Ekonom AS Menilai Reformasi Jokowi Berjalan Sangat Lambat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -Setelah sempat menggantungkan harapan sangat tinggi pada pemerintahan baru dibawah Presiden Joko Widodo, ekonom dan analis internasional kini mulai ragu atas masa depan reformasi ekonomi Jokowi.
Dalam sebuah laporan berjudul "Pemangkasan Harapan" yang dirilis pada hari Rabu (8/4), Bank of America Merrill Lynch memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5,5 persen tahun ini, dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,7 persen.
Bank yang berbasis di AS juga memotong proyeksi pertumbuhan 2016 menjadi 5,7 persen dari 6 persen sebelumnya, sebagai akibat dari lambatnya kemajuan realisasi investasi infrastruktur.
"Investasi infrastruktur telah berkurang selama dekade terakhir dan seharusnya pulih di bawah pemerintahan Presiden Jokowi," kata Chua Hak Bin, ekonom Bank of America Merrill Lynch.
"Tapi kemajuannya lambat sejauh ini, sebagian karena proses yang kompleks pembebasan lahan, kapasitas pelaksanaan yang lemah dan miskinnya koordinasi antarlembaga," kata dia, sebagaimana dilansir oleh The Jakarta Post dalam laporannya hari ini (9/4).
Jokowi dalam agenda ekonominya yang menekankan pertumbuhan, mengandalkan rencana belanja infrastruktur yang ambisius, dengan mengalokasikan sekitar Rp 290 triliun belanja modal (capital expenditure/capex) dalam APBN 2015, naik dari Rp 190 triliun pada tahun lalu.
Namun, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pencairan anggaran masih lamban, seperti tahun-tahun sebelumnya. Padahal, Jokowi telah menginstruksikan agar tender proyek pemerintah sudah dimulai bulan Maret, bukan pada bulan Juni sebagaimana biasa.
Pada kuartal pertama tahun ini, pemerintah mengucurkan hanya 18,5 persen dari total belanja negara sebesar Rp 1.980 triliun. Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan, yang bertanggung jawab untuk proyek-proyek infrastruktur, baru merealisasikan 3 persen dari anggarannya pada akhir Maret.
Menurut Chua, pemerintah Jokowi tampaknya kini menghadapi alokasi belanja yang sangat rendah.
"Kekhawatiran kami adalah potensi pemotongan pengeluaran sebesar Rp 100 triliun akan terjadi, sebagian besar dalam bentuk potongan atau keterlambatan dalam belanja modal," komentar Reza Siregar, ekonom Goldman Sachs, bank investasi yang berbasis di AS.
Reza juga mencatat bahwa ada "pertanyaan tentang nasib target utama yang baru direvisi anggaran 2015." Ia pun memperingatkan kemungkinan terjadinya pembengkakan defisit fiskal sebagai akibat dari target penerimaan yang tidak realistis.
Jokowi menargetkan penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 1.480 triliun, meningkat 30 persen dari tahun sebelumnya.
Menurut Goldman Sachs, ini merupakan target yang terlalu optimis dan meramalkan bahwa pertumbuhan maksimum penerimaan pajak tahun ini hanya 15 persen.
Kemajuan reformasi ekonomi Jokowi itu juga dicermati oleh lembaga pemeringkat Standard and Poor (S & P), yang tahun ini kembali tidak bersedia meng-upgrade peringkat kredit Indonesia.
Minggu ini, eksekutif S & P bertemu analis lokal dan perwakilan media di Jakarta dan mengumumkan keputusan lembaga pemeringkat itu untuk mempertahankan peringkat Indonesia di BB +, atau satu tingkat di bawah status investment grade.
"S & P melihat risiko yang cukup besar. Ia melihat munculnya kebijakan bisnis yang kurang bersahabat dan berpotensi meniadakan reformasi subsidi BBM," Analis Mandiri Sekuritas, Aldian Taloputra dan Leo Rinaldy, menulis dalam sebuah catatan kepada klien. Mereka berdua menghadiri pertemuan dengan S & P.
"S & P ingin melihat apakah pemerintah konsisten di jalur reformasi apabila tekanan eksternal maupun internal, termasuk tekanan politik, bertambah intensif," kata mereka.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...