Eksperimen Karbon Australia di Hutan Indonesia Gagal
SATUHARAPAN.COM - Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) sejak awal tidak dirancang untuk membantu masyarakat setempat, tidak berbuat apa pun untuk menegaskan hak-hak adat masyarakat setempat dan mengembangkan kapasitas untuk pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Demikian siaran pers kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global pada hari Rabu (3/7).
Deddy Ratih, Manager Advokasi Bioregion WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Nasional mengatakan; “AusAID dan KFCP telah gagal untuk mendukung program perlindungan lingkungan yang efektif dan peka terhadap hak-hak masyarakat adat di daerah pedesaan di Kalimantan Tengah. Padahal proyek KFCP di promosikan sebagai sebuah kesempatan untuk memberdayakan masyarakat lokal untuk mengembangkan sumber-sumber kehidupan yang berkelanjutan tanpa merusak hutan dan mengatasi pemicu konversi lahan di Kalimantan.”
"Koalisi masyarakat sipil penyelamat hutan dan iklim global yang selama ini mengadvokasi ketidakadilan dalam penanganan perubahan iklim melalui pelbagai proyek dan skema di Indonesia menyatakan bahwa ini juga bukti paling nyata bahwa semua proyek atas nama apapun, tidak akan sukses tanpa berusaha menyelesaikan persoalan hak atas tanah dan sumber daya alam."
"Lebih dari lima tahun proyek tersebut tidak memberikan hasil yang signifikan bagi lingkungan, bahkan menciptakan konflik di masyarakat adat/lokal dan membuat mereka kebingungan tentang status tanah mereka." Kata Arie Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah.
Lebih jauh, jika dilihat dari tujuan untuk mengurangi emisi tingkat global, tentu pemerintah Australia menerapkan standar ganda. Banyak korporasi Australia yang mengeruk keuntungan dari penghancuran alam Indonesia.
Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktek pengerukan sumber daya alam oleh korporasi Australia tidak sebanding dengan hibah yang diberikan, apalagi tujuan hibah tersebut lebih bersifat politis untuk kepentingan Australia sendiri serta mendorong skema pasar REDD dalam perjanjian perubahan iklim global pasca 2012, bukan untuk kepentingan Indonesia apalagi masyarakat yang hidup di sekitar lokasi proyek KFCP.
Norhadie Karben, masyarakat adat dari desa Mentangai Hulu mengatakan banyak lembaga internasional melakukan kegiatan yang katanya untuk merehabilitasi kawasan eks PLG (Proyek Pengembangan Gambut) sejak tahun 2004. PLG adalah proyek pengembangan gambut seluas 1 juta hektar atau megarice project di masa Orde Baru. Proyek itu mulai membuat masyarakat bingung karena sejak kehadiran proyek itu hak-hak masyarakat mulai dibatasi, akses kedalam hutan maupun hak atas tanah adat masyarakat dibatasi. Hingga di awal tahun 2009 KFCP muncul dan menimbulkan konflik di tingkat masyarakat dan membuat kebingungan atas status tanah adat.
Menurut Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abetnego Tarigan, KFCP memperlihatkan upaya konservasi yang dilakukan, carbon offset, dan skema pasar karbon tidak menangani langsung driver deforestasi dan emisi berbasis lahan. Meskipun Kalimantan menjadi pilot project dalam proyek-proyek forest carbon tetapi di Kalimantan juga berkembang pesat ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, terutama batubara. Hal ini memperlihatkan kelemahan mendasar dari upaya pengurangan emisi deforestasi dan degradasi hutan ini. Penghentian laju ekspansi konversi dan perusakan hutan saat ini oleh Industri-industri berbasis lahan akan mengendalikan perusakan hutan dan memberikan pengakuan tata kelola oleh masyarakat adat dan lokal dalam menjaga dan memelihara hutan dan lingkungan.
Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) dimulai sejak tahun 2008 melalui perjanjian Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership. Inisiatif ini merupakan bagian dari program ambisius untuk menunjukan bahwa forest carbon offset adalah cara tepat mengurangi emisi karbon. Proyek percontohan KFCP dimulai dengan janji-janji besar kegiatan, program, dan kebijakan yang mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan dan hutan di Indonesia dan memberikan insentif mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat.
KFCP pertama kali diumumkan pada tahun 2008 oleh pemerintahan Howard kemudian diteruskan oleh Rudd dan Gillard. Ini merupakan bagian dari komitmen 273 juta dolar (di atas 2 trilyun Rupiah) Pemerintah Australia dalam kemitraan dengan Indonesia untuk menunjukkan bahwa pendekatan berbasis pasar untuk perlindungan hutan dapat dilakukan.â¨
AusAid telah memastikan tidak akan meneruskan percontohan karbon hutan di Kalimantan Tengah senilai 47 juta dolar Australia (hampir 426 milyar Rupiah) tersebut menjelang kunjungan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd ke Indonesia pekan ini.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global merupakan gabungan dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), DebtWatch, individu yang konsern terhadap penyelamatan hutan dan hak masyarakat adat atau lokal dan lain-lain.â¨â¨
Editor : Yan Chrisna
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...