KAA dan Nasib Pendidikan Tinggi Kita
SATUHARAPAN.COM – Setelah Konfrensi Asia Afrika (KAA) usai banyak kalangan mulai mewacanakan tentang relevansi dari komunitas bangsa-bangsa Selatan-Selatan ini. Tetapi semua wacana, sejauh saya baca dari berbagai media, berfokus pada soal ekonomi dan politik. Kita dapat memahami hal ini mengingat pembentukan KAA memang sangat terkait dengan soal bagaimana membangun tata ekonomi dan politik pasca Perang Dunia kedua itu. Juga di usia ke-60 ini pun fokus pada tata ekonomi dan politik dunia baru yang harus lebih menghargai harkat dan martabat manusia.
Tetapi perhatian pada soal-soal ekonomi dan politik tanpa memperhatikan soal pendidikan kita terasa belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan masyarakat Indonesia. Pertama, soal ekonomi dan politik tanpa pendidikan yang bermutu dan metode pembelaran yang relevan dengan kebutuhan nyata masyarakat Indonesia, khususnya di daerah-daerah pingiran, maka politik hanya akan menjadi sekedar strategi perebutan kekuasan dan ekonomi pun hanya akan menjadi sekedar beberapa teknik manipulatif untuk mengeksploitasi orang lain. Kedua, sekalipun bukan merupakan fokus langsung KAA, terlihat semangat KAA memiliki relevansi dan siginifikasi serta dampak edukatif terhadap harkat dan martabat komunitas bangsa-bangsa Selatan-Selatan. Itulah sebabnya dalam rangka hari pendidikan nasional yang baru saja kita peringati, saya ingin berbagi pikiran-pikiran pokok untuk mengartikulasi semangat KAA dalam kaitan layanan penidikan tinggi terhadap masyatakat kita di Indonesia, khususnya di daerah-daerah terpencil.
Selama ini kita sering mendengar keluhan bahwa pendidikan tinggi kita hari-hari ini semakin mengalami kemunduran. Sebagai contoh, lihat ketidaksiapan lulusan pendidikan kita memasuki apa yang disebut dengan bonus demografi. Dikatakan bahwa bonus demografi belum tentu akan mengantarkan masyarakat kita menjadi masyarakat yang makin sejahtera secara ekonomi sekiranya pendidikan tinggi kita tidak cukup mempersiapkan sumberdaya manusia Indonesia. Ketidaksiapan mutu pendidikan tinggi kita hanya akan menjadikan rakyat Indonesia koeli di perusuhan-perusahan multinasional dan/atau bangsa-bangsa tentangga. Dan itu berarti mengkhianati semangat edukatif yang tersirat dalam KAA ketika didirikan tahun 1950 itu. Kita tidak berharap demikian, apalagi sebagai negara yang mengawali KAA.
Untuk dapat mencerminkan semangat KAA maka pendidikan tinggi kita harus mampu menjadi pendidikan emansipatoris dan bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang selama ini digenjot. Dunia pendidikan tinggi kita selama ini, dalam hati dan pikiran para pemimpin bangsa ini yang lebih dikendalikan oleh mentalitas pragmatisme murahan, tak ubahnya seperti pabrik tapioka yang memproses umbi-umbian menjadi tepung. Salah satu buah dari pendidikan tinggi pabrikan ialah ketidaksiapan banyak lulusan pendidikan tinggi kita mengembangkan potensi diri secara optimal dalam kehidupan sehari-hari, sehingga cenderung menambah barisan pengangguran dalam masyarakat. Lulusan pendidikan tinggi kita cenderung menderita mentalitas ketergantungan dan sekedar menjadi pencari kerja (job seekers). Malahan kebanyakan lulusan perguruan tinggi pun lebih bermimpi menjadi pegawai negeri sipil, atau bermimpi bekerja di perusahan-perusahan yang telah ada. Jika lowongan untuk itu tidak lagi tersedia maka kita akan menuai pengangguran perguruan tinggi di mana-mana. Apalagi dengan pertumbuhan lulusan perguruan tinggi kita sekarang.
Bangsa ini membutuhkan pendidikan tinggi yang memampukan rakyat Indonesia dapat mengemansipasi diri. Baik orang perorangan maupun secara kolektif. Tidak ada gunanya kita berdebat tentang pilihan orientasi ekonomi kita antara sosialisme dan kapitalisme/ neo-liberalisme jika pendidikan tinggi kita tidak menjadi pendidikan emansipatoris dan/atau pendidikan penyadaran yang mengharagai manusia sebagai subyek yang mandiri, kritis, kreatif-inovatif dalam kehidupan bersama. Pendidikan tinggi sebagai pendidikan emansipatoris bertumpu pada visi eduakatif bahwa pendidikan tinggi bukan sekedar mencetak tenaga kerja sesuai pesanan pasar kerja, melainkan juga proses emansipasi para mahasiswa sehinga dapat menjadi pribadi-pribadi kritis, mandiri, kreatif dan inovatif.
Tentu saja pendidikan tinggi seperti ini membutuhkan desain kurikulum dan strategi pembelajaran yang berbeda dari pendidikan pabrikan seperti telah disinggung tadi. Dalam pendidikan pabrikan, desain kurikulum ditentukan oleh kebijakan pakem secara struktural dari atas ke bawah. Dan strategi pembelajaran pun hanya copypaste dari yang pernah sukses di suatu tempat. Juga ruang belajar selalu cenderung didefinsikan tempat mewah dan mahal. Tidak ada kerativitas dan inovasi. Tidak ada alternatif.
Berbeda dengan pendidikan tinggi sebagai pendidikan emansipatoris. Dalam pendidikan emansipatoris, desain kurikulum lahir dari dalam rahim masyarakat setempat. Juga strategi pembelajaran selalu diperbarui oleh tuntutan konteks peserta belajar. Bukan satu strategi dari Sabang sampai Merauke atau dari Miangas sampai Rote. Ruang belajar pun tidak harus dalam bentuk gedung-gedung mewah pencakar lagit. Sebaliknya ruang belajar dapat berupa gedung-gedung sederhana yang ramah lingkungan dan sosial. Itulah yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang masih hidup di desa-desa dan punya banyak kesulitan membangun fasilitas pendidikan tetapi memiliki hati untuk mengemansipasi diri, seperti sauadara-saudari mereka yang menikmati pendidikan di gedung-degung mahal dan pencakar langit itu.
Tentu saja untuk mewujudkan harapan pendidikan tinggi emansipatoris, terutama bagi masyarakat grass-root di desa-desa terpencil dibutuhkan kerja keras dari penyelenggara pendidikan tinggi. Kami sendiri sedang merintis usaha ini melalui pendidikan tinggi alternatif di Halmahera dengan motto: Kampungku, Kampusku; Kehidupan Sehari-hariku, Perpustakaanku; Kehidupan Sosialku, Ruang Belajarku! Semoga pada waktunya rintisan ini akan memberi sumbangan signifikan terhadap perkembangan sosial ekonomi dan politik di Indonesia.
Penulis adalah Pendeta Gereja Masehi Injili di Halmahera, Pendiri Rumah Pencerahan Halmahera dan Ketua Yayasan Pendidikan Tinggi Alternatif di Halmahera.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...