Ekslusi: Anak Perambah Dilarang Sekolah
SATUHARAPAN.COM – Anak Perambah Dilarang Sekolah! Judul tulisan ini hendak menggambarkan bagaimana ratusan anak Moro-moro, Hutan Register 45 harus berjuang untuk sekadar mendapatkan pendidikan. Ironis memang, setelah 70 tahun Indonesia Merdeka, ternyata masih ada anak-anak yang harus berjuang untuk sekadar mendapatkan akses pendidikan, maupun kesehatan. Padahal di kota-kota besar orang sudah meributkan fasilitas sekolah mulai dari UPS hingga USB, ups.
Alkisah, sekolah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat dan telah berdiri sejak tahun 2000, tiba-tiba terancam “ditutup” karena persoalan izin administrasi pengindukan sekolah. Pasalnya Pemerintah Kabupaten Mesuji (kabupaten baru hasil pemekaran) menolak memberikan izin pengindukan kelas jauh seperti yang telah berjalan sebelumnya. Pemkab Mesuji juga meminta masyarakat meminta izin kepada Kementerian Kehutanan terkait keberadaan sekolah tersebut. Tinggal di wilayah konflik agraria memang penuh kerentanan, tak hanya akses pendidikan, beragam akses yang notabene adalah hak konstitusional pun ikut terhambat.
Baca juga: |
Di sisi lain masyarakat tetap menginginkan kelas jauh karena jarak terdekat ke sekolah induk mencapai 10-12 Km. Hampir dapat dipastikan ratusan anak di Moro-moro terancam putus sekolah. Pemekaran Kabupaten yang sejatinya ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat ternyata tidak banyak berdampak pada masyarakat Moro-Moro. Apa yang terjadi pada ratusan anak-anak Moro-Moro sesungguhnya memperlihatkan bahwa anak-anak yang hidup di wilayah konflik agraria harus menjadi korban akibat dari konflik yang tak berkesudahan.
Penulis sendiri lebih suka menyebut apa yang menimpa anak-anak Moro-moro sebagai proses ekslusi sosial. Ekslusi sosial adalah proses yang menghalangi atau menghambat individu dan keluarga, kelompok dan kampung dari sumber daya yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat dengan utuh.
Padahal, kita semua memahami bahwa hak atas pendidikan adalah hak konstitusional warga negara di mana “setiap” warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hak untuk mendapatkan pendidikan juga adalah salah satu hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dan dengan demikian juga pada gilirannya menjadi salah satu hak dasar warga negara (citizen’s right).
Secara normatif, Pasal 60 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memperkuat dan memberikan perhatian khusus pada hak anak untuk memperoleh pendidikan. Hal senada juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan demikian pendidikan sejatinya adalah hak dasar (fundamental right) untuk semua anak, bahkan untuk segala situasi apa pun (in all situations) tanpa ada diskriminasi (non discrimination) karena merupakan fondasi pembangunan manusia. Implikasinya, negara menjadi pihak utama yang bertanggung jawab untuk menjaminnya. Bahkan, pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa negara dalam hal ini pemerintah memiliki tanggung jawab memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak telantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
Pada kasus yang menimpa anak-anak Moro-moro menjadi tepat kiranya pendapat Somerville (1998) yang mengatakan bahwa ekslusi adalah sebuah proses penyangkalan hak-hak warga negara. Somerville menjelaskan bahwa proses stigmatisasi, penindasan dan pembatasan melalui kebijakan, dan diskriminasi institusi lainnya membuat individu atau kelompok tereksklusi dari kehidupan sosial, politik, dan budaya.
Ekses Konflik Agraria
Akar masalah yang menimpa ratusan anak di Moro-Moro sesungguhnya adalah ekses dari persoalan akses penguasaan kawasan hutan Register 45 Mesuji yang telah menjadi masalah selama belasan tahun. Stigma perambah yang dilekatkan oleh kekuasaan pada gilirannya menyebabkan pembatasan akses-akses warga negara lainnya.
Label utama yang mengemukakan perihal pandangan pemerintah kabupaten terhadap masyarakat Moro-moro adalah: ilegal! Status ini bukan semata permainan bahasa hukum, namun juga sekaligus mengendalikan perspektif untuk membatasi hak-hak dasar manusia. Satu paket bahasa kemudian dijejalkan kepada mereka, terartikulasi di koran-koran, diperbincangkan, dilegitimasi secara sosial, dikuatkan secara politis. Label ilegal kemudian bersanding dengan kata “perambah”. Paket bahasa itulah yang memberikan pembenaran ingkarnya negara.
John McCharty (2011) dalam The Limits of legality. State, Governance, and Resource Control in Indonesia berujar, “A rigid narrative of ‘illegality’ closes discussion of key issues such as the link between ‘illegal’ practices and the political economy, the distribution of the benefits of resource access, and property rights ”. Penggunaan terminologi “perambah” pada hakikatnya, adalah bagian dari praktik negara untuk menghadirkan prinsip-prinsip legalitas, kemudian menempatkannya secara berlawanan dengan narasi ilegal (illegality narratives) mencakup pelabelan pada suatu kelompok atau perilaku tertentu, yang muncul dan dibedakan dengan kondisi umum.
Meskipun Pemkab Mesuji berkilah dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak berwenang memberikan izin ataupun melarang kegiatan yang ada di wilayah Register 45 karena hal tersebut merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan. Pernyataan itu tampaknya netral, padahal sesungguhnya semua orang paham bahwa pengaturan penyelenggaraan pendidikan berada di bawah kewenangan Dinas Pendidikan setempat, yang notabene adalah bawahan dari Bupati. Sekolah-sekolah yang ada di kawasan Hutan Register 45 bukan baru saja berdiri, tapi sudah berdiri belasan tahun.
Bila Pemkab Mesuji taat terhadap Konstitusi dan Undang-undang bukankah seharusnya pemerintah justru berkewajiban mempermudah anak-anak Moro-Moro, dalam hal ini setidaknya terkait dengan soal keterjangkauan akses pendidikan. Keterjangkauan mengharuskan lembaga dan program pendidikan harus bisa diakses oleh setiap orang, tanpa diskriminasi, di dalam yurisdiksi negara. Bagaimanapun aksesibilitas mempunyai tiga dimensi umum, yaitu non-diskriminatif, aksesibilitas fisik, dan aksesibilitas ekonomi.
Sikap menolak memberikan izin sekolah ini sesungguhnya tidak lain adalah bagian dari upaya ekslusi dari akar masalah yang sesungguhnya. Dengan menghilangkan akses pendidikan, perlahan tapi pasti orang tua yang khawatir akan pendidikan anak-anak mereka diharapkan pergi dari tanah yang memberikan penghidupan mereka. Hal yang harus diingat, ratusan anak-anak di Moro-Moro tak pernah bermimpi dilahirkan oleh dan ataupun sebagai anak “perambah” yang pada gilirannya membuat mereka terdiskriminasi.
Tetapi siapa mau mendengar jeritan mereka?
Penulis aktif di Komunitas Diskusi Cangkir, dan menulis Petisi “Jangan Tutup Sekolah Kami” di Change.org untuk memperjuangkan nasib sekolah anak Moro-moro
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...