Efek Jokowi dalam Pemilihan Pemimpin
SATUHARAPAN.COM – Pemilihan presiden 2014 menunjukkan fenomena baru bagi demokrasi di Indonesia, khususnya dengan tampil dan kemenangan yang diraih Joko Widodo sebagai presiden Indonesia periode 2014 – 2019. Hal ini diharapkan menjadi awal bagi budaya organisasi partai politik, demokrasi dan proses memilih pemimpin.
Hanya yang disayangkan adalah bahwa pada bagian akhir proses ini keluar pernyataan dari capres Prabowo Subianto dan Koalisi Merah Putih yang mendukungnya, yang menyatakan menarik diri dari proses selanjutnya dari pilpres ini. Sikap ini memang membuat ada hal yang kurang dari pemilu ini, meskipun tidak cukup kuat untuk menghilangkan sahnya hasil pemilu.
Oleh karena itu, pemilihan presiden ini tetap pantas dicatat untuk proses pendewasaan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi, terutama karena ada fenomena yang menarik yang diharapkan akan memandu arah perkembangan demokrasi di Indonesia.
Dari Antara Kita (Rakyat Biasa)
Jokowi tampil sebagai pemimpin yang berangkat dari rakyat biasa yang dari sisi kekayaan dan kekerabatan mencerminkan kebanyakan dari rakyat Indonesia. Proses demokrasi yang dijalankan memberi peluang bagi dia untuk menjadi pemimpin bukan karena asal usul, dan harta yang menjadikannya bisa membeli suara. Dia terpilih menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan kemudian Presiden Republik Indonesia, karena cara dia berelasi dengan rakyat.
Hal ini memberi kesadaran baru bagi bangsa Indonesia bahwa untuk menjadi pemimpin adalah peluang yang terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu bukan hanya untuk mereka yang berada pada lingkaran elite, karena kekayaan atau kekerabatan. Menjadi pemimpin untuk tidak bergantung kepada uang yang berkonotasi kemampuan membeli suara, atau bergantung pada citra dan popularitas orang lain.
Tampilnya Jokowi mencerminkan pemimpin yang berangkat dari tengah-tengah rakyat, yang paham dan bisa merasakan apa yang dialami rakyat, dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Pemimpin yang muncul dari relasinya yang dekat dengan rakyat. Semangat ini yang juga oleh Jokowi dijadikan sebagai “tagline” dalam kampanye. Hal ini diharapkan dengan tegas akan tetap tercermin dalam kepemimpinannya.
Bukan Warisan
Jokowi juga masuk dalam proses politik tanpa harus masuk dalam struktur organisasi partai politik. Dia kader PDI Perjuangan yang “memenangi” kompetisi internal untuk menjadi calon pemimpin, karena partainya tidak bisa mengabaikan suara rakyat yang memintanya. Dia muncul di tengah tradisi partai politik yang berlangsung selama ini di mana pemimpin yang diajukan selalu dari mereka yang berada dalam stuktur organisasi.
Selama ini kandidat untuk menduduki jabatan penting hampir selalu datang dari mereka yang ada dalam struktur, dan mereka yang di luar struktur nyaris tidak memiliki peluang. Hal ini memberi efek penting bahwa partai politik harus mengembangkan tradisi mencari kader yang berkualitas yang dipersiapkan untuk tugas dalam kepemimpinan, tanpa harus menduduki jabatan dalam struktur partai.
Fenomena ini memberi bukti bahwa parpol bisa berkembang sebagai institusi pencari calon pemimpin, dan menyiapkan calon pemimpin yang “sehati” dengan rakyat, dan tidak harus disibukkan oleh urusan internal partai. Jika trandisi ini bisa berkembang, konflik internal partai yang selama ini terjadi bisa diatasi dengan membangun budaya organisasi yang akuntabel.
Jika tradisi ini dikembangkan oleh partai politik, maka akan muncul kompetisi yang lebih fair yang didasarkan pada kapasitas dan kredibilitas. Yang pada gilirannya akan mengatasi kerisauian selama ini tentang krisis kepemimpinan. Apalagi selama ini dalam partai politik persaingan terjadi melalui transasksi politik uang, dan tradisi “warisan.” Banyak yang duduk di partai tidak mencerminkan kapasitas dan kredibilitas, melainkan lebih karena “garis darah” yang membuat warga negara “biasa” yang berpotensi tidak mendapatkan pintu untuk terlibat dalam partai politik.
Sekarang partai politik ditantang untuk mengembangkan efek Jokowi ini dalam menjaring kader-kader dari warga bangsa yang terbaik, dan bukan melihat dia anak siapa, dan berapa banyak kekayaannya. Kita berharap kepemimpinan Jokowi juga membangun budaya ini dalam pemerintahan dan birokrasi.
Dukungan Rakyat
Fenomena pada Jokowi, yang juga terjadi ketika pemilihan Gubernur DKI Jakarta, adalah kekuatan dukungan rakyat. Mereka dengan suka rela menjadi bagian tim untuk kampanye dan menjelaskan visi misi kepada rakyat. Kinerja dan gerakan relawan ini bahkan melebihi mesin partai. Dan ada hal yang menarik bahwa mereka disebut sebagai relawan” karena bukan hanya bekerja dengan rela, tetapi kadang-kadang juga “melawan”. Hal ini mencerminkan dukungan dari kekuatan rakyat yang dilakukan dengan kritis.
Sumbangan rakyat untuk kampanye Jokowi juga mencerminkan fenomena penting yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sekitar Rp 312 miliar dana kampanye datang dari rakyat yang sebanyak 75 persen lebih penyumbang memberikan uang sebesar Rp 100.000 atau lebih kecil. Ini mencerminkan bahwa penyumbang itu bukan kalangan elite yang mempunyai interes politik yang sering justru menyebabkan lemahnya pemimpin karena dia hanya akan menjadi kuda tunggangan bagi kepentingan lain.
Fenomena Jokowi bisa menjadi bukti konkret bagi partai yang bisa berkembang dengan dukungan rakyat. Selama ini partai mengandalkan sumber pendanaan dari sumbangan yang berasal dari sekelompok kalangan elite yang kuat dengan kepentingan. Bahkan beberapa kasus korupsi menunjukkan bahwa elite partai mengumpulkan dana dengan cara-cara yang etidak etis.
Tantangan bagi partai mengembangkan budaya ini adalah kesediaan menyediakan ruang bagi kader yang diterima rakyat, yang dekat dengan rakyat, dan sehati dengan rakyat, sehingga rakyat akan menjadi kekuatan kader tersebut, termasuk dalam pendanaan. Fenomena ini jika berkembang akan bisa mengatasi masalah pemilu yang mahal yang diwarnai oleh transaksi dan politik uang. Pendukung partai akan menjadi kekuatan pendanaan partai sejauh partai bisa menyediakan kader berkualitas yang sehati dengan rakyat.
Kontrol Rakyat
Fenomena lain dari efek Jokowi ini adalah partisipasi rakyat. Mereka bukanlah bagian dari relawan, melainkan warga masyarakat yang dengan suka rela mengawal pemilihan umum ini agar berjalan dengan fair, jujur dan adil. Hal ini tampak sekali dengan tampilnya partisipasi rakyat untuk menggunakan hak pilih.
Hal yang paling penting, rakyat secara suka rela mengawal TPS dalam penghitungan suara, dan mendokumentasikannya dengan membuat catatan dan mengambil gambar atau video dengan kamera, serta mempublikasikannya melalui media sosial.
Rakyat yang di luar relawan kandidat juga bergerak untuk terus memantau penghitungan suara di semua tingkatan. Mereka mendokumentasikannya dan mengecek dengan hasil resmi atau hasil hitung oleh lembaga lain. Semangatnya tetap untuk mengawal pemilu ini fair, jujur dan adil.
Keterlibatan rakyat untuk menjadi kekuatan pengawasan ini jauh lebih efektif ketimbang lembaga resminya (Bawaslu), dan merupakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelumnya sering warga tidak lagi penduli dengan proses pemilu sesudah menggunakan hak pilih. Bahkan tingkat partisipasdi sekitar 75 persen merupakan angka yang sangat baik.
Hal ini memberikan pembelajaran bahwa kontrol rakyat adalah kekuatan yang besar, yang harus terus ditumbuhkan. Kekuatan kontrol rakyat ini akan mencegah anasir jahat yang akan mencederai demokrasi kita yang sedang tumbuh. Dengan kata lain ini peringatan untuk tidak main-main dengan kotrol oleh rakyat. Sekaligus ini mengingatkan Jokowi dan Jusuf Kalla untuk mengingat mandat itu dari rakyat dan pemilihan ini dikawal rakyat. Jangan sampai kekuatan rakyat berbalik melawan mereka, karena dikhianati.
Rekam Jejak
Joko Widodo termasuk kandidat yang mendapatkan serangan yang luar biasa besar, bahkan dengan kampanye hitam dan fitnah. Munculnya tabloid “Obor Rakyat” yang mendiskreditkan Jokowi tanpa dasar fakta adalah contoh yang paling vulgar atas serangan terhadap Jokowi.
Selain itu, dia dijadikan target untuk kampanye yang benar-benar di luar kewajaran, ketika disebutkan sebagai orang “kafir”, sebagai orang keturunan China dari Singapura, atau dia disebut sebagai berasal dari keluarga partai terlarang (PKI / Partai Komunis Indonesia). Belum lagi praktik politik identitas yang mendiskreditan sesorang atas dasar keyakinan dan suku atas ras, dengan mengabaikan kapasitas dan integritas.
Namun hasil pilpres menunjukkan bahwa kampanye hitam itu tidak sepenuhnya efektif. Memang kampanye itu mempengaruhi sebagian pemilih yang berkacamata kuda, namun lebih banyak rakyat yang cukup memiliki wawasan informasi sehingga mampu memilah dan memilih informasi yang kredibel.
Di sisi lain adalah rekam jejak Jokowi yang tidak memberika celah untuk menjadi target kampanye negatif. Sementara ada kandidat lain yang dalam rekam jejak masa lalu terbuka lebar untuk disorot secara negatif, namun kesulitan untuk mengelaknya.
Masalah rekam jejak ini memberikan pembelajaran yang penting, dan menjadi hal yang umum dalam jenjang kepemimpinan, bahwa menjadi pemimpin membutuhkan rekam jejak yang baik yang menyangkut kredibilitas dan integritas. Menjadi pemimpin bukan sekadar karena mampu menjadi pimpinan partai atau memiliki dana. Gerenasi muda yang ingin menjadi pemimpin, haruslah mulai membangun rekam jejak yang baik, bahkan mengesankan. Ini juga mengingatkan Jokowi untuk menjaga integritas yang telah dibangun selama ini dengan mengemban amanat rakyat.
Fenomena-fenomena itu diharapkan memberi hikmah dan mennjadi bagian pendewasaan demokrasi bagi bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita keadilan dan kesejahteraan.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...