereka tidak mendapat posisi yang kuat jika mereka berada dalam pelayanan pemerintah," kata Direktur Human Rights Commission of Independent Pakistan (HRCP) atau Komisi Hak Asasi Manusia independen Pakistan, Zohra Yusuf.
HRCP telah mendokumentasikan negara menghasilkan berbagai partai politik berbasis agama di negara tersebut, dan telah mengenalkan undang-undang yang tidak hanya menyatakan Ahmadiyah keluar dari batas Islam tetapi juga menghentikan mereka dari menyebut diri mereka Muslim.
Undang-undang tersebut mengacu pada pelarangan menyebut tempat ibadah Ahmadiyah sebagai masjid dan bahkan melarang Ahmadiyah membacakan ayat-ayat Alquran. "Semua ini kini telah menjadi pelanggaran," kata Yusuf.
Kondisi tersebut, menurut Yusuf, bertolak belakang dan sangat kontras dengan keadaan yang berlaku saat Pakistan terbentuk. Saat itu pendiri negara itu, Muhammad Ali Jinnah, menunjuk sebagai anggota masyarakat, Zafarullah Khan, sebagai menteri luar negeri pertamanya.
Dalam beberapa hal, Ahmadiyah Pakistan dapat dibandingkan dengan komunitas Yahudi dari Eropa Timur yang menghasilkan masyarakat yang menjadi ilmuwan, guru, dokter dan profesional lainnya. Mereka dikenal karena prestasi tinggi mereka di bidang pendidikan seperti pemenang Nobel pertama negara itu, Abdus Salam yang seorang Ahmadiyah.
Sejumlah bisnis yang dilakukan penganut Ahmadiyah di negara tersebut sempat berjalan dengan baik selama bertahun-tahun.
Salah satu perusahaan terkemuka, Shezan, pernah menjadi perusahaan ternama. Namun semua itu berubah di pertengahan 1970-an, ketika Pakistan di bawah pengaruh Arab Saudi, karena kala itu muncul kampanye terhadap masyarakat nasional yang dipimpin oleh Jamaat-e-Islami, partai sayap kanan, yang mengkampanyekan mengubah Pakistan menjadi negara teori berdasar agama.
Ahmadiyah di Pakistan mendapat tingkat penganiayaan yang hampir setara dengan orang-orang Yahudi yang mengalami penyiksaan di bawah rezim Adolf Hitler.
Selama bertahun-tahun, penganut Ahmadiyah yang telah memiliki karier profesional meninggalkan Pakistan, dan Ahmadiyah memindahkan kantor pusatnya karena khawatir kepemimpinan puncak akan dibunuh oleh orang-orang yang beraliran fanatik dan ekstremis.
Kepemimpinan Sunni Pakistan menyatakan pemimpin Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad "wajib-ul qatl" (wajib untuk dibunuh) karena penganut Ahmadiyah meyakini pendiri gerakan itu disebut sebagai nabi atau Mesias yang dijanjikan.
Saat ini Ahmadiyah terus berjuang di setiap hari keberadaan mereka di Pakistan. "Apa yang kita butuhkan adalah harus diperlakukan sebagai warga negara sama negara. Saya ragu bahwa hal tersebut akan terjadi,” kata Saleemuddin, juru bicara masyarakat. (hindustantimes.com)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Lima Rafflesia Tuan Mudae Mekar di Agam
LUBUK BASUNG, SATUHARAPAN.COM - Resor Konservasi Wilayah II Maninjau Balai Konservasi Sumber Daya Al...