Dunia Dalam Krisis Perdamaian
SATUHARAPAN.COM – Konflik bersenjata yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara dan Tengah telah menjadi masalah yang serius secara global. Akibat konflik ini tidak lagi terbatas pada negara di mana para pihak terus saling membunuh dengan senjata yang semakin mematikan, melainkan telah menyeberang ke negara lain melalui gelombang pengungsi yang makin besar.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencatat pengungsian kali ini telah melampaui angka yang terjadi pada perang dunia kedua pada delapan dekade lalu. Sebagian besar pengungsi berasal dari negara Timur Tengah dan Afrika Utara, serta Tengah yang dilanda konflik bersenjata di dalam negeri mereka, terutama dari Suriah, Afganistan, dan Irak, serta Somalia, Nigeria, Sudan,Eritrea dan Libya.
Suriah telah menjadi negara dengan penyumbang pengungsi terbesar, sekitar 13 juta orang dari sekitar 60 juta pengungsi di Seluruh dunia yang tercatat hingga pertengahan tahun ini. Pengungsi dari Suriah bahkan menyebar hingga 100 negara.
Situasi yang berat dihadapi negara tetangga Suriah, yaitu Lebanon, Irak, Yordania dan Turki. Di Lebanon, seperempat dari jumlah orang di negara itu adalah pengungsi. Badan PBB untuk Pengungsi, UNHCR, menyebutkan, di Lebanon terdapat 257 pengungsi untuk setiap 1.000 penduduk.
Menuju Eropa
Sebagian pengungsi itu sekarang melihat Uni Eropa sebagai tujuan untuk menyelamatkan diri dari konflik di negaranya dan membangun kehidupan baru. Mereka menempuh perjalanan laut yang berbahaya.
Namun situasi ini menjadi krisis baru bagi Uni Eropa. Swedia, misalnya telah menampung sebagian pengungsi, sehingga di negara itu terdapat 12 pengungsi untuk setiap 1.000 penduduknya. Sekitar 60.000 warga Suriah telah mengajukan aplikasi suaka ke negara Uni Eropa, terutama Jerman dan Swedia.
Arus manusia yang bermigrasi menggunakan perahu ke Eropa telah melonjak. Catatan selama enam bulan pertama tahun ini sudah mencapai lebih dari 100.000. Situasi ini tergambar dari kondisi kota Calais, kota pantai di wilayah Prancis yang dipenuhi oleh para imigran hingga mencapai 3.000 orang pada Agustus ini. Mereka tinggal di tenda-tenda, dalam kondisi hidup yang memprihatinkan.
Arus besar imigran ke Uni Eropa ini telah menjadi krisis yang serius, karena akan menjadi masalah ekonomi, dan juga berdampak pada masalah sosial, bahkan masalah keamanan. Aksi penolakan pada para migran juga muncul, bahkan diwarnai sentimen sektarian.
Situasi yang mirip juga terjadi di Asia Tenggara, terutama imigran dari Bangladesh dan Rohingya di Myanmar yang mencoba mencapai Australia dengan kapal yang rapuh. Dalam kasus belakangan telah menunjukkan arus pengungsi ini juga melibatkan perdagangan manusia.
Akibat Konflik
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa arus pengungsi ini terjadi akibat konflik di negara asal pengungsi. PBB menyebutkan pengungsian ini terjadi akibat 15 konflik bersenjata di Afrika Tengah dan Utara, dan Timur Tengah. Di sisi lain konflik-konflik di wilayah itu sangat kuat diwarnai oleh konflik sektarian, perbedaan agama dan etnis, sekalipun masalah utamanya pada perebutan kekuasaan.
Sayangnya, upaya-upaya perdamaian yang selalu diserukan dari berbagai kekuatan dunia tidak juga mendorong para pihak untuk meletakkan senjata dan memulai perundingan. Konflik di Somalia, Nigeria, Sudan, Suriah, Irak dan Yaman belum menunjukkan tanda-tanda ke arah penyelesaian secara damai. Sebaliknya, setiap hari berita dari negara-negara itu dipenuhi oleh pertempuran dan kematian.
Damai dengan Cara Damai
Menghadapi situasi ini, kita bisa menyebutkan bahwa dunia telah gagal menemukan solusi damai bagai konflik bersenjata yang mematikan itu, dan memalukan bagi PBB. Dan dengan sedih kita menyaksikan negara-negara kuat terus menggunakan senjata mendukung satu pihak sebagai pilihan untuk menyelesaikan konflik dengan mengalahkan pihak lain.
Namun di sisi lain, para pihak yang terlibat konflik di negara-negara itu, juga hampir tidak tersentuh nuraninya untuk meletakkan senjata dan duduk di ruang perundingan. Penderitaan saudara mereka yang menjadi korban dan harus mengungsi, bahkan tidak didengarkan.
Kebencian sektarian tampaknya telah menjadikan konflik bersenjata yang berakar pada perebutan kekuasaan itu berkembang menjadi konflik yang sepertinya tak mempunyai solusi. Jangankan membangun demokrasi untuk mencegah konflik, perundingan bahkan belum dilihat sebagai jalan yang pantas dipilih, dan upaya ini terus menerus gagal.
Situasi dunia dewasa ini tampaknya kembali dalam bahaya besar, karena didorong ke arah persaingan kekuatan seperti pada masa perang dingin. Kekuatan senjata secara naif tengah dijadikan cara untuk membangun perdamaian, dan teknologi senjata terus menjadi semakin mematikan. Dan konflik yang terjadi di negara-negara tersebut dicoba untuk di sebarkan ke berbagai negara melalui sentimen sektarian. Sementara yang kita perlukan dan bisa membuatnya terjadi adalah perdamaian yang dibangun dengan cara-cara damai.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...