Ekstremitas dan Absurditas ISIS
SATUHARAPAN.COM - Gerak maju kelompok radikal ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) dan kabar tentang perekrutan warga Indonesia untuk menjadi anggota pasukan ISIS telah meramaikan pemberitaan media nasional akhir-akhir ini. Kehebohan muncul karena ISIS menghadirkan berbagai dimensi, yang tidak muncul dalam gerakan-gerakan radikal Islam lainnya di Timur Tengah, seperti Al-Qaeda, misalnya.
ISIS kini telah memiliki tiga unsur yang menjadi syarat berdirinya suatu negara: memiliki rakyat, wilayah kekuasaan, dan pemerintahan sendiri. Rakyatnya adalah para pendukung militan dan warga Muslim Sunni. Wilayahnya adalah sebagian wilayah Irak dan Suriah yang sudah dikuasai. Sedangkan pemerintahannya sudah dideklarasikan, berbentuk kekhalifahan, di bawah pimpinan Abu Bakr el-Baghdadi.
Asal mula keberadaan ISIS bisa dirunut ke kelompok Al-Qaeda Irak yang didirikan Abu Musab al-Zarqawi, yang tewas dibunuh oleh agen intelijen AS dan Irak. Posisi Zarqawi lalu digantikan oleh Abu Ayyoub al-Masri yang berasal dari Mesir. Tapi Masri kemudian juga dibunuh oleh militer AS dan Irak. Maka Abu Bakr el-Baghdadi kini tampil memimpin ISIS. Baghdadi disebut-sebut sebagai seorang ahli taktik perang.
Fenomena ISIS menampilkan sisi ekstremitas dan absurditas. Awalnya tampil melawan rezim otoriter Bashar Assad di Suriah, yang berasal dari sekte Alawite. Tetapi hubungan ISIS dengan kelompok oposisi sekuler dan kelompok Islam lain yang menentang Bashar Assad juga penuh konflik, bahkan bentrokan militer berdarah. Di Irak, praktis ISIS hanya diterima di kalangan terbatas Sunni, karena bermusuhan dengan pemerintah yang didominasi Syiah, dan bermusuhan dengan warga Kurdi, karena ISIS merebut wilayah Kurdi yang kaya minyak.
Meski mengaku menganut ajaran Salafi, keradikalan atau lebih tepat sikap ekstrem ISIS justru ditentang oleh kalangan Salafi lain. Pasukan ISIS terlihat sangat enteng mengalirkan darah, membunuh, merusak, dan menghancurkan. Ini jelas bertolak belakang dengan ajaran Islam dan tradisi Nabi Muhammad SAW, yang diyakini mayoritas umat Islam selama ini. ISIS tidak segan-segan menggunakan kekerasan militer untuk menghantam siapapun yang dianggap berseberangan, meskipun sama-sama Muslim Sunni.
Langkah ISIS yang menghancurkan situs-situs budaya tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam), seperti makam Nabi Yunus (Nabi yang dihormati semua Muslim), adalah langkah ekstrem. Tindakan ISIS bahkan lebih ekstrem dari Taliban di Afganistan, yang menghancurkan patung Buddha. Maka, jika ISIS sampai berhasil merebut kota Mekkah di Arab Saudi, jangan-jangan bangunan Kabah juga akan dihancurkan, karena dianggap sebagai berhala yang disembah orang.
Puncak absurditas ISIS tampak jelas sekarang. Ketika rakyat Palestina di Jalur Gaza, yang mayoritas Muslim, sedang sekarat dan berjuang mati-matian menghadapi pemboman brutal oleh militer Israel, ISIS tidak terlibat dalam pembelaan terhadap Palestina. Sejauh ini tidak ada satu pun pernyataan resmi dari ISIS yang mengecam Israel atau memprotes pemboman masif terhadap warga sipil, masjid, rumah sakit, dan sekolah PBB di Gaza.
Sebaliknya, berita yang muncul di media, justru ISIS sibuk berperang melawan saudara-saudarannya sesama Muslim di Irak, Suriah, dan entah wilayah mana lagi, untuk menegakkan “kekhalifahan Islam” di Timur Tengah. Artinya, dengan embel-embel nama “Islam,” ISIS lebih memprioritaskan kekuasaan untuk dirinya sendiri, ketimbang membantu atau membela saudara-saudaranya sesama Muslim, yang terancam oleh praktik genosida oleh militer Israel.
Sungguh kontras. Di Gaza sendiri, warga Muslim dan warga Kristen Palestina kini justru makin dekat, makin erat, makin bahu-membahu, dan bersatu padu menghadapi agresi Israel, yang kebrutalannya sudah jauh di luar pertimbangan nalar dan akal sehat. Warga Muslim dan Kristen Palestina adalah sama-sama korban dalam tragedi kemanusiaan, yang tidak lagi dipisahkan oleh sekat ras, etnis, agama, atau sekat primordial. Tidak ada manusia yang masih berhati nurani akan tega melihat pembantaian terhadap warga sipil, yang menjadi tragedi rutin tiap hari di Gaza.
Tetapi ISIS tidak peduli. ISIS lebih sibuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan agenda perebutan wilayah. Khususnya di daerah yang memiliki basis ekonomi tinggi, seperti ladang-ladang minyak di wilayah utara Irak, yang menjadi kediaman etnis Kurdi. Kesibukan ISIS lainnya adalah merekrut pemuda-pemuda Muslim dari seluruh dunia, untuk dijadikan pendukung ISIS yang siap berjihad dan mati “syahid” (baca: mati konyol) demi kepentingan ISIS.
Sekarang kehebohan tentang sepak terjang ISIS merambah ke Indonesia. Dalam beberapa hari ini, sejumlah media nasional mengalami “demam ISIS.” Berita tentang rekrutmen yang dilakukan ISIS, rumor akan dilakukannya deklarasi ISIS di sini dan di sana, implikasi hukum bagi warga Indonesia yang bergabung dalam ISIS, dugaan keterlibatan sejumlah tokoh radikal di Indonesia dengan ISIS, semua jadi bahan kajian.
Sejumlah organisasi Islam dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama, juga sudah angkat bicara tentang bahaya ISIS dan perlunya segera menangkal pengaruh ISIS. Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko juga menegaskan, ISIS tidak boleh berkembang di Indonesia karena dapat menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Sedangkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Djoko Suyanto menyatakan, banyak ormas Islam di Indonesia tidak setuju dengan keberadaan paham ISIS. "Paham ISIS bukan masalah agama. Ini masalah ideologi," katanya.
Sebagai ideologi, paham ISIS bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua itu jelas dan tegas. Bagi kita, kengawuran dan keblingeran ISIS, yang diwujudkan dalam ekstremitas dan absurditas perilakunya, terang benderang seperti matahari. Tidak perlu lagi penjelasan bertele-tele. ***
Penulis adalah mantan jurnalis spesialis politik Timur Tengah, meraih gelar Doktor Ilmu Pengetahuan Budaya dari UI.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...