Kemerdekaan: Jembatan (atau) Emas?
SATUHARAPAN.COM – Setiap tanggal 17 Agustus selalu diselenggarakan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan. Rumah, kantor, dan berbagai tempat dihias indah, berbagai lomba dan pentas budaya diselenggarakan. Warna merah dan putih begitu dominan dalam pemandangan di seluruh wilayah Indonesia.
Kemerdekaan yang diraih dengan perjuangan memang sepatutnya diperingati dan disyukuri, dan pemaknaannya perlu ditegaskan jauh lebih dalam dan luas dari sekadar memasang hiasan dan gemerlap lampu, menyelenggarakan lomba dan upacara bendera.
Setiap 17 Agustus semestinya menjadi momentum untuk penegasan kembali makna kemerdekaan yang diraih bangsa ini. Peringatan ini semestinya menjadi energi baru untuk lebih serius mencapai tujuan yang hendak dicapai melalui kehidupan bangsa yang merdeka.
Dalam sebuh pidato di Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno menggambarkan kemerdekaan sebagai jembatan emas. Dia mengatakan, ‘’Di seberang jembatan, jembatan emas inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.’’ Dan situasi kita sekarang memerlukan kemauan untuk memaknai kemerdekaan ini sebagai jembatan emas.
Ruang Keleluasaan
Kemerdekaan adalah jembatan yang mengantar kepada ruang keleluasaan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya. Kata ''emas'' mencerminkan bertapa berharganya kemerdekaan itu, tetapi yang hahiki adalah fungsinya sebagai jembatan. Oleh karena itu, momentum ini juga penting untuk dibawa kepada perenungan apakah ruang keleluasaan ini telah digunakan untuk semata-mata mewujudkan bangsa yang bermartabat, adil dan sejahtera?
Setelah 70 tahun ruang keleluasaan ini dinikmati bangsa Indonesia, ternyata kita masih menghadapi banyak hal yang memilukan. Dalam bidang ekonomi, kita masih menyaksikan 28 juta warga yang masih hidup dalam kemiskinan, seperti disebutkan oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2013. Gap si kaya dan si miskin semakin lebar, sementara bagi yang lain ruang keleluasaan kemerdekaan dijadikan kesempatan untuk korupsi dan melakukan kejahatan.
Dalam bidang hukum, kita masih menyaksikan ada orang-orang yang tidak mendapatkan keadilan, masih ada yang diperlakukan secara berbeda di depan hukum. Di dalam ruang keleluasaan kemerdekaan, masih banyak yang merasakan terhimpit dalam keadilan dan hukum, serta diskriminasi. Ini terjadi, karena ada yang mejadikan ruang keleluasaan hanya untuk golongannya, dan berakibat merampas ruang keleluasaan golongan lain.
Dalam kehidupan sosial, kita masih menyaksikan diskriminasi, kesenjangan yang masih lebar antara pusat dan daerah. Kita menyaksikan banyak daerah, seperti Papua dianggap pinggiran, dan masih terlalu sedikit mendapatkan perhatian. Selain itu, golongan tertentu dalam bangsa ini mendapat ruang keleluasaan melampaui yang semestinya, sehingga merampas ruang keleluasaan kelompok lain.
Dalam politik, ruang keleluasaan belum sepenuhnya digunakan untuk membangun budaya demokrasi dan politik yang beretika. Parlemen belum mencerminkan dinamika rakyat, dan sering jauh dari kepentingan rakyat. Birokrasi belum sepenuhnya menunjukkan wajah pelayanan publik, bahkan sering bertindak seperti aparat kolonial yang mengeksploitasi rakyat untuk kepentingan pribadi.
Jembatan Emas
Situasi itu menunjukkan bahwa ruang keleluasaan yang diciptakan oleh jembatan emas kemerdekaan belum digunakan dengan sepenuhnya sebagai momentum emas. Perampasan ruang keleluasaan oleh penjajah, masih dipraktikkan oleh pihak-pihak dalam bangsa kita sendiri.
Bung Karno menyebut kemerdekaan sebagai jembatan emas. Dan sampai di usia 70 tahun ini memang harus juga diakui banyak hal yang telah diraih oleh bangsa ini dalam berbagai hal, yang sangat mungkin tidak didapat ketika kehidupan bangsa masih di bawah tekanan penjajahan. Tentang hal ini, kemerdekaan patut disyukuri secara mendalam. Kemerdekaan adalah kesempatan untuk hidup bermartabat mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera, seperti dicita-citaan dalam Pancasila.
Namun dewasa ini kita masih menyaksikan adanya pihak-pihak yang mempersempit ruang keleluasaan ini bagi pihak lain. Ada yang lebih melihat kemerdekaan dan mengambilnya sebagai ‘’emas’’ untuk dirinya, ketimbang fungsinya sebagai ‘’jembatan.’’ Hal ini yang menimbulkan masalah di mana ruang keleluasaan masih belum didapat oleh sebagian bangsa ini.
Dan ini adalah ancaman yang serius bagi Indonesia yang ingin merdeka dan bernegara bukan untuk 70 tahun atau 10 windu, tetapi untuk selamanya. Ruang keleluasaan untuk menjadi bangsa pancasilais tidak boleh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh warga bangsa sendiri yang berperilaku seperti penjajah. Merdeka!
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...