Duta Bahasa: dari MEA sampai Kaidah Bahasa
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Apsari Rara Nastiti, perwakilan Duta Bahasa Provinsi DKI Jakarta, yang berhasil melenggang di tingkat nasional, mengungkapkan pikiran-pikirannya mengenai Hari Sumpah Pemuda.
Dalam benaknya, Peristiwa Sumpah Pemuda, yang diperingati setiap tahun di penghujung Oktober, adalah sarana refleksi bagi generasi penerusnya.
"Ini harus jadi renungan buat kita bahwa zaman dulu Indonesia sudah dipersatukan dengan semangat gotong royong," ujar Rara saat dihubungi satuharapan.com beberapa waktu lalu.
Tantangan yang dihadapi para tokoh pemuda pada era 1928 itu tentu tak sama dengan era milenium seperti saat ini. Mahasiswa program pascasarjana Manajemen, Universitas Indonesia, ini mengaku tantangan yang dihadapi generasi muda pada eranya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
MEA kini telah di depan mata. Untuk itu, bangsa memang tengah dihadapkan dengan upayanya bertahan, utamanya di sektor ekonomi. MEA, ujar Rara, merupakan ancaman bagi pemuda yang belum siap, tapi justru menjadi peluang mengepakkan sayap.
"Kita sedang memasuki MEA. Kita pasti bisa menghadapinya. Indonesia ini punya bonus demografi, yaitu banyaknya jumlah pemuda dan orang-orang usia produktif itu justru jadi kelebihan buat kita," ucapnya.
Terlebih, saat ini, pemerintah tengah gencar menawarkan beasiswa bagi siswa-siswa beprestasi. Bila kesempatan mengenyam pendidikan secara gratis itu tak dimanfaatkan, tak urung kondisi pendidikan generasi muda Tanah Air hanya akan jalan di tempat.
Sebelah Mata
Selain berfokus pada MEA, Rara juga menaruh perhatiannya terhadap situasi kebahasaan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional nampaknya kian dipandang sebelah mata, justru oleh penuturnya sendiri. Penyebabnya, banyak orang merasa derajatnya lebih tinggi dan lebih prestisius bila berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Padahal menggunakan kaidah bahasa nasionalnya saja masih belum sempurna.
Berjuang di sektor ekonomi memang penting. Namun memelihara bahasa sebagai identitas negara juga tak kalah penting.
Rara mencontohkannya pada penggunaan frasa atau kalimat-kalimat seruan di sejumlah ruang publik.
"Ada standar yang ditetapkan pemerintah. Misalnya untuk menyebut tempat fotokopi dan lain-lain. Menyebutnya saja kita masih tak seragam. Misalnya lagi, peraturan parkir. Ada yang menulis 'dilarang parkir", ada pula yang menulis 'bebas parkir'," kata Rara.
Kesalahan kaidah pemakaian bahasa itu menimbulkan makna yang berbeda. Sialnya, masyarakat terbiasa terjebak dengan penggunaan kaidah yang salah. Kesalahan terkait dengan kaidah itu pun akan terus-menerus mengakar.
"Perlu diterapkan melalui dari diri sendiri, yaitu kita menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar. Setidaknya dalam percakapan sehari-hati. Tergantung kapan kita bicara dan dengan siapa kita bicara. Bicara dengan teman berbeda dengan saat aku bicara dengan dosen," tutur perempuan yang pernah menjadi None Kepulauan Seribu ini.
Peristiwa Sumpah Pemuda tak terlepas dari ikrar pemuda untuk berbahasa satu, yakni bahasa Indonesia. Dengan semangat ini pula, Rara mengimbau anak-anak muda seusianya untuk bangga menuturkan bahasa Ibu Pertiwi.
"Aku percaya bahasa indonesia bisa menjadi bahasa internasional," kata dia.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...