Ekonom UGM: Jokowi Presiden Paling Beruntung
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Anthonius Tony Prasetiantono, mengatakan Presiden Joko Widodo adalah presiden paling beruntung bila dibandingkan dengan presiden-presiden pendahulunya.
“Beliau paling beruntung karena di masa jabatan beliau harga minyak dunia turun lebih dari 50 persen. Tidak ada sejarahnya harga minyak jatuh sampai sebegitu besar. Tidak ada presiden yang seberuntung beliau. Karena itu kita ingatkan, kalau beliau tidak perform, kebangetan,” kata Tony, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Megawati Institute Selasa (11/3).
Dalam diskusi bertema "Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Tahun 2019: Mimpi atau Kenyataan?" yang dipandu oleh Direktur Megawati Institute, Helmy Fauzi itu, dibahas tentang target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), yang oleh sementara kalangan dinilai terlalu ambisius.
Bappenas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 7 persen, tahun 2018 sebesar 7,5 persen dan tahun 2019 sebesar 8 persen. Padahal, pertumbuhan ekonomi dunia cenderung menurun. Indonesia sendiri dalam 10 tahun terakhir hanya mencatat pertumbuhan rata-rata 5,8 persen.
Tony Prasetiantono menilai target itu masih masuk akal meskipun tidak mudah. Menurut dia pertumbuhan ekonomi 8 persen masih mungkin dicapai. Sedangkan, “Kalau targetnya diturunkan jadi 7 persen (pada 2019), nanti kabinetnya dinilai terlalu manja, tidak bekerja, karena di masa Presiden Soeharto kita pernah mencapai level itu,” kata Tony.
Tony antara lain memuji keberanian Jokowi dalam menaikkan harga bahan bakar minyak dan menghapus subsidi. Kebijakan itu telah menciptakan ruang fiskal yang luas bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur.
Dia akui, banyak yang mempertanyakan mengapa Jokowi pada November lalu menaikkan harga BBM di tengah tren penurunan harga minyak dunia. Tetapi Tony justru menilai keputusan Jokowi tepat.
“Sebelum ini tidak ada ceritanya harga minyak tidak rebound jika sudah berada di US$80 per barel. Bisa dilihat juga bahwa di antara negara-negara produsen minyak, tidak ada yang mengasumsikan harga minyak di bawah US$100 per barel. Itu alasan mengapa Jokowi menaikkan harga BBM, karena ketika itu harga minyak dunia diperkirakan akan rebound,” kata dia.
Selain itu, Tony menambahkan, keuangan pemerintah hingga Oktober tahun lalu sudah dapat diibaratkan terengah-engah menanggung beban subsidi BBM yang terus meningkat. Jumlah subsidi total pada saat itu Rp 350 triliun dan kalau terus dibiarkan bisa melesat menjadi Rp 370 triliun.
“Seharusnya Presiden SBY yang menaikkan harga BBM tetapi akhirnya Pak Jokowi yang berani mengambil keputusan,” tutur dia.
Selanjutnya, menurut Tony, faktor ditemukannya shale oil oleh Amerika Serikat sangat mempengaruhi konstelasi minyak dunia. Shale oil, yang merupakan minyak yang berasal dari bebatuan yang apabila dipanaskan sampai 700 derajat fahrenheit dapat diolah menjadi minyak, telah membuat AS menjadi negara produsen minyak dengan cadangan terbesar di dunia. Cadangan shale oil AS saat ini diperkirakan mencapai satu triliun barel. Bandingkan dengan Arab Saudi yang 270 miliar barel, Venezuela 300 miliar barel dan Indonesia yang cuma 3,7 miliar barel.
Hal inilah yang turut memicu penurunan harga minyak dunia, yang selanjutnya membuat Tony menilai Jokowi presiden yang beruntung. Dengan adanya subsidi BBM yang akan dialihkan membangun infrastruktur dan berbagai program lain, menurut Tony, Indonesia kini memiliki mesin pertumbuhan (engine of growth) yang baru.
“Kuncinya adalah bagaimana pembangunan infrastruktur ini dapat memicu pertumbuhan. Saya kira ide Pak Jokowi membangun bendungan itu merupakan hal yang genuine. Kita selama ini membayangkan infrastruktur itu hanya pelabuhan, bandara, jalan tol. Tetapi bendungan juga,” tutur dia.
Satu hal yang tampaknya belum tersentuh oleh Jokowi, menurut Tony, adalah masalah kependudukan. Pertumbuhan penduduk Indonesia dewasa ini, menurut data BKKBN, rata-rata 1,4 persen per tahun. Indonesia penyumbang jumlah penduduk terbesar keempat setelah Tiongkok, India, dan AS. Dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 321 juta jiwa pada tahun 2025 bila tidak ada kebijakan pengendalian.
Padahal di sisi lain, kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia, Indonesia berada di urutan 124 dari 182 negara di dunia.
Tony menilai, kebijakan pengendalian penduduk pasca-Soeharto agak kendor. Ia membandingkan dengan Tiongkok yang demikian disiplin dalam menjalankan kebijakan kependudukan dengan pembatasan kelahiran. Ia mengingatkan bagaimana kuat dan populernya Ketua Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) di era Soeharto, Haryono Suyono, sehingga Keluarga Berencana menjadi gerakan yang masif.
“Kalau tidak peduli pada masalah kependudukan, Jokowi bisa kalah dengan Soeharto. Jadi seharusnya anggaran untuk program kependudukan diperbanyak,” tutur Tony.
Selain Anthonius Tony Prasetiantono, turut menjadi pembicara dalam diskusi tersebut ekonom dari InterCafe IPB, Iman Sugema dan ekonom dari Universitas Katolik Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko. Di antara hadirin, tampak Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sri Adiningsih, politisi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno, serta pengamat ekonomi Christianto Wibisono.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...