Memahami dan Menangkal Laju ISIS
SATUHARAPAN.COM - Dari apa yang saya baca soal perkembangan sepak terjang ISIS (Islamic State of Iraq and Syam), rasa merasa fenomena gerakan ini akan bertahan lama, dan mungkin akan lebih dahsyat dari pendahulunya, al-Qaidah. Jelas pula bahwa saat ini ISIS sudah lebih besar dari al-Qaidah dengan beberapa pencapaian fantastis seperti penguasaan wilayah, kontrol terhadap sumber daya dan dana yang lebih besar dan pasti, serta jumlah relawan dan simpatisan yang kian bertambah. Jadi, sangat wajar bila banyak negara yang kini ekstra waspada dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan dan kejutan-kejutan ISIS, para pengikut, dan simpatisannya.
Dari bacaan saya pula saya menyimpulkan beberapa hal penting menyangkut ISIS. Yang kentara, kuatnya ISIS tidak terlepas dari banyak faktor. Kegagalan transisi demokrasi di Irak, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah telah menyebabkan kondisi yang tidak stabil, menimbulkan konflik sektarian, bahkan kecamuk perang saudara di kawasan Timur Tengah. Jelas sekali, kini daerah-daerah perbatasan di kawasan banyak yang menjadi tanah air para jihadis. Kecuali Mesir, Iran, dan Turki, hampir semua daerah perbatasan Timur Tengah rentan sekali berganti tuan. Inilah yang menjelaskan kenapa Mesir sangat ketat menjaga dan mengawasi dinamika di perbatasan seperti di Rafah, hal yang sangat ironis bagi rakyat Gaza yang digempur Israel.
Kegagalan Musim Semi Arab di Suriah juga telah menyebabkan negeri Syam itu menjadi lahan terbuka bagi persengketaan regional kekuatan dominan kawasan seperti Saudi, Iran, dan Turki. Lemahnya pemerintahan Irak sejak jatuhnya Saddam Husein ikut menggenapkan perbatasan Irak-Suriah sebagai ibukota terorisme sebagaimana perbatasan Afganistan-Pakistan di tahun 1980-1990an. Di daerah inilah kaum salafi-jihadi semacam ISIS dan lainnya menemukan pangkalan yang aman (qaidah aminah) untuk bertunas dan berkecambah. Bukan kebetulan pula mereka berkumpul di sana karena mereka sesungguhnya difasilitasi secara masif, sistematis, dan terstruktur, oleh negara-negara yang ingin melepaskan diri dari ekstremisme kaum salafi. Negara-negara ini mengekspor kaum salafi-jihadi untuk berjihad di luar negeri dengan mengibarkan panji-panji perseteruan sektarian Sunni-Syiah guna menumbangkan rezim Bashar Assad yang dibekeng Iran dan Hizbullah.
Di pihak lain, rezim Assad pun senang hati masuk ke kancah perang melawan terorisme, bahkan melepaskan banyak kaum salafi-jihadi di saat-saat kencangnya tuntutan perubahan rezim karena itu untuk sementara waktu menyelamatkan eksistensi rezimnya. Namun ISIS tak akan sekuat sekarang jika tidak terjalinnya koalisi tidak biasa (unorthodox coalition) dengan banyak pihak seperti centeng-centeng dan suku-suku lokal yang terpinggirkan, kaum pragmatis dan oportunis dari berbagai negara, bahkan bekas elit rezim Saddam Hussein yang menaruh dendam terhadap pemerintahan Irak saat ini. Koalisi tidak biasa inilah yang memudahkan ISIS untuk menguasai kota terbesar kedua Irak, Mosul, setelah bermarkas lama di Raqqa, Suriah, ibukota kekhilafahan ISIS yang sesungguhnya.
Jangan pula heran dengan kekuatan ISIS karena mereka pun telah menguasai beberapa ladang minyak Suriah dan Irak dan sempat pula berdagang minyak dengan rezim Assad yang sedang dalam prahara. Sumber pendapatan lain mereka antara lain dari aksi-aksi penculikan warga asing dan tuntutan tebusan. Selama empat tahun terakhir, setidaknya ISIS dan kelompok-kelompok sejenisnya paling kurang telah mendapatkan 70 juta dolar Amerika dari uang tebusan dari hasil penyanderaan.
Lalu apa yang membedakan ISIS dari pendahulunya, al-Qaidah, yang sampai kini masih menganggap ISIS sebagai anak bawang mereka walau sesungguhnya ISIS telah jauh lebih kuat?
Pertama, karena kemunculan ISIS sangat dipicu oleh nuansa persengketaan sektarian Sunni-Syiah di Suriah dan kawasan, maka permusuhan internal mereka terhadap sesama umat Islam jauh lebih radikal dibandingkan al-Qaidah sekalipun. Lihatlah betapa bangganya mereka membantai warga Syiah yang mereka tahan di Mosul dan tempat-tempat lainnya. Karena itu, berbeda dari al-Qaidah yang lebih banyak melampiaskan retorika dan amarah mereka kepada Amerika dan Barat, ISIS kini justru menganggap aksi jihad mereka bertujuan untuk membebaskan diri dari penjajahan Persia dan Dinasti Safawi terhadap tanah Irak pasca runtuhnya rezim Saddam di tahun 2003. Jadi, walau sesama varian kaum salafi-jihadi, al-Qaidah lebih banyak menyasar kepentingan dan fasilitas musuh jauh (far enemy) seperti Amerika dan sekutunya, sedangkan ISIS lebih mencanangkan perang melawan musuh terdekat lebih dulu (near enemy first), baik itu Syiah, muslim tradisional dan kaum sufi (yang mereka anggap tidak cukup murni keislamannya), serta umat Kristen dan agama lokal.
Kedua, dengan kemunculan ISIS, pemuka salafi-jihadi tradisional semacam bos al-Qaidah, Ayman al-Zawahiri, pun tampak kurang ekstrem. Berkali-kali al-Zawahiri mengingatkan ISIS untuk bertindak moderat, menghindari konfrontasi terhadap sesama muslim seperti Syiah, menghormati warga sipil, hak-hak tawanan dan etika perang, serta hanya menculik warga asing demi menuntut pembebasan rekan jihadis yang mendekam di tahanan. Namun ISIS, dari berbagai publikasi mereka justru dengan bangga mempertontonkan aksi-aksi brutal mereka terhadap musuh-musuh dekat mereka. Mereka meledakkan rumah ibadah yang dianggap kurang sesuai standar salafi, membunuh warga Syiah, mengultimatum, mengintimidasi dan menghabisi ribuah umat Kristen Irak dan dan pengikut agama lokal seperti kaum Yazidis.
Ketiga, dibandingkan al-Qaidah, magnet ISIS untuk mendapat pendukung akan jauh lebih kuat. Ini tak lepas dari impian—kalau bukan ilusi lama umat Islam—akan perlunya menegakkan kembali kekhilafahan Islam universal yang sudah runtuh 80 tahun lalu. Dengan mendeklarasikan tegaknya Khilafah, ISIS memang dianggap gegabah oleh sebagian, tapi justru dianggap selangkah lebih maju oleh sebagian lain dibandingkan gerakan Islam radikal lainnya. Dan itu menambah daya pikat mereka di kalangan jihadis seluruh dunia. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak kelompok salafi-jihadi yang berbaiat kepada mereka, baik di Indonesia, Thailand Selatan, maupun Filipina Selatan. Kita belum lagi tahu sejauh apa peluang Khilafah ala ISIS akan bertahan. Yang jelas, slogan—dan mungkin juga doa mereka—tiada lain adalah agar kekhilafah yang sudah tegak ini dapat kekal dan bertahan (baqiyah). Prediksi saya, besar kemungkinan ekspansinya akan tertahan di seputar Irak, Suriah, dan mungkin saja Libanon, dan ke depan mungkin hanya akan menjadi negara ultra-puritan yang dapat melampaui kekolotan Kerajaan Wahabi Saudi.
Namun begitu, apa yang harus kita perbuat demi membendung ekspansi ideologis dan menahan jumlah follower ISIS di kalangan muslim Indonesia?
Satu, pemerintah jangan pernah lagi mengaggap enteng letupan-leputan sektarian yang bernuansa agama yang pernah marak semasa rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ISIS adalah makhluk semacam belut yang akan hidup dan bertumbuh di air keruh ketegangan dan ketidakstabilan. Semakin kuat letupan sosial dan konflik sektarian yang disertai oleh lemahnya kontrol kekuasaan terhadap keadaan, akan kian aman mereka berkembang. Dalam banyak laporan, menguatnya retorika-retorika anti-Syiah maupun anti-Kristen seperti di Indonesia dan Malaysia tidak lepas dari pengaruh ISIS secara khusus dan imbas konflik Timur Tengah secara umum.
Dua, musuh terbesar perkembangan ISIS adalah kaum muslim kultural yang ingin mengamalkan agama secara bersahaja seperti warga NU, kaum sufi, maupun muslim kebanyakan. Umat Islam tradisional yang mayoritas ini harus bangga mengamalkan corak Islam yang rahmatan lil alamin itu dan jangan sekali-kali tergiur dan tergoda oleh propaganda sektarian kaum salafi yang merasa keislaman mereka lebih murni. Saya membayangkan, asalkan muslim tradisional dan muslim yang mengamalkan Islam yang ramah ini masih kuat, akan sulit bagi ideologi ISIS untuk tumbuh dan mengakar di Indonesia.
Tiga, selain mengharapkan muslim Indonesia tetap ramah dan menjadi rahmat bagi sesama, pemerintah dan kita semua juga perlu pro-aktif dalam mempromosikan dan menanamkan ajaran dan amalam keagamaan yang toleran sejak dini. Kita misalnya perlu mengajarkan Islam cinta di sekolah-sekolah, entah lewat kurikulum formal atau pun pelajaran ekstra kurikuler. Tidak sulit melakukannya kalau pemerintah mau. Misalkan dengan mengenalkan dan meresapi sajak-sajak pendek dan manis dari Jalaluddin Rumi. Saya membayangkan, ideologi dan persebaran Islam kebencian dan amarah semacam ISIS akan membentur anti-virus yang kokok jika kita semua pro-aktif dalam mempromosikan Islam cinta dan merahmati sesama.
Empat, sebagaimana umumnya dunia Islam, Indonesia memerlukan undang-undang khusus yang dengan tegas melakuan pembatasan terhadap syiar-syiar kebencian yang selama ini marak dan secara vulgar dilancarkan oleh kaum salafi dan kaum ekstremis lainnya. Di negara-negara maju dan beradab, syiar-syiar kebencian seperti penistaan, ancaman fisik dan pelenyapan nyawa, otomatis akan langsung ditindak oleh aparat penegak hukum. Namun di negeri ini, pelaku syiar-syiar semacam itu, baik di dunia maya maupun dunia nyata, dengan ringannya melenggang dan memenuhi ruang publik kita.
Di negeri yang demokratis ini, kita memang wajib menjamin hak dan kebebasan berpendapat dan berserikat, tapi kita juga perlu membatasi hak dan kebebasan itu hanya untuk mereka-mereka yang cinta damai dan bersedia menghargai dan mensyukuri keragaman hayati ini.
Penulis adalah pengamat Timur Tengah, dosen di Universitas Paramadina, Jakarta.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...